Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pak Tjip Itu Guru?

6 Januari 2021   02:47 Diperbarui: 6 Januari 2021   02:50 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berlatar belakang pendidikan yang saya peroleh, bahkan sebagai orang Jogja, kalau mendengar kata "Guru", maka melambunglah pikiran dan angan ini pada sesosok manusia, yang berdiri di depan kelas, menyalami murid sebelum masuk kelas, lalu menyampaikan materi pendidikan, pelajaran, memberikan tugas....dan setiap perkataan dan perbuatannya "digugu-ditiru", perkataannya dipegang, dan perbuatannya ditiru, begitu seterusnya. Itulah Guru.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia V (KBBI), guru diartikan orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya, profesinya) mengajar. Terus, apa hubungannya dengan Tjiptadinata Effendi? Nah, ini dia! Ha...ha...ha...Pak Tjip itu Guru.

Guru Kesabaran dalam Menulis
Bayangkan, sesepuh Pak Tjip (70-an tahun, tepatnya 78), masih sempat menulis. Menulis di Kompasiana (K) lagi. Menulis di K bukanlah pekerjaan yang sederhana. Harus merancang ulang apa yang harus ditulis, masuk kategori apa, belum lagi kalau ditanggapi berjibun manusia warga K, wow...sabar...sabar. Kesabarannya itu dihormati-diakui, bahwa pak Tjip adalah Kompasianer of the Year 2014. Itu di satu sisi. 

Di lain sisi, Ya...Pak Tjip sabar menjawab satu persatu para penanggap. Nggak heran kalau beliau pasti harus meluangkan waktu, menyisihkan waktu untuk menjawab satu persatu tulisan, tanggapan para sahabatnya. Semua pasti ditanggapi, nggak ada yang terlewat. Sebegitunya sabar Pak Tjip (dan Bu Tjip/Bu Ros). 

Orang Jawa bilang, "Sapa isa sabar, mesti isa subur" , siapa bisa bersabar pasti akan subur (subur dalam arti: rendah hati, pengendalian diri). Lebih dari itu, pastilah kesabaran Pak Tjip juga karena tempaan rentang waktu dan pergaulan beliau dengan siapapun dalam ber-Kompasaiana. Barangkali Pak Tjip memahami bahwa kesabaran itu adalah "sekolah" yang tak pernah selesai/tamat. Dimana orang masih hidup, disitulah ia harus bersekolah/kuliah dengan "Mata Kuliah Dasar Umum/MKDU":  kesabaran.

Guru Kesetiaan dalam Pernikahan
Hingga saya menulis di K ini, saya belum pernah mendengar (minimal ada orang yang bercerita pada saya) bahwa Pak Tjip sudah pindah "kelain hati". Dari dulu sampai sekarang, hati Pak Tjip ya....ditempat Bu Ros itulah. Kemana -- mana runtang-runtung (bersama-berduaan). Dimana ada Pak Tjip, disitu ada Bu Ros. Sepaket. 

Paket lengkap dengan segala rute perjalanannya hidupnya. Apakah sesederhana itu hidup perkawinan/pernikahan Pak Tjip? Oh tidak.  Cobaan pasti ada. Bagaimana hidup dalam garis kemiskinan, kesederhanaan. Bagaimana hidup harus berjuang dengan  kejujuran yang harus terpatri terus-menerus dalam hati. Andai Pak Tjip dan Bu Ros (Bu Tjip) nggak saling jujur, setia, ... entahlah. Pasti ceritanya lain, yang jelas saya nggak nulis seperti ini. Ehem.

Apakah Pak Tjip dan Bu Ros itu cocok? Enggak cocok menurut saya. Tetapi Pak Tjip dan Bu Ros, beliau berdua saling melengkapi dan mengisi. Maka wajar, dan bahkan sangat mulia, bahwa ketidakcocokan adalah sarana untuk saling membangunkan yang terpuruk, melengkapi yang kurang, dan menguatkan yang lemah. Suka dan duka, kurang dan lebih  dalam hidup itu biasa. Roda hidup tak selamanya diatas, juga tak selamanya di bawah. 

Apakah Pak Tjip mengikuti "pola" pernikahan monogami dan tak terceraikan?  Jawabannya pasti beliau akan pegang kata-kata Kitab Suci, "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia (Mat 19:6)" Pastilah pernikahan bagi Opa dan Oma ini karena alasannya utamanya adalah Dia yang Mahacinta. 

Dia yang telah menanamkan cinta secara insani, menyempurnakannya,....dan menyatukannya dalam pernikahan menghadirkan yang illahi. Lah, kok gitu? La... iya, sebagai suami istri, pasti Pak Tjip dan Bu Rose berdoa bersama, bersyukur bersama. Berdoa, bersyukur itu bagian dari "keillahian" lo, apalagi sebagai pasangan suami isteri sehidup- semati, dalam suka dan duka.  Wow...keren! Dua ibu jari untuk Pak Tjip dan Ibu!

Guru dalam Persahabatan
Mengapa saya tidak menuliskan "Guru dalam Pertemanan"?  Secara makna, dan cita rasa bahasa (ehem...) saya memahami bahwa kata "sahabat" itu lebih dalam maknanya dibandingkan kata "teman". Teman bisa diperoleh dimana-mana, di Face Book, Instagram dst. Tetapi sahabat hanya bisa diperoleh ketika seseorang  mau dan mampu  menghilangkan sekat-sekat dalam dirinya. Sekat-sekat itu bisa berarti ras, suku, bahasa, agama, dan budaya. Opa yang lahir di Padang, 21 Mei 1943 dapat bersahabat dengan siapapun, bahkan dimanapun. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun