Mohon tunggu...
Fransiskus Nong Budi
Fransiskus Nong Budi Mohon Tunggu... Penulis - Franceisco Nonk

Budi merupakan seorang penulis dan pencinta Filsafat. Saat ini tinggal di Melbourne, Australia. Ia melakukan sejumlah riset di bidang Filsafat dan Teologi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Di Bawah Mendung dan Hujan

3 November 2018   17:50 Diperbarui: 3 November 2018   17:56 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ternyata mereka termasuk dalam bagian agendaku. Dengan kesimpulan singkat kuajak mereka segera berangkat ke tempat tujuan. Namun tak seorang pun dari kami yang tahu dengan pasti tempat yang hendak dituju. Dengan tambahan tiga orang lainnya yang juga baru bergabung pun nihil. Mereka hanya tahu bahwa tempat yang hendak dituju itu berada di sebuah kompleks perumahan di kota. 

Dengan keraguan disampaikan itu. Kali ini aku tak ingin menyulitkan mereka dengan pertanyaan iterogatif. Aku hanya yakin, dipicu mendung dan hembusan angin serta titik-titik hujan yang sesekali mulai berjatuhan, saya segera meyakinkan mereka untuk segera pergi.

"Tunggu aku!" kataku. Aku bermaksud mengambil sepeda motorku di garasi. Namun salah seorang dari mereka menawarkan untuk bersamanya. Sebenarnya aku tak mau. Mereka memberiku dua pilihan. Mengendarai sendiri salah satu motor mereka atau berbonceng. 

Aku kembalikan tawaran itu kepada mereka. Biarlah mereka sendiri membuat putusannya. Akhirnya saya berboncengan dengan salah satu dari mereka yang namanya Angel. Kami berkendara paling belakang dari rombongan itu. Berurut-urutan kami pergi. Beat Merahnya kutunggangi bersamanya. Gerimis mulai terasa di kulit. Tanpa helm kami menunggangi Beat Merahnya. Beberapa yang lain juga tanpa helm. Tampilan so preman lalulintas.

Dua belokan awal kami masih dalam iring-iringan. Percakapan-percakapan mulai kami rajut bersama di atas Beat Merahnya. Semakin ditarik gasnya, semakin terasa pula gempuran hujan di wajah dan tubuh kami. 

Lalulintas lagi pada patat-padatnya, meskipun bukan padat merayap. Jalanan masih ramai lancar. Menemui simpang kami tercerai dari rombongan. Mereka semua tak tampak dari pandanganku sebagai juru kendaranya. Ingin kutanyakan kepadanya apakah dia melihat mereka, namun kutak sanggup. Dia malah bilang ke aku kalau dia juga tak melihat mereka. Pikirku, kami tenggelam dalam percakapan itu.


Aku terus memacu Beat Merahnya menelusuri jalan utama. Sampailah kami pada simpang utama dari  jalan itu. Kali ini harus membuat keputusan! Ke kiri atau ke kanan. Kutanyakan kepadanya karena aku sama sekali gelap tentang tujuan yang hendak kami tuju. Ia menyarankan dengan sedikit keraguan untuk ke kiri. Di bawah awan keraguanku, kubelokkan ke kiri si Beat Merah. 

Beberapa menit menelusuri jalan itu, ia memintaku berhenti. Berhentilah kami di dekat sebuah simpang perumahan. Mengikuti tuntunannya dari belakang, aku memicu Beat Merah dengan pelan, di bawah 20 km per jam dan tak kurang dari 10 km per jam. Katanya kepadaku, "kita salah jalan!" tanpa banyak penjelasan. Kuajukan pertanyaan retoris kepadanya untuk membuat keputusan. Akhirnya kuputuskan bersamanya, kami kembali ke titik keberangkatan.

Haluan pun kuubah. Kami putar balik arah. Dalam paruh perjalanan kembali, kurasakan bahwa Si Beat Merah minta minum, dia haus. Kubilang ke Angel kalau kami sepertinya kehabisan pertalite. Kucoba memastikannya dengan menatap spidometer, ternyata benar dugaan saya. Terpaksalah kami menepi. Persis di depan Bank. Ia bilang kepadaku kalau ia tidak membawa dompet dan handphone-nya. 

Aku pun tak mau kalah. Kubilang kalau aku juga tak membawa sepeserpun. Dengan sejumlah penjelasan tetapi tampak tak begitu meyakinkan. Kutawarkan Androidku padanya. Tak ada nomor yang dapat dihubungi untuk keperluan ini terangnya padaku. Lalu kucoba melihat uang di dalam selempang antithieft-ku. Aku biasanya membiarkan sejumlah uang dalam tas-tasku. 

Namun kali ini dengan sedikit harapan karena sepertinya aku telah mengeluarkan semua sisah uang dalam tas dan menggantikannya dengan keperluan doa ulang tahun. Syukurlah, dua belas ribu masih kudapatkan. Akhirnya kami melanjutkan perjalanan dengan sisah bahan bakar sambil mencari tempat pengisian BBM terdekat. Beberapa menit saja berkendara, sudah kami jumpai apa yang kami cari. Dahaga Beat Merah pun terpuaskan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun