Mohon tunggu...
Fitri Manalu
Fitri Manalu Mohon Tunggu... Lainnya - Best Fiction (2016)

#catatankecil

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Kota yang Tumbuh dalam Belantara Pikiranmu

13 Mei 2018   15:57 Diperbarui: 15 Mei 2018   03:08 2625
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: takvim.pw

Kau menduga, ibu tua itu sedang mendambakan pertemuan dengan putra sulungnya yang telah tiada. Perpisahan ibu dan anak memang hal paling perih di dunia. Kau meyakini hal itu meski tak pernah melihat wajah ibu yang melahirkanmu. Namun, bagimu itu tetaplah sebuah perpisahan. Kau berharap akan bertemu dengan perempuan itu suatu hari nanti. Kau ingin bertanya, mengapa kau ditemukan seorang pelacur di lorong kota paling gelap (alasan kau pergi meninggalkan kota lalu berdiam di atas bukit).

Pikiranmu berkelana. Kau duduk di undakan tangga menuju pintu masuk gedung. Mengamati ibu tua itu memuaskan tangisnya. Setelah usai, paras ibu tua itu merona bahagia. Kesusahan menguap dari gurat-gurat wajahnya. Ibu tua itu lantas meninggalkan pelataran gedung sambil berseru-seru, "Terima kasih! Syukurlah!" Orang-orang lalu bertepuk tangan dengan gempita. Hal itu berulang setiap kali, saat seseorang baru saja selesai menitipkan harapan terakhir miliknya.

Hari merangkak menuju siang. Orang-orang masih ramai mengantre di belakang ibu tua itu. Lelaki dengan cerutu, gadis kecil yang murung, pemuda yang tampak kesepian, dan sederet pengunjung lainnya. Kau tak bosan-bosannya mengamati mereka satu per satu. Lalu menyerap segala kesedihan yang terpancar dari wajah-wajah pemilik perpisahan. Setiap kali, hal itu kian terasa menyesakkan. Luka di hatimu perlahan mulai merebak dan menebarkan aroma kepedihan.

Lantas kau mulai mengingat-ingat, luka terbesar apa yang pernah kau alami? Seraut wajah terkenang dalam benakmu. Seseorang yang pernah mengajarkanmu cara menelan kepahitan. Belinda. Perempuan yang telah memungutmu dari lorong kota. Mulut perempuan itu seperti lemari tua yang dijejali kata-kata sampah. Kau membenci perempuan itu dengan segenap jiwamu. Namun, ketika penyakit mulai mendera perempuan itu, hatimu jatuh iba. Kau merawat perempuan itu seperti ibumu sendiri. Ketika Belinda harus pergi selamanya, tak urung hatimu merasa terluka.

Seolah digerakkan oleh kepedihan, kau lantas menuliskan sebuah kalimat di atas telapak tanganmu. Semoga cacian Belinda lenyap dari hatiku selamanya sebelum ajal tiba. Kau lalu turut mengantre bersama orang-orang. Kini kau bukan lagi penjaga kota yang dielu-elukan. Kau menjadi sama dengan mereka. Antrean bergerak lambat. Sinar matahari masih bersinar garang. Tapi orang-orang masih bergumul dengan kesabaran mereka.

Akhirnya, giliranmu tiba. Kau membuka kotak, memasukkan telapak tangan hingga ke dasar, lalu mendiamkannya untuk beberapa saat. Sepasang matamu terpejam. Kau menggumamkan sekelumit doa. Selesai. Kerongkonganmu terasa kering. Kau sungguh dahaga. Ketika kau meminta-minta air kepada orang-orang, tiada yang menyahutinya. Kau hanya menemukan pandangan kosong. Penjaga kota mungkin telah dilupakan.

Malam tak kunjung tiba. Matahari masih menguasai kota. Antrean terus mengalir. Hiruk-pikuk mulai sepi. Suara-suara menjadi hening. Orang-orang mulai bergelimpangan di pelataran gedung. Kematian menjemput mereka satu per satu. Kau tinggal menunggu giliran. Saat kau ingin menyerah, sebuah kejutan datang menghampirimu.

"Kau! Bukankah kau penjaga kota?"

Kau mendapati sepasang mata kuyu namun menusuk. "Bukan, aku bukan dia." Tiba-tiba kau merasakan kegelisahan menyergap dalam benakmu.

"Tidak, itu kau. Orang yang membagi-bagikan bungkusan-bungkusan harapan pada kami."

Orang-orang di pelataran mulai berbisik-bisik. Mereka mulai memperhatikanmu. Entah mengapa, kau mulai gemetar. "Bukan. Tidak, itu bukan aku!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun