Di era yang serba cepat ini, di mana informasi mengalir tanpa batas dan ideologi menyebar melalui jaringan digital, tantangan terbesar bagi bangsa bukan hanya soal ekonomi atau teknologi. Ada ancaman yang jauh lebih halus, tetapi berdampak besar---radikalisme. Ia tidak datang dengan wajah garang, melainkan sering kali tersembunyi di balik narasi indah tentang perubahan, identitas, atau bahkan solidaritas. Yang mengejutkan, targetnya tidak selalu orang dewasa yang sudah matang secara pemikiran. Generasi muda, terutama pelajar, justru menjadi sasaran empuk. Mengapa? Karena di usia itulah pencarian jati diri berlangsung, rasa ingin tahu membuncah, dan idealisme tumbuh tanpa filter yang kuat.
Di sinilah peran sekolah menjadi sangat penting. Sekolah bukan hanya tempat untuk belajar matematika atau sejarah, tetapi juga arena untuk membentuk karakter, membangun pemahaman kritis, dan menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Namun, pertanyaannya, sudahkah sekolah di Indonesia menjalankan peran ini secara optimal? Bagaimana sebenarnya kontribusi sekolah dalam mencegah radikalisme yang semakin mengakar di berbagai lapisan masyarakat?
Ancaman Senyap di Balik Ruang Kelas
Radikalisme tidak selalu muncul dalam bentuk yang kasatmata. Ia bukan hanya tentang aksi terorisme atau kekerasan fisik. Lebih sering, radikalisme hadir sebagai perubahan cara berpikir dari toleransi menuju eksklusivitas, dari keterbukaan menuju fanatisme buta. Di sekolah, tanda-tandanya bisa sangat samar: siswa yang tiba-tiba tertutup, enggan bergaul dengan teman yang berbeda keyakinan, atau mulai mengadopsi pandangan hitam-putih tentang dunia.
Statistik menunjukkan bahwa radikalisme di kalangan pelajar bukan sekadar isu teoretis. Berdasarkan survei Setara Institute pada 2019, sekitar 10% siswa SMA di Jakarta memiliki kecenderungan setuju terhadap tindakan intoleran. Ini bukan angka yang kecil, mengingat Jakarta adalah pusat pendidikan dengan akses informasi yang relatif lebih luas. Fenomena ini menunjukkan bahwa radikalisme bisa tumbuh di mana saja, bahkan di lingkungan yang dianggap "aman" sekalipun.
Mengapa radikalisme bisa merambah ke dunia pendidikan? Salah satu faktornya adalah krisis identitas yang sering dialami remaja. Dalam fase ini, mereka mencari makna hidup, tujuan, dan kelompok yang bisa menerima mereka apa adanya. Sayangnya, kelompok-kelompok radikal sering kali menawarkan "jawaban sederhana" untuk pertanyaan-pertanyaan kompleks tentang dunia. Mereka memberikan rasa memiliki, identitas baru, dan bahkan tujuan hidup yang seolah-olah mulia. Inilah jebakan yang membuat banyak anak muda terperosok.
Sekolah sebagai Benteng Pertahanan Terdepan
Melihat kompleksitas ancaman ini, sekolah seharusnya tidak hanya berperan sebagai institusi pengajaran, tetapi juga sebagai benteng pertahanan ideologis. Sekolah memiliki posisi strategis karena di sanalah siswa menghabiskan sebagian besar waktunya, berinteraksi dengan guru dan teman sebaya, serta terpapar berbagai nilai dan norma sosial.
Namun, untuk menjadi benteng yang efektif, sekolah harus lebih dari sekadar tempat belajar formal. Lingkungan sekolah harus menjadi ruang yang mendukung kebebasan berpikir kritis, di mana siswa tidak hanya diajarkan apa yang benar, tetapi juga mengapa sesuatu itu benar. Pendekatan ini memungkinkan siswa untuk tidak menerima informasi secara mentah-mentah, melainkan menganalisis, mempertanyakan, dan memahami konteksnya.
Salah satu tantangan terbesar di sini adalah bagaimana mengintegrasikan pendidikan karakter ke dalam kurikulum yang sudah padat. Sayangnya, pendidikan karakter sering kali diposisikan sebagai pelengkap, bukan sebagai inti dari sistem pendidikan. Padahal, nilai-nilai seperti toleransi, empati, solidaritas, dan cinta tanah air adalah fondasi yang membentuk kepribadian siswa. Tanpa itu, pengetahuan akademis bisa menjadi kosong makna, bahkan berpotensi disalahgunakan untuk tujuan yang salah.