Permasalahan ini bukan soal teknis, melainkan soal pemahaman dan kemauan politik. Banyak daerah belum menjadikan persentase desa mandiri sebagai indikator kinerja kepala daerah. Padahal, jika rekomendasi dari Indeks Desa 2025 digunakan dalam Musrenbang, RPJMD, hingga program OPD, maka arah pembangunan akan lebih tepat sasaran dan terukur.
Salah satu contoh baik di era IDM 2021 datang dari Provinsi Kalimantan Barat. Sutarmidji, Gubernur Kalimantan Barat saat itu mengeluarkan peraturan tentang pemanfaatan hasil indeks desa sebagai dasar intervensi program di berbagai OPD. Langkah ini menunjukkan bahwa dengan regulasi dan kemauan, data desa bisa benar-benar menjadi kompas pembangunan daerah.
Peran TAPM dan Pendamping dalam Mengawal Data
Tenaga Ahli Pemberdayaan Masyarakat (TAPM) dan pendamping desa memiliki peran strategis dalam memastikan data desa tidak hanya akurat, tetapi juga dimanfaatkan. Tugas pendamping saat ini tidak cukup hanya mendampingi proses input kuisioner, melainkan juga menjembatani komunikasi antara desa dan pemerintah daerah.
Pendamping harus menjadi agen advokasi yang mengedukasi OPD tentang isi dan makna dari rekomendasi indeks desa. Dengan pemahaman yang memadai, data ini bisa diterjemahkan menjadi program konkret. Selain itu, TAPM juga berperan sebagai jembatan antara teknokrasi pusat dan dinamika lokal, agar instrumen seperti Indeks Desa tidak berhenti sebagai formalitas.
Dengan keterlibatan aktif TAPM, proses verifikasi data menjadi lebih valid dan mendalam. Pendamping dapat membantu desa membaca rekomendasi, melakukan simulasi solusi, hingga menyusun narasi pembangunan yang terintegrasi dengan data. Dengan demikian, pemberdayaan tidak hanya berhenti di desa, tetapi menyentuh seluruh ekosistem birokrasi pembangunan.
Penutup: Ketika Desa Menjadi Cermin Negara
Ketika negara ingin mengukur sejauh mana pembangunan telah berlangsung, maka lihatlah dari desa. Indeks Desa 2025 adalah representasi dari wajah Indonesia yang paling jujur. Ia tidak menyembunyikan kesenjangan, tidak melebih-lebihkan capaian, dan tidak tunduk pada kepentingan politik jangka pendek.
Dengan menjadikan data desa sebagai dasar evaluasi nasional, kita sedang membangun pondasi satu data Indonesia yang sebenarnya. Di tengah tantangan disinformasi dan bias data, desa tampil sebagai penjaga objektivitas. Maka, sudah saatnya semua pihak mulai dari kepala daerah hingga kementerian, menjadikan data ini bukan hanya rujukan, tetapi juga arah dan komitmen. Karena negara yang besar adalah negara yang mau melihat dirinya dari tempat paling kecil yaitu desa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI