Bakteri, virus dan senyawa kimia tersebut dapat menimbulkan keracunan makanan karena mengonsumsi makanan yang terkontaminasi. Olahan makanan yang tidak diproses dengan benar, cara penyimpanan yang salah, dan wadah makanan atau tempat masak tidak higienis bisa menjadi pemicu kontaminasi. Siswa yang mengonsumsinya berisiko sakit.
Indikasi alergi dalam keracunan makanan
Kita mengenal alergi sebagai suatu reaksi sistem kekebalan tubuh terhadap zat (alergen) yang dipicu dari makanan tertentu, misalnya kacang-kacangan, susu, telur dan ikan. Reaksi yang timbul biasanya kulit kemerahan, gatal-gatal atau alami gejala saluran pernapasan (sesak, mengi).
Laporan alergi setelah konsumsi menu program MBG ikut menjadi salah satu perbincangan hangat. Ada yang berpandangan itu bukan alergi, melainkan keracunan makanan. Sebab, alergi berbeda dengan keracunan makanan, yang mana alergi lebih personal secara individu. Kalau kalimat ala warganet, 'Masa iya, alergi berjamaah gara-gara makan MBG.'
Merespons gejala alergi di tengah insiden keracunan makanan MBG, pejabat sebaiknya lebih berhati-hati lagi dalam menyampaikan laporan. Apakah gejala yang ditimbulkan benar-benar alergi atau gejala keracunan makanan yang mirip-mirip alergi? Hal ini mengingat, reaksi alergi bisa menimbulkan mual, muntah dan diare.
Merujuk "Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Penyakit Menular dan Keracunan Pangan (Pedoman Epidemiologi Penyakit): Edisi Revisi Tahun 2017" terbitan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, gejala alergi ternyata masuk dalam salah satu gejala klinik keracunan pangan, ditandai dengan wajah memerah dan gatal-gatal.
Oleh karena itu, perlu pemeriksaan dan diagnosis tepat saat ada gejala alergi setelah konsumsi makanan MBG. Mungkin saja ada anak yang punya riwayat alergi, sehingga gejalanya langsung muncul setelah makan MBG. Patut pula dipertimbangkan, gejala yang dialami itu keracunan makanan, tapi malah disalahartikan sebagai alergi.
Persoalan alergi tak boleh disepelekan. Pihak sekolah maupun dapur SPPG MBG wajib mendata siswa yang punya riwayat alergi. Sajian bagi siswa yang alergi dapat diganti menu lain. Contohnya, siswa yang alergi seafood, maka protein hewani bisa diganti daging atau telur.
Adapun gejala klinik keracunan pangan menurut buku pedoman Kemenkes terbagi beberapa kelompok meliputi gejala pada saluran gastrointestinal atas (mual, muntah); gejala pada saluran gastrointestinal bawah (kejang perut, diare); sakit tenggorokan dan pernapasan; gejala infeksi umum (demam, menggigil, rasa tidak enak, letih, pembengkakan kelenjar limfe), serta gejala neurologi (gangguan penglihatan, perasaan melayang, paralysis).
Butuh komunikasi yang jelas kepada publik
Ketidakseragaman penggunaan istilah dalam insiden keracunan makanan program Makan Bergizi Gratis dapat membuat publik bertanya-tanya. Pejabat sekiranya menyampaikan komunikasi dengan bahasa yang jelas kepada publik saat berbicara tentang gejala yang dialami anak setelah konsumsi MBG.
Kita semua berharap, jangan sampai komunikasi yang disampaikan langsung menyimpulkan gangguan pencernaan atau alergi biasa, bahkan menyatakan 'perut tidak terbiasa dengan menunya.' Kita tak menampik bahwa ada kemungkinan gejala yang dialami masuk kategori keracunan makanan.
Selain istilah keracunan makanan, penggunaan istilah keracunan pangan dapat dipakai. Regulasi dan buku pedoman Kemenkes lebih banyak menggunakan istilah keracunan pangan, sehingga menyebut kejadian luar biasa ditulisnya "KLB Keracunan Pangan."