Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kupu-kupu yang Hinggap di Rambut Ibu

10 Agustus 2016   08:57 Diperbarui: 10 Agustus 2016   10:29 1081
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: www.wallpaperawesome.com

Ibu sungguh memuja kupu-kupu sebagaimana ia mencintai setiap helai rambutnya yang berjurai menyentuh tanah. Itulah yang melintas di benakku saat ibu membiarkan kupu-kupu hinggap di rambutnya seperti hiasan yang disematkan. Kadang-kadang kupu-kupu itu datang bergerombol, di lain waktu ada beberapa saja. Mereka membentuk pola indah berwarna-warni di rambut legam bergelombang milik ibu dan membuat parasnya bertambah jelita. Adakalanya khayalanku membuatku berpikir, bahwa ibu adalah seorang peri yang sedang tersesat di bumi.

Aku tak tahu pasti dari mana datangnya kupu-kupu itu. Juga alasan mengapa mereka datang dan hinggap silih berganti di rambut ibu. Setahuku, dulu mereka hidup di hutan yang kerap disebut hutan kupu-kupu, surga kupu-kupu segala jenis dan warna. Hutan itu terletak di pinggiran desa. Semasa kecil, di sanalah aku biasa bercengkerama bersama teman sepermainanku. Berulangkali kami mencoba menangkap kupu-kupu yang terbang di antara semak dan pepohonan. Usaha itu sia-sia saja. Kawanan kupu-kupu itu lebih gesit dan lincah. Tak satu pun yang berhasil, tak terkecuali aku.

Akhir-akhir ini, hutan kupu-kupu nyaris gundul. Orang-orang desa menebang pohon dan menjual kayunya ke kota. Tak ada yang peduli dengan kupu-kupu. Aku menduga, mungkin itu sebabnya kupu-kupu itu mendatangi kami lalu hinggap di rambut ibu. Pikiran itu bercokol di benakku sebentar saja. Halaman rumah kami ditumbuhi pohon dan bebungaan. Kupu-kupu seharusnya mengisap sari bunga, bukan malah hinggap di rambut ibu.

Ketika aku menanyakan hal itu pada ibu, seulas senyum samar membayang di bibirnya. "Kau tak perlu memikirkan hal-hal semacam itu. Jadilah pemuda yang baik," ucap ibu sambil menyisiri helai-helai rambutnya dengan jemarinya.

Jawaban ibu membuat rasa penasaranku tak terbendung. Keingintahuanku bergejolak. Mengapa kupu-kupu begitu menggandrungi ibu? Apakah ibu seorang pawang kupu-kupu? Lalu aku mulai berpikir, kecantikan ibu-lah yang telah memikat kawanan hewan kecil bersayap indah itu. Tidak hanya kupu-kupu, lelaki di desa kami pun tergila-gila dengan ibu. Mereka bertengkar hebat hanya karena ibu tak sengaja memandang wajah salah satu dari mereka. Tapi ibu selalu menolak kehadiran lelaki dalam hidup kami walaupun ayah telah meninggalkan kami sejak aku masih kanak-kanak. Cuma ada tiga hal penting dalam hidup ibu: aku, rambut indah miliknya dan kupu-kupu.

***


Suatu hari, seekor kupu-kupu besar mendatangi rumah kami. Sayap kupu-kupu itu sungguh lebar, berwarna hitam dan dipenuhi bintik-bintik kecil berwarna putih. Kupu-kupu itu bertengger di langit-langit rumah. Ibu mengatakan bahwa mungkin kami akan kedatangan tamu dari jauh. Kupu-kupu itu tak pernah beranjak. Sikapnya seakan mengawasi kami berdua. Kehadiran kupu-kupu itu mulai mengusikku. Sayangnya, setiap kali aku hendak mengusir kupu-kupu itu, tatapan tajam ibu menyurutkan niatku. Ibu sungguh memuja kupu-kupu melebihi cintanya padaku, putra yang lahir dari rahimnya.

Sejak kehadiran kupu-kupu hitam itu, kupu-kupu dengan sayap beraneka warna tak pernah terlihat lagi. Mereka tak lagi hinggap di rambut ibu. Hal ini cukup menggembirakan untukku. Sekarang, ibu mau menyisihkan sedikit waktunya untuk bercakap-cakap denganku. Tak melulu menyisiri rambutnya atau bercengkerama dengan kupu-kupu. Barulah kusadari, betapa aku merindukan kehadiran ibu yang selama ini terasa jauh. Rindu pada kelembutan telapak tangannya yang mengusap wajahku, juga merdu suaranya yang menerpa telingaku. Kian hari, rambut legam ibu semakin panjang dan bergelombang. Setiap kali aku memandangi ibu, parasnya semakin jelita, sungguh seperti peri dari dunia mimpi.

Tamu dari jauh yang dikatakan ibu tak kunjung tiba. Hatiku mulai risau, memikirkan kemungkinan bahwa kupu-kupu itu adalah pertanda hal buruk yang akan menimpa kami. Ketika aku mengutarakan kerisauanku, ibu malah menegurku.

“Bicaramu melantur, kau terlalu banyak berkhayal,” tuding ibu singkat. Kalimat ibu membungkam mulutku. Aku tak berani lagi bicara tentang kupu-kupu padanya. Meski kegelisahanku kian bertumpuk tatkala kupu-kupu itu terus saja berada di langit-langit rumah kami dari hari ke hari.

Lama-kelamaan, aku dan kupu-kupu besar bersayap hitam itu seperti dua orang yang bermusuhan. Kami saling siaga, saling mengintip kelengahan. Kupu-kupu itu mengepak-ngepakkan sayapnya sewaktu aku terpaksa meninggalkan rumah dan ibu sendirian. Aku merasa menang saat bercakap-cakap dengan ibu sedangkan kupu-kupu itu hanya bisa mengawasi kami dari langit-langit rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun