Mohon tunggu...
Firsty Chintya L. Perbawani
Firsty Chintya L. Perbawani Mohon Tunggu... Dosen - International Relations Lecturer, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur

Doctoral Candidate of Social Sciences, Universitas Airlangga. Researcher, Indonesian Community for European Studies. Currently focused on International Peace and Security Studies; Securitization Theory; Migration Studies; European Union.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kontinuitas Pola Blitzkrieg: Analisis Strategi Amerika Serikat dalam Operasi Desert Storm dan Iraqi Freedom

3 Juni 2022   12:48 Diperbarui: 3 Juni 2022   14:27 1072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Abstrak

Tulisan ini akan menganalisis bagaimana pola yang dilakukan Amerika Serikat (AS) untuk memerangi Irak dalam Perang Teluk I di tahun 1991 dan juga inisiasi pengeboman di tahun 2003. 

Dengan fokus bahasan mengenai strategi dan taktik perang, akan kemudian melihat relevansi strategi ‘blitzkrieg’ yang dijadikan doktrin dalam setiap tindakan perang AS terhadap Irak; mengutamakan dominansi kecepatan kilat. Tulisan ini bertujuan untuk menarik pelajaran, strategi-strategi perang apa saja yang dilakukan AS, melalui penguatan empiris pada kontinuitas pola AS dalam Operasi Desert Storm 1991 dan Iraqi Freedom 2003.

Kata kunci: strategi, blitzkrieg, perang irak, operation desert storm, operation iraqi freedom

 

Pendahuluan

Kehadiran invasi Irak ke Kuwait pada 2 Agustus 1990 membuat dunia internasional tergerak. Hal ini dikarenakan okupasi yang dilakukan Pemerintah Irak, di bawah Saddam Husein, dinilai tidak berperikemanusiaan dan semata-mata didasari dengan keinginan untuk mengambil alih sumber daya minyak Kuwait. 

Frances R. Culpepper (1997, 1) dalam tulisannya yang berjudul Saddam Hussein’s Decision to Invade Kuwait: Where Was Plan B menjabarkan bahwa tujuan dasar invasi Irak ke Kuwait jika dilihat dari kepentingan pribadi Sadam Hussein ada dua yakni personal survival sebagai pemimpin negara; dan desire to assert pengaruh Irak beserta segala kekuasaannya di Timur Tengah. 

Dengan dalih bahwa Kuwait secara historis adalah salah satu provinsi Irak, pada 8 Agustus 1990, Irak memberikan ultimatum bahwa Kuwait sudah dianeksasi oleh Pemerintah Irak. Namun, belakangan muncul alasan lain yang melatarbelakangi invasi Kuwait ini dilakukan oleh Irak karena Irak enggan membayar hutang sebesar 14 juta dolar AS yang dipinjam Irak selama Perang Iran-Irak selama 8 tahun sebelumnya (Culpepper 1997, 2). 

Irak justru menyalahkan Kuwait yang dinilai justru hanya ingin membuat ekonomi Irak terus jatuh. Singkatnya, walaupun di tahun 1989 beberapa pertemuan dilakukan antara Kuwait-Irak tetap saja yang terjadi adalah deadlock. Serangan dan invasi militer dilakukan Irak ke Kuwait. 

AS di bawah pemerintahan Presiden Bush Senior pun bereaksi dengan membuat Operation Desert Shield untuk mengamankan Timur Tengah hingga pada tanggal 17 Januari 1991, AS mengubahnya menuju fase gencatan senjata atau combat phase karena geram sudah berbulan-bulan, Irak tidak juga meninggalkan Kuwait sekali pun UNSCR (United Nations Security Council Resolution) 660 dan 678 sudah dikeluarkan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). 

Inilah yang dikenal dengan Gulf War Air Campaign atau Operation Desert Storm, dengan bantuan 35 negara aliansi lainnya, AS dan teknologi pesawat tempurnya memulai serangan udara masif dengan target Irak (Grammas 1991, 2).

Selain itu, momentum yang juga menarik, dan menurut penulis dapat menunjukkan kontinuitas serangan AS terhadap Irak terjadi lagi pada tahun 2003, di mana Irak lagi-lagi tidak mematuhi peraturan PBB yang tertuang dalam UNSCR 1441. Resolusi 1441 berisikan utusan agar Irak menghentikan upaya pengembangan senjata pemusnah masal (WMD), pembelian persenjataan ilegal, bahkan juga menyakiti Kuwait lagi. 

