Suatu hari, seorang teman bercerita bahwa sebelum menikah, ia dan pasangannya sering menghabiskan waktu dengan saling bertukar pesan manis, mengatur pertemuan spontan, atau sekadar berbagi obrolan panjang hingga larut malam. Namun, setelah beberapa tahun pernikahan berlalu, segalanya terasa berbeda. Kata-kata mesra yang dulu sering diucapkan kini hanya sesekali terdengar, perhatian kecil mulai berkurang, dan kebersamaan lebih banyak diisi dengan diskusi soal tagihan, pekerjaan, atau mengurus anak.
Fenomena seperti ini bukanlah sesuatu yang asing. Banyak pasangan yang merasakan perubahan serupa setelah menikah. Romantisme yang dahulu menggebu kini tampak meredup, tergantikan oleh rutinitas dan tanggung jawab yang semakin menumpuk. Sebagian pasangan menerima perubahan ini sebagai sesuatu yang wajar, sementara yang lain merasa kehilangan sesuatu yang berharga dalam hubungan mereka.
Namun, apakah benar bahwa romantisme dalam pernikahan memang ditakdirkan untuk memudar? Ataukah ada cara untuk tetap menjaga kehangatan dan kedekatan emosional dalam hubungan jangka panjang?
Mengapa Romantisme Sering Hilang Setelah Menikah?
Banyak orang berpikir bahwa cinta sejati tidak memerlukan usaha tambahan untuk bertahan. Mereka percaya bahwa jika dua orang benar-benar saling mencintai, maka hubungan mereka akan tetap harmonis tanpa perlu perawatan khusus. Sayangnya, anggapan ini keliru. Cinta, sebagaimana halnya tanaman, perlu dipelihara agar tetap tumbuh dan berkembang.
Secara psikologis, perasaan cinta yang membara di awal hubungan dipengaruhi oleh berbagai faktor biologis. Helen Fisher, seorang antropolog dari Rutgers University, menjelaskan bahwa pada tahap awal hubungan romantis, otak manusia melepaskan sejumlah besar dopamin, hormon yang menciptakan sensasi bahagia dan euforia. Inilah yang membuat fase awal percintaan terasa begitu intens dan menyenangkan.
Namun, seiring berjalannya waktu, respons kimiawi ini mulai berkurang. Otak tidak lagi memproduksi dopamin dalam jumlah yang sama, dan hubungan yang dulunya penuh gairah mulai terasa lebih datar. Hal ini bukan berarti cinta menghilang, tetapi lebih kepada peralihan dari fase gairah menuju fase keterikatan yang lebih stabil.
Selain faktor biologis, perubahan prioritas juga berperan besar dalam pergeseran dinamika hubungan. Setelah menikah, fokus utama pasangan sering kali bergeser dari membangun kedekatan emosional menjadi memenuhi tanggung jawab domestik. Karier, keuangan, dan pengasuhan anak menjadi aspek yang menyita perhatian, membuat aspek romantisme perlahan-lahan tersisih.
Selain itu, banyak pasangan yang tanpa sadar terjebak dalam rutinitas yang membuat hubungan terasa monoton. Apa yang dulu terasa spesial kini menjadi sesuatu yang biasa. Makan malam bersama yang dulu dinanti-nantikan kini hanya menjadi bagian dari kewajiban harian. Sentuhan fisik yang dulu memberikan kehangatan kini mulai jarang terjadi.
Sayangnya, hilangnya romantisme dalam pernikahan sering kali tidak disadari hingga muncul masalah yang lebih besar. Ketika hubungan kehilangan unsur emosionalnya, pasangan menjadi lebih rentan terhadap kesalahpahaman, kejenuhan, bahkan perselingkuhan.