Mohon tunggu...
Frans Leonardi
Frans Leonardi Mohon Tunggu... Freelace Writer

Sebagai seorang introvert, Saya menemukan kekuatan dan kreativitas dalam ketenangan. Menyukai waktu sendirian untuk merenung dan mengeksplorasi ide-ide baru, ia merasa nyaman di balik layar ketimbang di sorotan publik. seorang amatir penulis yang mau menyampaikan pesannya dengan cara yang tenang namun , menjembatani jarak antara pikiran dan perasaan. Salam dari saya Frans Leonardi

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Budaya Kerja 4 Hari, Revolusi Produktivitas atau Hanya Wacana?

13 Februari 2025   13:29 Diperbarui: 14 Februari 2025   08:33 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pekerja (Unsplash)

Bayangkan jika kamu hanya perlu bekerja selama empat hari dalam seminggu, tanpa harus mengalami penurunan pendapatan, sambil tetap menjaga produktivitas bahkan meningkatkannya. Konsep ini bukan sekadar imajinasi atau teori kosong, melainkan sebuah eksperimen nyata yang telah diterapkan di berbagai negara dan menghasilkan temuan yang mengejutkan.

Di berbagai belahan dunia, banyak perusahaan mulai mempertimbangkan sistem kerja empat hari sebagai respons terhadap perubahan zaman, perkembangan teknologi, serta meningkatnya kesadaran akan keseimbangan kehidupan kerja dan kehidupan pribadi. Eksperimen yang dilakukan di Islandia antara tahun 2015 hingga 2019, misalnya, menunjukkan bahwa karyawan yang bekerja dengan sistem ini mengalami peningkatan kesejahteraan tanpa ada dampak negatif terhadap produktivitas mereka. Jepang, sebagai salah satu negara dengan etos kerja paling tinggi di dunia, juga mulai menguji konsep ini, di mana Microsoft Jepang berhasil mencatat lonjakan produktivitas hingga 40% setelah menerapkan kebijakan kerja empat hari dalam seminggu.

Pertanyaannya, apakah Indonesia siap untuk menerapkan sistem serupa? Mengingat karakteristik dunia kerja di Indonesia yang masih sangat bergantung pada kehadiran fisik dan budaya lembur, wacana kerja empat hari tentu menghadapi berbagai tantangan. Namun, dengan berkembangnya teknologi, munculnya generasi pekerja yang lebih fleksibel, serta perubahan pola pikir perusahaan dalam menilai produktivitas, apakah saatnya bagi Indonesia untuk mulai mempertimbangkan sistem ini?

Mengapa Wacana Ini Muncul?

Gagasan tentang sistem kerja empat hari sebenarnya berakar pada keinginan untuk meningkatkan efisiensi dan kesejahteraan pekerja. Dalam dunia yang semakin cepat berubah akibat digitalisasi, paradigma lama yang menganggap kerja panjang sebagai indikator produktivitas mulai dipertanyakan.

Banyak perusahaan kini menyadari bahwa jumlah jam kerja yang panjang tidak selalu berbanding lurus dengan hasil yang dicapai. Justru, di banyak kasus, waktu kerja yang berlebihan dapat menurunkan produktivitas akibat kelelahan, stres, serta menurunnya fokus dan kreativitas. Jika sebuah pekerjaan bisa diselesaikan dalam waktu yang lebih singkat dengan hasil yang sama atau bahkan lebih baik, mengapa harus tetap mempertahankan sistem kerja konvensional yang kurang efisien?

Di sisi lain, keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan pribadi menjadi semakin penting dalam menarik dan mempertahankan tenaga kerja berkualitas. Generasi milenial dan Gen Z, yang kini mendominasi angkatan kerja, memiliki preferensi yang berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka lebih menghargai fleksibilitas, keseimbangan hidup, serta kesempatan untuk berkembang secara pribadi di luar pekerjaan.

Perusahaan-perusahaan yang mulai menerapkan sistem kerja empat hari melihatnya sebagai strategi untuk meningkatkan retensi karyawan, mengurangi tingkat stres, serta menciptakan lingkungan kerja yang lebih sehat. Dalam jangka panjang, pendekatan ini juga diharapkan mampu meningkatkan kepuasan kerja, yang pada akhirnya berdampak positif terhadap produktivitas dan loyalitas karyawan.

Tantangan dalam Penerapan di Indonesia

Meskipun terdengar menjanjikan, menerapkan sistem kerja empat hari di Indonesia bukan perkara mudah. Ada beberapa faktor mendasar yang harus dipertimbangkan sebelum benar-benar mengadopsi konsep ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun