Ada satu fenomena yang terus berulang di lingkungan kita, baik di dunia nyata maupun maya. Kadang hadir lewat candaan, kadang muncul dalam bentuk curhatan, bahkan tak jarang menjadi konflik yang meretakkan hubungan: perempuan yang menganggap pacarnya sebagai sumber dana utama alias "dompet berjalan". Mungkin kamu pernah dengar kalimat seperti, "Kalau nggak bisa bayarin cewek, jangan pacaran," atau "Laki-laki harus bertanggung jawab, termasuk soal biaya." Tapi, apakah benar cinta diukur dari seberapa sering dan seberapa besar nominal yang dia keluarkan?
Topik ini memang agak sensitif. Tapi justru karena itu, penting buat dibahas. Bukan buat menyudutkan siapa pun, tapi untuk membuka ruang diskusi yang lebih sehat dan dewasa. Karena dalam hubungan, yang dibutuhkan bukan hanya cinta, tapi juga pemahaman, kesetaraan, dan rasa hormat.
Uang dan Relasi Ketika Peran Jadi Bias
Dalam banyak budaya, termasuk di Indonesia, laki-laki sering kali ditempatkan dalam posisi sebagai provider---pemberi, penopang, dan pencari nafkah. Sejak kecil, anak laki-laki diajarkan untuk kuat, bertanggung jawab, dan "siap menafkahi". Ini bukan hal baru, dan masih sangat kuat melekat di masyarakat kita.
Namun ketika nilai-nilai ini dibawa ke dalam hubungan pacaran, seringkali terjadi distorsi. Karena pacaran bukanlah pernikahan, dan status "pacar" bukan berarti seseorang sudah punya tanggung jawab finansial penuh atas hidup pasangannya. Tapi di beberapa kasus, cewek merasa bahwa cowok wajib selalu mentraktir, membiayai jalan-jalan, hingga memberi uang saku layaknya orang tua. Padahal, relasi romantis bukan hubungan ekonomi. Ini soal rasa, bukan transaksi.
Memang benar, memberi dalam hubungan itu wajar. Tapi saat pemberian berubah menjadi tuntutan, saat kebaikan dijadikan kewajiban, maka relasi tersebut kehilangan esensinya. Cinta yang tulus tidak menuntut bayaran, dan hubungan yang sehat tidak berjalan satu arah.
Romantisme vs Realita Mana yang Kita Ikuti?
Kita hidup di zaman yang penuh dengan ekspektasi visual. Media sosial menampilkan pasangan-pasangan ideal yang jalan-jalan ke luar negeri, makan malam mewah, atau bertukar kado mahal di hari jadi. Sering kali, konten-konten ini membentuk persepsi bahwa inilah cinta yang sempurna. Sayangnya, realita tak seindah itu.
Tidak semua orang punya kondisi finansial yang mapan, terutama di usia muda. Mahasiswa, pekerja lepas, atau fresh graduate tentu belum punya penghasilan besar. Namun karena ingin dianggap "laki-laki sejati", banyak cowok yang akhirnya memaksakan diri untuk memenuhi standar tersebut---walau harus mengorbankan tabungan, utang sana-sini, bahkan memalsukan gaya hidup.
Dari sisi cewek, tak jarang ada yang terjebak pada anggapan bahwa semakin sering dia dibelikan sesuatu, maka semakin besar cinta yang diberikan. Padahal, hal-hal romantis yang tulus tak selalu berharga mahal. Kadang, perhatian kecil, waktu berkualitas, atau dukungan di saat sulit jauh lebih berharga dari barang apapun.