Di tengah malam yang gelap, di sebuah lapangan berumput dengan penerangan yang minim, terlihat beberapa banteng bergerak meliuk-liukkan badannya. Sosok hewan berwarna hitam itu berjalan berkeliling berputar-putar. Kepalanya yang berukuran besar dengan beberapa ornamen melingkar di atasnya sering bergoyang-goyang dan mengangguk-angguk, tampak kokoh dengan sorot mata yang tajam, serta dua tanduk besar yang melengkung ke atas. Bunyi-bunyi gamelan jidor, kendang, dan sompret mengiringi aksi dan gerakan banteng-banteng  yang semakin lama semakin agresif itu. Sesekali bunyi lecutan cemeti terdengar menyentak. Penonton yang berkerumun di sekitarnya tampak antusias dan kagum menyaksikan pertunjukan seni yang memiliki nuansa magis itu. Kesenian Bantengan nama pertunjukan itu. Sebuah kesenian yang berasal dari Provinsi Jawa Timur, khususnya daerah Malang, Batu, dan Mojokerto.
Hewan banteng adalah sosok sentral dalam pertunjukan seni ini. Perannya dimainkan oleh dua orang laki-laki. Seorang berada di bagian depan, berfungsi sebagai kaki depan dan pemegang kepala banteng yang terbuat dari kayu, dan yang satunya lagi berfungsi sebagai kaki belakang dan ekor. Sementara bagian badannya menggunakan kain panjang yang biasanya berwarna hitam dan merah pada bagian tepinya. Adegan di atas adalah secuplik bagian dari sebuah pertunjukan kesenian itu.
Warisan budaya yang nyaris punah
Kesenian Bantengan diyakini sudah ada sejak zaman Kerajaan Kanjuruhan pada abad ke-8 Masehi. Yang banyak berkembang di desa-desa di lereng pegunungan di Jawa Timur. Kesenian ini merupakan gabungan dari seni tari, ilmu Kanuragan, pencak silat dan bela diri, serta musik dan mantra.
Menurut Agus Riyanto, Ketua Komunitas Bantengan Nuswantara, dalam sebuah  wawancara di kanal YouTube Broadcast Grafika, dalam perjalanan sejarahnya kesenian ini sudah melalui banyak tahap sejak awal keberadaannya.
Pada zaman penjajahan Belanda, kesenian Bantengan tidak lepas dari ilmu Kanuragan dan bela diri karena pada masa itu kesenian ini juga digunakan sebagai kegiatan telik sandi, di mana para pemuda yang bergabung diajarkan ilmu bela diri untuk melawan penjajah. Karena itu, menurutnya ada nilai-nilai perjuangan melawan penjajah dalam tradisi bantengan ini.
Namun, pada satu periode tertentu tradisi bantengan pernah hilang cukup lama dan nyaris punah. Itu karena tradisi ini hanya sesekali ditampilkan ke banyak orang sehingga mudah dilupakan oleh masyarakat. Adalah Agus Riyanto sendiri yang kemudian berusaha menghidupkan kembali tradisi asli daerahnya ini. Usaha kerasnya baru berhasil pada tahun 2008, yang kemudian terus berkembang sehingga tradisi Bantengan kembali hadir di tengah masyarakat, khususnya kota Batu hingga kini.
Anjani Sekar Arum, pelestari kesenian Bantengan dalam balut indah seni wastra batik
Saat menyaksikan pertunjukan kesenian Bantengan, kita dapat menangkap bahwa pertunjukan ini identik dengan sifat maskulin dengan atraksi yang banyak menunjukkan adu kekuatan fisik karena pemain harus memerankan sosok-sosok hewan besar yang hidup di alam liar. Namun, di tangan Anjani Sekar Arum, seorang wanita muda asli Kota Batu, hal-hal tersebut dapat ditransformasikan menjadi keindahan dan keanggunan dalam seni wastra. Â Â Â Â