Mohon tunggu...
Fitri Ciptosari
Fitri Ciptosari Mohon Tunggu... Dosen - Eco-populist and Lecturer of Ecotourism

Berkonsentrasi pada isu pembangunan, pariwisata, dan lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Konsumerisme dan Residu Kapitalisme

13 Februari 2019   09:26 Diperbarui: 14 Februari 2019   16:27 837
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Persoalan lingkungan hidup adalah persoalan global dan universal, sebab berbicara tentang perlindungan lingkungan hidup berarti berbicara tentang persoalan yang dihadapi seluruh umat manusia. 

Dalam kegiatan diskusi Gosip Ekologi di Kantor WALHI NTT pada tanggal 9 Februari 2019, Torry Kuswardono berhasil memantik diskusi dengan merefleksikan sampah dan menghubungkannya pada tema diskusi, yaitu tantangan perlindungan lingkungan di NTT. 

Sampah digunakan sebagai pemantik dalam menggambarkan sistem akumulasi kapital yang berdampak pada upaya perlindungan alam. Sampah direfleksikan sebagai residu dari kapitalisme dan bentuk nyata dari kegagalan kapitalisme. Semakin banyak akumulasi kekayaan dalam peradaban manusia maka semakin banyak eksploitasi alam, semakin banyak penindasan. 

Sampah menjadi gambaran peradaban buruk dari manusia. Oleh karenanya, membicarakan sampah berarti harus membicarakan perilaku manusia dan sistem yang membentuknya. Karena sejatinya bukan sampah yang menjadi masalah, justru manusia sebagai akar masalah dari permasalahan sampah itu sendiri.

Konsumerisme

Salah satu yang perlu dibahas dari manusia sebagai akar masalah adalah perilaku konsumerisme mereka. Sebagai sebuah fenomena sosial, konsumerisme menunjuk kepada gaya hidup yang mengukur kebahagiaan dari sisi kepemilikan barang tertentu. Sebuah gejala yang menumbuhkan hasrat untuk terus mengkonsumsi. 

Gejala ini disebabkan oleh beberapa hal diantaranya adalah kebutuhan akan pencitraan dan status sosial. Telah terjadi pergeseran yang signifikan dalam masyarakat bahwa mengkonsumsi barang sudah tidak lagi melihat nilai guna, melainkan mengacu pada nilai citra. 

Pada saat yang bersamaan dengan pencitraan, postmodernisme justru mengumandangkan persamaan dimana barang diproduksi secara masal dan dapat dikonsumsi semua orang. Ditambah lagi dengan berkembangnya logika 'semakin banyak produksi harga semakin murah' membuat produsen memproduksi barang sebanyak mungkin. 

Produksi yang semakin menimbun membuat persaingan semakin meningkat dan produsen memikirkan pola pencitraan yang tepat supaya terus mendapatkan konsumen. Pola ini melingkar dan terus membentuk sebuah rangkai produksi dan akhirnya membentuk pola konsumtif dalam masyarakat.

Budaya konsumtif sebenarnya sengaja di desain untuk membentuk peradaban manusia sekarang ini. Jika merefleksikan tesis model propaganda Chomsky tentang Manufacturing Consent, bahwa media massa telah menjadi salah satu aktor dalam menggerakkan konsumerisme. Sebagai institusi yang digerakkan oleh laba, media massa cenderung melayani dan memajukan agenda kepentingan kelompok elit yang dominan di masyarakat. 

Iklan yang menjadi ladang penghasilan bagi para pemilik media massa telah memberikan efek yang kuat dalam mempengaruhi budaya konsumtif pada masyarakat. Kebutuhan masyarakat yang begitu kompleks dimanfaatkan media massa melalui iklan untuk mempengaruhi daya beli masyarakat sehingga memunculkan budaya konsumerisme.

