Tren gym di media sosial seperti TikTok dan Instagram semakin naik dengan segudang tagar. Kita dapat dengan mudah menemukan konten orang-orang yang unjuk aktivitas angkat besi mereka, sekadar berlari di treadmill, atau mengonsumsi whey protein yang melimpah. Adapun satu hal yang seakan tak pernah ketinggalan, yaitu selfie, mirror selfie, alias memotret penampilan diri sendiri.
Penampilan yang dimaksud bukan semata-mata soal siapa yang punya outfit paling photogenic. Saat kita bicara gym, kita bicara bagaimana orang-orang mencoba memperbaharui proporsi tubuh mereka. Harapannya, gym dapat menciptakan transformasi yang membuat mereka lebih sehat, bugar dan tentunya: diapresiasi.
Apresiasi sendiri menjadi salah satu isu yang kerap melatarbelakangi seseorang pergi ke gym. Misal, ketika mereka diejek karena tubuh yang tidak sesuai standar estetika, mereka menaruh "dendam" yang kemudian mendorong mereka. Dorongan tersebut menjadikan mereka rela mengalami pegal-pegal dan cedera akibat berlatih keras hingga menghabiskan uang demi membeli suplemen.
Setelah memeroleh kondisi fisik yang diekspektasikan, biasanya orang-orang tersebut akan membuat semacam konten transformasi diri. Memang, banyak di antara mereka yang memberi atmosfer positif, namun tak sedikit juga yang justru kerap membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain untuk menunjukkan bahwa diri mereka lebih berkelas dan yang lain tidak.
"Sehat itu Bonus, Badan Bagus itu Harus"
"Sehat itu bonus, badan bagus itu harus," kata kebanyakan anak gym yang pernah penulis temui. Kata-katanya bisa jadi berbeda, tetapi polanya sama. Penulis pun menemukan ada semacam obsesi terhadap tubuh yang ideal, terutama di era media sosial yang kian menuntut validasi publik.
Jacques Lacan, seorang psikiater terkenal asal Prancis, menyebut bahwa manusia senantiasa mengejar sesuatu yang disebut phallus. Phallus ini merupakan objek yang melambangkan kekuasaan, kelengkapan, dan kelayakan. Ironisnya, meski individu merasa telah mendapatkan itu, ia sebetulnya tak pernah benar-benar memilikinya karena phallus selalu bergantung pada validasi orang lain.
"Badan bagus" di sini bisa dibaca sebagai phallus, yakni tubuh ideal menjadi tanda status yang diincar. Status tersebut lantas membuat mereka mendapatkan atensi publik. Mereka jadi dipuji karena berhasil memenuhi standar estetika sehingga apresiasi yang mereka harap-harapkan datang: perasaan menjadi layak.
Selain perasaan menjadi layak, tubuh yang atletis atau proposional merupakan lambang atas kepemilikan simbol kuasa di hadapan orang lain. Kuasa bahwa diri mereka sudah berhasil dan patut untuk mengambil alih keadaan. Oleh sebab itu, upaya "balas dendam" atau membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain itu mirip seperti panda merah.
Saat merasa terancam, panda merah akan berdiri dengan dua kaki belakang dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi. Dari perspektif predator, tubuh kecilnya terlihat jauh lebih besar dari aslinya. Ini adalah mekanisme ilusi pertahanan diri untuk sementara waktu. Panda merah tidak benar-benar bertubuh besar.
Anak gym juga mengalami keadaan sementara itu. Untuk mempertahankan tubuh ideal, mereka harus terus berlatih dan merogoh kocek untuk segala makanan serta minuman yang diperlukan. Jika mereka sakit atau terkendala sibuk sehingga harus berhenti, tubuh mereka bisa mengalami factory reset seperti gawai atau mengempis seumpama ban.
Banyak anak gym yang mengaku "takut sakit" pada penulis, terutama demam. Jika itu terjadi, beberapa di antaranya ada yang merasa rendah diri dan menganggap progres mereka seakan tak berarti. Beberapa bahkan memutuskan untuk benar-benar berhenti, kemudian atensi publik terhadapnya berkurang. Mereka pun merasa dilupakan.
Cari Validasi Tak Masalah, Asal ...
Mencari validasi lewat tubuh ideal bukanlah sesuatu yang keliru. Pada dasarnya, manusia memang makhluk sosial yang butuh diakui eksistensinya. Melalui tubuh ideal, seseorang merasa lebih percaya diri, berdaya, dan berani tampil di ruang publik.
Validasi bisa menjadi problem besar apabila tubuh cuma diperlakukan sebagai ilusi. Sama seperti mekanisme pertahanan panda merah, tubuh ideal bisa sekadar berfungsi sebagai pertunjukan visual yang rapuh. Ketika fisik terganggu, "ilusi" itu cepat pudar dan membuat pemiliknya merasa seolah-olah dunianya runtuh. Hal ini menunjukkan bahwa validasi sendiri tidak benar-benar stabil.
Keseimbangan motivasi eksternal dan internal adalah sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan. Validasi dari publik boleh dijadikan penyemangat, tetapi tidak boleh menjadi satu-satunya alasan. Tubuh sehat seharusnya tetap menjadi tujuan utama, sementara tubuh ideal bisa diposisikan sebagai bonus itu sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI