Kesenian Bantengan nampaknya memang telah begitu lama lekat pada diri Anjani, seorang seniman, pencipta motif batik, dan sekaligus pengusaha batik. Tidak heran, karena ayahnya yang juga seorang seniman adalah pendiri Komunitas Bantengan Nuswantara. Anjani memang berasal dari keluarga yang kental memiliki darah seni. Neneknya seorang penari, orang tua dari buyutnya adalah pembatik.
Kedekatan dan kelekatan itulah yang tampaknya membuat Anjani begitu mencintai dan peduli pada warisan budaya daerah asalnya ini, selain tentu saja karena darah seni yang dimilikinya. Hingga ia tak ingin warisan budaya leluhur ini suatu saat punah atau terlupakan karena tidak dijaga kelestariannya. "Bantengan itu merupakan warisan nenek moyang kita, dan kita memiliki kewajiban untuk melestarikannya. Kita tidak boleh membiarkan budaya ini terpinggirkan, terutama karena kita adalah penjaga budaya," tuturnya.
Sejak masih berkuliah di jurusan Seni dan Desain, Universitas Negeri Malang, Anjani bahkan sudah kerap memasukkan motif Bantengan pada tugas-tugas kuliahnya, hingga dosennya  menjulukinya "Anjani Bantengan".Â
 Sebagai seorang seniman dan sarjana seni, Anjani juga mencintai batik. Menurutnya, batik bukan hanya sekedar kain, tapi memiliki cerita yang dapat dilestarikan dari satu generasi ke generasi betikutnya. Karena itulah Anjani memilih untuk fokus mengembangkan batik dengan motif Bantengan. Hingga secara khusus belajar membatik di Yogya dan Solo.
Wanita yang sebelumya juga berprofesi sebagai guru di SMPN I Batu ini, mulai membatik tahun 2010, tapi baru pada tahun 2014 resmi memasarkan produknya dengan melakukan pameran solo di Galeri Raos, Batu, dan memperoleh kesuksesan.
Dengan bakat seni dan kreativitasnya, ia menciptakan sendiri motif batik Banteng Agung yang kemudian menjadi kekhasannya. Motif utama karyanya adalah kepala banteng yang merupakan elemen penting dalam kesenian Bantengan. Namun, ada pula motif-motif lain yang juga merupakan unsur-unsur yang ada dalam tradisi Bantengan, seperti macan, monyet, dan bunga tujuh rupa.
Pameran tersebut menarik perhatian Dewi Rumpoko, istri wali Kota Batu saat itu, yang kemudian mengangkat batik Bantengan menjadi batik resmi Kota Batu. Dari sinilah karyanya mulai dikenal oleh banyak orang. Tidak sebatas orang Indonesia tapi juga warga dunia dengan mulai banyaknya undangan yang didapatkannya untuk mengikuti pameran di luar negeri, seperti di Praha, Taiwan, India, Malaysia, Singapura, dan Australia.
Pada tahun yang sama, Anjani mendirikan Sanggar Batik Tulis Andhaka, yang awalnya berlokasi di dekat alun-alun Kota Batu. Sejalan dengan perkembangannya, sanggar ini kemudian pindah ke Desa Bumiaji, yang juga merupakan kampung asal kesenian Bantengan.
Bagi Anjani, melestarikan warisan budaya daerahnya teryata tidak cukup hanya dengan menciptakan motif batik dan memproduksi lembar-lembar batik saja. Keinginannya yang kuat untuk menjaga warisan budaya itu, mendorongnya untuk mentransfer ilmu dan keahliannya di bidang seni itu kepada banyak orang. Di sanggar yang didirikannya, Anjani tidak hanya memproduksi dan menjalankan bisnis batiknya saja, tapi juga mengadakan program pelatihan membatik gratis bagi generasi muda dan anak-anak di Batu, khususnya yang berasal dari keluarga prasejahtera.Â
Kenapa generasi muda dan anak-anak? Menurutnya, menurunkan keahlian membatik kepada generasi muda adalah cara melestarikan budaya. Generasi muda adalah pelestari budaya di masa depan. Selain itu, anak-anak memiliki ide yang lebih kaya dan ekspresif. Â