Mohon tunggu...
Florensius Marsudi
Florensius Marsudi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Manusia biasa, sedang belajar untuk hidup.

Penyuka humaniora - perenda kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apa Kabar Sekolahmu?

19 Februari 2018   00:29 Diperbarui: 19 Februari 2018   00:35 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Apa kabar sekolahmu teman?
Lama aku tak mendengar beritamu. Apakah engkau selalu sehat? Beberapa sahabatmu yang mengenalmu, yang juga mengenalku; memberitahuku bahwa dirimu tambah ceria. Seolah tiada kurang suatu apapun dalam hidupmu. Mungkin karena engkau sedang dimanja oleh negaramu. Engkau selalu mendapat perhatian dari negara untuk mendapatkan pendidikan, sekolah. Bahkan hal itu (kalau di negaraku) sebagai hak, "tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan" (lihatlah pasal 31, UUD 45, perubahan ke-4 yang disahkan 10 Agustus 2002). Sungguh berbahagialah dirimu yang mendapatkan hak itu dengan mudah.

"Lain ladang lain belalang", teman. Di sekolahku, berdengung...ya berdengung sekolah gratis...tis. Entahlah gratisnya nyampe mana ya? La wong untuk seragam saja kami masih belang bonteng nggak merata. Kadang merah putih, kadang coklat merah (karena nggak ada ganti, warna putih dipakai terus hingga kudel kecoklatan, bahkan kerah baju sudah hitam "menggaris" seperti "rel sepur").

Itu kabar sekolahku duluuuu...ya jaman dulu. Sekarang lain bro. Di sekolahku nggak ada yang menggunakan sepatu (baik karet, nilon, apalagi wool). Semua pakai sepatu "kulit". Jan...kulit tenan, alias "nyeker", alias "kaki bodong" persis kaki ayam. Ayam di tempatku nggak sepatuan bro. Apakah aku bersedih melihat kenyataan itu? Oh tidak. Justru kami berprihatin bersama. Kami tak akan menyalahkan siapapun. Kami akan menyalahkan diri kami sendiri yang kurang berupaya dengan jujur.  

Kami tergiur dengan janji, si Bapak itu kalau menang dan menjadi pemimpin kami, beliau akan membangun sekolah kami yang terbuat dari dinding papan, atap rumbia menjadi sekolah berbatu bata, minimal berdinding batako, beratap seng tipis pun jadilah. E....e....rupanya beliau nggak jadi pemimpin kami. Jadi ya...sekolah kami tetap beratap rumbia. 

Oh ya, suatu ketika, si Bapak itu ke sekolah kami. Kami memasak ubi untuk beliau. Maka kami berkumpul makan ubi bersama beliau. Beliau, katanya...ya katanya, sedih melihat kami, sampai-sampai meneteskan air mata. Beliau berjanji kedua kalinya, sekalipun nggak jadi pemimpin kami, beliau akan memberikan bantuan untuk sekolah kami. 

Hari berganti. Minggu berlalu....bulan semakin memanjang. Tahun  baru muncul. Dan ini tahun yang kesekian sejak kunjungan si Bapak itu. Beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar, Bapak itu sudah pensiun, tapi dipenjara, karena mengambil "harta" yang bukan miliknya. Mungkinkah harta yang diambil itu harta kami? Ah, aku nggak mengetahuinya. Moga-moga nasib sekolahmu, tidak seperti sekolahku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun