Mohon tunggu...
Fitria Wulan sari
Fitria Wulan sari Mohon Tunggu... Pembelajar sepanjang hayat

Manusia yang masih mencari jati diri karena ketertarikannya pada isu anak, keluarga, komunitas, dan pemberdayaan. Berhasil dalam perjuangan memperoleh pengalaman dan pengetahuan di jurusan Kesejahteraan Sosial Universitas Jember. Dalam proses belajar dan menjadi manusia yang utuh

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kenakalan Remaja dan Kemiskinan yang Sering Disalahpahami

3 Mei 2025   19:22 Diperbarui: 3 Mei 2025   19:03 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Potrait remaja Indonesia(Photo by Haddad Azfa on Unsplash)

Fenomena tawuran dan kenakalan remaja bukanlah hal baru. Namun, respons masyarakat terhadapnya kerap terasa terburu-buru: menyalahkan anak-anak sebagai produk dari pengasuhan yang buruk, terlebih jika mereka berasal dari keluarga miskin. Padahal, pandangan seperti ini terlalu menyederhanakan persoalan yang jauh lebih kompleks. Dalam banyak kasus, orang tua dari latar belakang ekonomi rendah bekerja keras setiap hari untuk memenuhi kebutuhan dasar keluarga. Waktu dan tenaga mereka terkuras untuk bertahan hidup, hingga interaksi bermakna dengan anak menjadi sesuatu yang langka.

Kondisi ini bisa kita pahami lewat konsep time poverty atau kemiskinan waktu, yaitu istilah yang menggambarkan situasi ketika seseorang tidak memiliki cukup waktu luang karena terjebak dalam tekanan pekerjaan dan tanggung jawab rumah tangga. Bagi banyak orang tua berpenghasilan rendah, waktu bukan sekadar soal manajemen, tapi tentang prioritas hidup. Mereka tidak sedang memilih untuk abai terhadap anak-anaknya, melainkan dipaksa oleh keadaan untuk memfokuskan energi pada urusan paling mendesak: kebutuhan pokok. Akibatnya, waktu berkualitas bersama anak menjadi kemewahan yang jarang mereka nikmati.

Masalah tidak berhenti di situ. Ketika akhirnya mereka memiliki waktu di rumah, tidak sedikit dari mereka yang hadir secara fisik namun sudah kehabisan tenaga secara emosional. Kelelahan mental dan stres berkepanjangan membuat mereka sulit merespons kebutuhan emosional anak dengan empati. Dalam situasi seperti ini, anak-anak bisa merasa tidak terlihat, bahkan ditolak. Ini sejalan dengan temuan dalam teori parental burnout, yang menunjukkan bagaimana tekanan ekonomi, stres kronis, dan minimnya dukungan sosial dapat memicu kelelahan ekstrem pada orang tua. Gejalanya bukan hanya rasa lelah biasa, tapi juga keterasingan emosional dari anak dan menurunnya rasa percaya diri sebagai pengasuh. Sayangnya, anak-anak yang tumbuh dalam atmosfer seperti ini bisa mengalami luka emosional yang dalam.

Salah satu dampak paling nyata dari kondisi tersebut adalah hilangnya pengawasan terhadap anak. Tanpa kehadiran emosional atau arahan dari orang tua, anak-anak cenderung mencari dukungan dari lingkungan luar: teman sebaya, orang dewasa lain, atau bahkan ruang-ruang daring yang belum tentu aman. Padahal, pengawasan dari keluarga adalah salah satu pelindung utama dari perilaku menyimpang. Ketika pengawasan itu hilang—karena orang tua harus bekerja dari pagi hingga malam—ikatan anak dengan keluarga pun melemah. Di saat yang sama, risiko mereka terlibat dalam perilaku berisiko, seperti kekerasan atau penggunaan zat terlarang, meningkat tajam.

Dalam jangka panjang, situasi ini bisa merusak keterikatan emosional antara orang tua dan anak. Anak-anak yang tidak merasakan kehadiran emosional orang tuanya sejak kecil cenderung mengalami ketidakamanan dalam hubungan. Mereka mungkin menarik diri dari keluarga dan lebih menggantungkan identitas serta dukungan emosional pada lingkungan di luar rumah. Bagi sebagian remaja, ini bisa berarti menjalin hubungan yang kurang sehat atau bergantung pada komunitas yang memberikan rasa diterima, meski arah pengaruhnya negatif.

Inilah sebabnya kita perlu berhenti menyalahkan orang tua miskin atas perilaku anak-anak mereka. Mereka bukan tidak peduli, melainkan terjebak dalam sistem yang memaksa mereka untuk memilih antara pekerjaan dan kehadiran. Tuduhan dan stigma hanya memperparah luka yang sudah ada. Jika kita benar-benar ingin mengatasi masalah kenakalan remaja, kita perlu menoleh ke akar persoalan: struktur sosial dan ekonomi yang tidak ramah terhadap keluarga berpenghasilan rendah. Masyarakat yang adil bukan hanya memberi makan, tetapi juga menyediakan ruang dan waktu bagi keluarga untuk tumbuh bersama.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun