Beberapa saat kemudian, Borya masuk dengan nampan berisi kasha [1], roti dan secangkir teh panas.
"Di mana saya harus meletakkannya, Tuan?" tanya Borya kebingungan. Hampir tidak ada tempat kosong di meja tuannya.
Viktor merapikan surat kabar di mejanya dan menggesernya ke tepi. "Letakkan di sini saja. Saya sedang memikirkan sesuatu, Borya. Bagaimana mungkin mereka menulis karya-karya sampah semacam ini? Mereka cuma sekumpulan pembual. Huh! Mungkin mereka bisa menipu pembaca, tapi tidak sepasang mata saya." Sepasang mata Viktor berkilat marah saat mengucapkan kalimat terakhir.
"Bagaimana cara mereka menipu pembaca, Tuan?" Air muka Borya nampak kebingungan. "Bukankah pembaca berhak memutuskan apa yang ingin mereka baca?"
"Ah!" Viktor menggebrak meja sehingga sendok terloncat di atas meja. Sepasang matanya bersinar-sinar senang. "Kalimatmu itu! Kamu ternyata lebih cerdas dari mereka! Kamu benar-benar harus lebih banyak membaca, Borya. Saya berharap banyak padamu."
"Pujian Tuan berlebihan," kata Borya salah tingkah. "Saya akan meninggalkan Tuan sekarang. Masih banyak yang harus saya benahi."
"Silakan." Viktor kembali diam dan tenggelam dalam pikirannya ketika Borya keluar dan menutup pintu.
Menjelang makan siang, tumpukan surat kabar di meja Viktor semakin tinggi. Selain surat kabar, buku-buku dan majalah turut berserakan di atas meja. Semua itu seperti kekacauan di antara sisa sarapan pagi yang telah menjadi dingin.
"Borya... Borya!" Viktor kembali memanggil pelayannya dengan lantang. Sebentar saja, Borya muncul dari balik pintu dan berjalan mendekati meja tuannya.
"Ada apa, Tuan?"
"Tolong, bawakan makan siang saya sekarang. Cerpen-cerpen sialan ini membuat saya merasa lapar. Entah dari mana mereka mendapatkan ide-ide menggelikan seperti ini. Sungguh memuakkan!" Viktor memuntahkan seluruh kekesalannya.