Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Kakek dan Nenek Sudah Tidak Ada, Mudik Sekarang Berbeda

27 Maret 2025   07:58 Diperbarui: 27 Maret 2025   16:22 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cucu bermain dengan kakek(Top Photo Corporation

Mudik selalu jadi tradisi yang mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia, terutama saat momen Lebaran. Di masa kecil, kita mungkin ingat bagaimana semangatnya menanti hari keberangkatan, berdesakan di kendaraan atau menempuh perjalanan panjang demi bisa berkumpul di rumah kakek dan nenek. Rumah mereka bukan sekadar tempat singgah, melainkan pusat kehangatan, tempat segala kenangan masa kecil tersimpan.

Namun, waktu terus berjalan, dan satu per satu orang-orang tercinta pergi meninggalkan kita. Kakek dan nenek yang dulu menjadi magnet keluarga, kini telah tiada. Tanpa mereka, pulang kampung terasa berbeda. Tidak ada lagi tangan renta yang menyambut dengan penuh kasih sayang, tidak ada lagi suara lembut yang menanyakan kabar, dan tidak ada lagi aroma khas masakan nenek yang menguar dari dapur.

Perubahan ini membawa dampak besar pada cara kita memaknai mudik. Apa yang dulunya menjadi momen penuh sukacita, kini terasa lebih hampa dan bahkan terkadang berat untuk dijalani. Seiring dengan berjalannya waktu, kita mulai menyadari bahwa pulang bukan lagi tentang tempat, melainkan tentang orang-orang yang ada di dalamnya.

Rumah yang Tak Lagi Sama

Dulu, rumah kakek dan nenek adalah pusat dari segala kebersamaan. Setiap kali tiba di kampung halaman, kita akan disambut dengan pelukan hangat dan senyuman tulus mereka. Tak peduli seberapa jauh perjalanan yang ditempuh, semua lelah langsung sirna ketika melihat wajah bahagia mereka menyambut kedatangan kita.

Kini, rumah itu mungkin masih berdiri kokoh, tapi suasananya telah berubah. Tak ada lagi suara langkah pelan kakek yang berjalan ke teras setiap pagi atau tawa renyah nenek saat berkisah tentang masa mudanya. Bisa jadi rumah tersebut kini kosong, atau dihuni oleh paman atau bibi yang punya dinamika keluarga sendiri. Beberapa dari kita mungkin merasa tetap nyaman, tapi ada juga yang merasa asing, seolah-olah kampung halaman telah kehilangan ruhnya.

Ketika rumah tak lagi sama, pertanyaan pun muncul: masihkah mudik memiliki makna yang sama?

Rasa Kehilangan

Kehilangan adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Setiap orang akan menghadapi perpisahan pada waktunya, termasuk perpisahan dengan sosok yang dulu menjadi tempat kita pulang. Saat kakek dan nenek masih ada, kita mungkin tidak terlalu memikirkan arti keberadaan mereka. Namun, ketika mereka telah pergi, barulah kita menyadari betapa besar peran mereka dalam menjaga tradisi dan keharmonisan keluarga.

Di momen seperti ini, mudik tak lagi hanya tentang bertemu keluarga besar, tetapi juga tentang mengenang mereka yang telah tiada. Setiap sudut rumah, setiap perabotan lama, bahkan suara azan dari masjid terdekat bisa membangkitkan kenangan yang tak tergantikan. Kita pun mulai memahami bahwa mudik bukan hanya sekadar pulang secara fisik, tapi juga perjalanan emosional untuk menerima kenyataan bahwa dunia terus berubah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun