Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Agar Ku Tahu Bahwa Kau Mencintaiku

11 September 2018   15:31 Diperbarui: 11 September 2018   15:34 1008
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: shutterstock.com

Menurutku, kau tak pernah memahami bagaimana caranya untuk mencintai seseorang. Kau memuja keindahan serta mengagungkan hasrat. Menurutmu, cinta adalah perpaduan keduanya. Kesepakatan antara mata dan keinginan serta dibumbui sedikit niat. Kau mengatakannya ketika kita menginjak usia dua puluh lima. Perihal cinta yang kau yakini sejak mulai mengenal dan jatuh cinta dengan seseorang.

"Kita berakhir sampai di sini," ucapku beku.

Kau terpana mendengar kalimatku. Hujan baru turun berderai. Kita baru saja melepas pelukan rindu di depan pintu rumahku. Hari itu tepat dua puluh lima hari setelah pertemuan kita yang  ke sekian.

"Kau sedang ada masalah?" Pertanyaan itu terlontar setelah menit-menit yang berlalu terasa hampa.

"Tidak," gelengku cepat, "aku hanya menginginkannya."

Kau memasukkan kedua tanganmu ke dalam saku lalu mendesah panjang. Kerut-kerut di dahimu tercetak jelas. Kau menyipitkan mata ke arahku, seakan menerka-nerka apa yang sedang kupikirkan.

"Berikan aku penjelasan."

Tidak mudah menghadapimu. Terutama saat kau sedang bersikeras. Tapi, aku sudah meneguhkan niat dan takkan mundur sekalipun digertak.

"Sudah kukatakan, aku hanya menginginkannya. Kupikir, aku berhak untuk itu."

"Katakanlah, kau sedang tidak puas denganku?"

"Maaf, aku tak bisa menjawabnya."

Kau tertegun dengan jawaban yang kuberikan. Menciptakan jeda di antara kita. Kita lalu bungkam. Hingga akhirnya aku berkata, "Pergilah, jika kita harus bersama, kita akan bertemu lagi entah di mana."

Aku menutup pintu. Tak lama kemudian, terdengar langkahmu pergi. Aku yakin, hujan membasahimu seperti tetes-tetes yang sedang membasahi pipiku.

***
Ini rumah kesepuluh yang kudiami sejak perpisahan kita. Rumah mungil impianku ini berada di pinggir keramaian. Bercat putih dan bermandikan matahari. Aneka anggrek, kamboja, asoka, aster, dan mawar menghiasi pekarangan depan dan belakang rumah. Pagar tanaman mengelilingi rumah yang kubeli dari seorang teman yang menetap di negeri jauh ini.

"Dia pasti sudah melupakanku." Aku berkata-kata sendiri sambil mencabuti rumput-rumput kecil di dalam pot bunga mawar. "Dia sangat sibuk saat ini." Seorang kenalan pernah bercerita, kau sering bepergian ke kota-kota lain karena diundang banyak orang. Katanya, kau telah banyak berubah.

Aku berhenti sejenak dan mendongak pada matahari. Sinarnya menyilaukan mata. Tiba-tiba, sebuah bayangan menutupi pandanganku.

"Apa kabar, Chaira?"

Suara seseorang. Aku mengerjap-ngerjapkan mata.

"Jangan menyuruhku pergi kali ini."

Aku tertegun.

"Akhirnya, aku menemukanmu."

"Ka-u mencariku?"

"Ya. Kau selalu berpindah-pindah. Mungkin... kau menghindariku."

Kita berdiri membisu. Hingga aku teringat, sebagai tuan rumah harusnya aku bersikap ramah.

"Mari, kita duduk di beranda. Aku akan membuatkanmu secangkir teh."

"Teh melati. Kesukaanmu." Kau tersenyum padaku.

Akhirnya, kita duduk berdampingan di beranda setelah sepuluh tahun berlalu.

"Mengapa kau mencariku? Aku yakin, aku tak lagi seindah dulu."

"Aku tahu, karena inilah kau menyuruhku pergi."

"Kau akhirnya mengerti?"

"Hari itu ulang tahunmu dan aku melupakannya," sesalmu. "Aku hanya larut dalam perasaan dan hasratku. Aku mengakuinya."

Kedamaian perlahan menyusup di antara kita. Mungkin rentang waktu telah menciptakannya. Aku bernapas lega.

"Aku hanya ingin tahu bahwa kau mencintaiku. Karena itu, aku memberimu waktu," ucapku tenang.

"Asal kau tahu, selama ini aku sangat mencemaskanmu."

"Kecemasan adalah sisi lain dari cinta."

"Kau benar."

Hening sejenak. Kita saling melirik. Lalu menghabiskan isi cangkir masing-masing.

"Lalu, apakah kedatanganku hari ini..."

"Ma!" Seorang bocah perempuan berlari dari dalam rumah dan duduk di pangkuanku. Ia mendekap beberapa tangkai bunga aster. 

"Aku lapar!"

"Sabar, Sayang. Mama ada tamu. Tunggu sebentar lagi, ya." Aku mengusap puncak kepala bocah berusia lima tahun di pangkuanku.

Bocah perempuan di pangkuanku melirik lelaki di sampingku penuh rasa ingin tahu. "Om ini siapa?"

"Teman mama."

"Ooo..." Mulutnya membentuk bulatan kecil.

"Dia..." Bicaramu terhenti. Kau tampak sangat terkejut.

"Putriku. Matahariku."

Kau berdehem. Gerak-gerikmu terlihat gelisah.

"Aku tidak tahu kau sudah..."

"Apakah aku harus?"

"Bukan begitu. Maksudku... kedatanganku sepertinya keliru."

"Kau berpikir begitu?"

"Entahlah... aku... mungkin harus pergi."

Kesadaran merayap dalam hatiku. Kau belum sepenuhnya berubah.

"Silakan, jika itu yang kau inginkan."

Kau berdiri dan menyapa bocah perempuan dalam pangkuanku.

"Maaf, aku pergi dulu. Lain kali aku akan kembali."

Aku membisu. Lain kali bisa bermakna tidak akan.

Saat kau melangkah buru-buru meninggalkan rumah mungilku, aku kembali terkenang perpisahan sepuluh tahun yang lalu. Kali ini, mungkin kita tidak akan bertemu lagi.

"Ayo, Sayang. Sudah lapar, kan?" Kupandangi wajah malaikat kecil yang telah mengisi hari-hari sepiku. Ia sama sekali tak mirip denganku.

Bocah perempuan itu mengangguk senang. Ia memegang erat jemariku. Aku menyentuh jemari mungilnya untuk pertama kalinya lima tahun yang lalu. Kala itu, sahabatku pergi selamanya dan menitipkan seorang putri padaku.

Aku keliru. Sepuluh tahun mungkin bukanlah waktu yang cukup untuk memahami cara mencintai seseorang.
***
TD, 11 September 2018

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun