Bila kita baca peraturan pemerintah tersebut, pertama adalah tidak ada secara gamblang menyoroti persoalan kenaikan status KLB di daerah menjadi KLB Nasional. Lebih tepatnya, Menteri dan kepala daerah punya wewenang untuk menetapkan KLB. Inilah yang mungkin salah kaprah, kalau Menteri teken penetapan KLB, maka jadinya KLB Nasional.
Kedua, penetapan KLB oleh Menteri punya serangkaian pertimbangan lebih rinci. Yang paling terlihat dari lingkup wilayah yang luas lintas provinsi. Lalu, pertimbangan sumber daya dan teknologi untuk penanggulangan KLB-nya. Misalnya, butuh surveilans aktif kasus dan pemeriksaan patogen, maka sumber daya kesehatan, laboratorium, dan sistem data terintegrasi harus disiapkan.
Menteri berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan kementerian/lembaga terkait untuk menanggulangi KLB. Ketiga, prinsip penanggulangan KLB, baik status yang ditetapkan Menteri maupun kepala daerah tetap sama. Mulai dari penyelidikan epidemiologis sampai komunikasi risiko.
Menyoal KLB Keracunan Makanan program MBG, mungkin pertanyaan yang dimaksud, 'Kenapa bukan langsung Menteri yang menetapkan status KLB?' Padahal, kasus keracunan MBG mulai banyak terjadi sejak program prioritas Presiden ini diluncurkan pada Januari 2025. Satu persatu daerah saling menyusul, berstatus KLB Keracunan Makanan program MBG.
Bukan gangguan pencernaan biasa
Manakala terjadi keracunan massal dan berstatus Kejadian Luar Biasa, insiden yang terjadi tidak tepat disebut gangguan pencernaan biasa. Kita tidak bisa memperlakukannya sama dengan gangguan pencernaan umum. Sederhananya, si C dan D jajan ketoprak di luar sekolah.Â
Tak berselang lama, si C mual dan diare, sementara si D dan teman-teman satu sekolah yang juga jajan serupa tidak mengalami gejala sakit. Bagi si C cukuplah berkata, 'Oh, kayaknya pas bagian saya, bumbu kacangnya bermasalah atau lontongnya kali ya udah mulai basi.' Datang berobat ke dokter, dikasih obat, oke selesai begitu.Â
Situasi ini jelas berbeda dengan keracunan makanan akibat MBG yang dialami ribuan siswa di berbagai daerah. Di antaranya, ada yang diinfus dan rawat inap.
Bisa saja pertanyaan terlontar, 'Lho, diare, mual, sakit perut, mual, muntah kan gejala gangguan pencernaan?' Betul, itu semua gejala gangguan pencernaan. Akan tetapi, kita berada dalam situasi berkaitan dengan pasca konsumsi menu program MBG. Penanganannya, bukan berarti 'Tinggal diobati, oh, cuma gangguan pencernaan kok, lantas urusan selesai.'Â
Keracunan makanan program MBG yang telah menjadi KLB di beberapa daerah tentunya dicari sumber asalnya, penyebab kontaminasi makanan, senyawa kimia, dan jenis bakteri yang menimbulkan gejala sakit. Masa inkubasi bakteri turut dianalisis, berapa lama dari konsumsi makanan hingga gejala muncul. Pencatatan laporannya lebih detail.
Hasilnya, ada temuan bakteri, virus, dan senyawa kimia, sebagaimana yang dipaparkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin saat rapat kerja bersama Komisi IX DPR RI pada 1 Oktober 2025. Temuan berasal dari pemeriksaan seluruh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang tercatat terjadi insiden keracunan MBG.Â
Jenis bakterinya, antara lain Salmonella, Escherichia Coli, Bacillus Cereus, Staphylococcus Aureus, Clostridium Perfringens, Listeria monocytogenes, Campylobacter Jejuni, dan Shigella. Selanjutnya, jenis virus berupa Norovirus atau Rotavirus serta Hepatitis A. Sementara untuk senyawa kimia, yakni Nitrit dan Scombrotoxin atau Histamine.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!