Selain media massa, konsumerisme juga terbentuk oleh dua strategi yang digunakan oleh aktor-aktor industri dalam memasarkan barangnya dan untuk terus meraup keuntungan. Pertama, Planned Obsolescence atau keusangan bawaan dalam desain industri dan ekonomi adalah kebijakan merencanakan atau merancang suatu produk dengan masa manfaat yang terbatas. 

Alasan dibalik strategi ini adalah cara yang digunakan untuk memproduksi barang-barang yang habis secepat mungkin, sehingga kita akan cepat membuangnya dan membeli yang baru. Hal ini terlihat jelas dalam penggunaan botol plastik air mineral, kantong plastik, dan bahkan pada barang elektronik seperti kamera dan handphone. 

Strategi kedua adalah Perceived Obsolescence, suatu cara untuk meyakinkan konsumen bahwa mereka harus membuang dan meninggalkan barang yang jelas masih sangat berguna. Oleh karenanya, orang-orang selalu berburu tren baru untuk tidak mau terkesan 'kuno' dan terlindas oleh perubahan zaman.

Khusus di Indonesia, dimana pertumbuhan ekonominya ditopang oleh pola konsumtif masyarakatnya, rupanya turut menjadikan negara berperan sebagai pendorong konsumerisme. Ketika di negara lain laju pertumbuhan ekonominya ditopang oleh ekspor, justru di Indonesia ditopang oleh konsumsi domestik. 

Tingginya pertumbuhan konsumsi domestik membuat laju perekonomian Indonesia tetap stabil meskipun kondisi perekonomian dunia yang penuh dengan ketidakpastian. Oleh karenanya, agar perekonomian Indonesia semakin baik pemerintah harus terus menjaga pola konsumtif masyarakatnya supaya tidak mengalami penurunan.

Lebih lanjut, di Indonesia indikator kesejahteraan justru diukur dari tingginya tingkat konsumsi atau daya beli (purchasing power parity), bukan pada statistik pendapatan. Acuan sejahtera hanya di lihat dari seberapa mampu orang-orang membangun rumah tembok, membeli kendaraan dan membayar pajak. 

Jikapun tingkat pendapatan juga dilihat, itupun hanya untuk melihat laba atau defisit dari tingkatan pengeluaran dan konsumsi rumah tangga. Hal ini merefleksikan bahwa problem utama dari konsumerisme sebenarnya terletak pada paradigma kesejahteraan yang di standardkan dalam tatanan masyarakat itu sendiri.

Kembali ke sampah dan usaha perlindungan lingkungan hidup, maka film dokumenter dari Annie Leonard yang berjudul The Story of Stuff dapat menjadi rujukan dalam membangun pemikiran dan visi kritis bagi masyarakat konsumeris. 

Tesis Leonard yang mengatakan bahwa 'Anda tidak dapat menjalankan sistem Linear di planet yang terbatas tanpa batas' adalah ajakan untuk meninggalkan paradigma ekonomi linear yang konvensional dan menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan dan adil. Model ekonomi linear yang bersifat ambil-buat-buang yang telah dianut sejak beberapa dekade terakhir telah menampakkan konsekuensi yang tak menyenangkan bagi lingkungan.


Jadi, berawal dari sampah dan bahasan tentang akar masalahnya, diskusi Gosip Ekologi di kantor WALHI NTT menyisakan pemikiran-pemikiran untuk terus mengupayakan perlindungan lingkungan di NTT di tengah-tengah akumulasi kapital yang sangat sistematis. 

Jika mengikuti dua akar masalah baik konsumerisme dan sistem yang membentuknya, maka ada dua arah yang dapat dituju dalam menciptakan solusi. Pertama, menggugah kesadaran personal dengan mendorong Gerakan Konsumen Sadar. Kedua, pentingnya untuk melihat advokasi kebijakan yang paling tepat yang dapat didukung oleh setiap lapisan, dari Industri, media massa, hingga masyarakat bawah.

Referensi :

Masyarakat Konsumerisme

Review: The story of stuff

Ekonom: Laju Ekonomi Masih Ditopang Konsumsi dan Investasi

Mengganti Ekonomi Linear Menjadi Sirkular

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun