Pembuka
Di era digital hari ini, arus informasi mengalir lebih deras daripada air sungai di musim hujan. Siapa pun bisa menjadi wartawan hanya dengan menekan tombol bagikan. Namun, derasnya arus informasi itu kerap disertai sampah digital berupa hoaks, fitnah, dan ujaran kebencian. Kita tidak lagi sekadar menjadi konsumen informasi, tetapi juga produsen sekaligus penyebar yang menentukan arah opini publik. Di sinilah pentingnya menghidupkan kembali etika verifikasi atau dalam istilah Qur'ani, tabayyun sebagai dasar moral dalam bermedia.
Tabayyun sebagai Etika Profetik
Prinsip tabayyun berasal dari firman Allah dalam QS. Al-ujurt [49]: 6:
Â
Â
"Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(-mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu."
Ayat ini turun dalam konteks sosial, namun memiliki makna komunikasi yang sangat relevan untuk masyarakat digital. Allah tidak hanya mengajarkan umat Islam untuk berhati-hati menerima berita, tetapi juga menegaskan pentingnya verifikasi informasi sebagai tanggung jawab moral agar tidak menimbulkan kerusakan sosial (fasad al-ijtima'i).
Dalam kerangka komunikasi profetik, konsep tabayyun sejatinya adalah bentuk amar ma'ruf (humanisasi) menjaga martabat manusia agar tidak direndahkan oleh fitnah dan kebohongan, sekaligus nahi al-munkar (liberasi) membebaskan masyarakat dari dominasi informasi palsu yang menyesatkan kesadaran. Sementara itu, sikap hati-hati dan niat tulus dalam menyebarkan informasi merupakan bagian dari tu'minuna billah (transendensi) yakni menghadirkan Allah dalam setiap aktivitas komunikasi kita. Sebagaimana ditegaskan oleh Kuntowijoyo bahwa ilmu dan tindakan profetik bertujuan "memanusiakan manusia, membebaskan manusia, dan mengembalikannya kepada Tuhan."[1]
Â
Â