Singkatnya, pada 19 Maret 2003, Presiden Bush Junior mendeklarasikan bahwa AS akan menginvasi Kuwait. Singkatnya, dua hari pasca deklarasi media tersebut, AS membombardir Irak dan fase awal ini benar-benar membuat Kuwait terkejut. Baghdad yang ditargetkan akan dilumpuhkan dalam waktu beberapa jam saja ternyata juga berdampak pada beberapa kota lain di Kuwait, seperti Mosul dan Kirkuk. Serangan yang dilakukan AS ini kemudian dikenal dengan 2003 Invansion of Iraq atau fase inisiasi dari Operation Iraqi Freedom (Ullman 2003).

Untuk mempermudah pembaca, penulis membuat tabel yang dapat menunjukkan sejauh mana kekuatan yang diberikan oleh AS dan Irak, lalu penulis juga memberi batasan waktu periode perang pada fase tertentu (akan penulis sampaikan argumen di paragraf selanjutnya). Tidak hanya itu, penulis juga mengolah data seberapa banyak kasualitas yang ditimbulkan dari tiap-tiap perang tersebut. Berikut adalah tabel penulis:

Periode Perang

Kekuatan 

Kasualitas

Perang Teluk I*

(Gulf War Air Campaign)

17 Januari 1991 – 23 Februari 1991

AS: 309.000 personel, 2.250 pesawat tempur

AS: 46 terbunuh, 75 pesawat rusak

Irak: 375.000 personel, 550 pesawat tempur

Irak: 12.000 terbunuh, 105 pesawat rusak

Perang Teluk II** (2003 Invansion of Iraq)

20 Maret 2003 – 1 Mei 2003

AS: 466.985 personel

AS: 172 terbunuh, 551 terluka

Irak: 538.000 personel

Irak: 30.000 terbunuh

(Sumber: Penulis dengan pengolahan data, *fase operasi militer udara saja, **fase insiasi saja)

Penulis membatasi penelitian ini hanya pada fase militer udara saat Perang Teluk I dan fase invasi saja pada saat Perang Teluk II, karena tujuan dari tulisan ini adalah menunjukkan eksistensi dari strategi blitzkrieg atau kecepatan kilat dalam berperang. 

Gulf War Air Campaign atau Operasi Militer Udara Teluk ini membuktikan bagaimana kekuatan Angkatan Udara AS sangat kuat, mobilitasnya pun sangat tinggi; kemudian, 2003 Invansion of Iraq menunjukkan keseriusan AS dalam membuat Irak terkejut dengan membombardir wilayah Baghdad, bahkan juga berdampak pada wilayah Mosul dan Kirkuk.

Berbagai penjelasan di atas, menarik penulis pada pertanyaan penelitian, ‘Apakah strategi blitzkrieg masih dapat dikatakan sebagai strategi yang layak untuk perang modern, khususnya dalam kasus operation desert storm dan operation iraqi freedom?’. Pertanyaan ini muncul karena AS memiliki pola yang setidaknya dapat menggambarkan apa yang menjadi poin dasar blitzkrieg yakni rapid dominance atau dominansi yang cepat dalam melumpuhkan lawan (dalam hal ini, Irak).

Penulis mengajukan pernyataan tesis bahwa blitzkrieg adalah strategi yang layak untuk perang modern, jika dan hanya jika dikombinasikan dengan kalkulasi taktik yang lebih rasional dan efektif. Apabila bahasan diperluas secara empiris, keberadaan machine warfare, dan ‘high-tech junk’ di mana manusia melebur dengan  persenjataan canggih adalah hal yang tidak dapat dihindarkan; seperti yang AS lakukan melalui operation desert storm tahun 1991 (menggerakkan ribuan pesawat tempur) dan operation iraqi freedom tahun 2003 (menginisiasi pengeboman secara cepat melalui udara).

Pembahasan

Sebelum membahas langsung pada studi kasus, penulis akan terlebih dahulu membahas kerangka strategi blitzkrieg, taktik, dan tindakan operasional apa saja yang ada dalam doktrin ini. Utamanya melihat bagaimana blitzkrieg lahir di era Perang Dunia II, dan apakah tetap layak diaplikasikan di perang-perang selanjutnya. Dalam hal ini, penulis akan memperkuat argumen penulis dengan menganalisisnya dalam kasus upaya AS untuk menginvasi Irak baik pada tahun 1991 maupun di tahun 2003.

- Doktrin Blitzkrieg: Pola Kejut dan Kalahkan secara Cepat

Jika menarik mundur, pola statis dan parit pada PD I  membuat beberapa pihak menyayangkan karena dibutuhkannya waktu yang lama dalam perang. Ini yang melahirkan pemikiran Jenderal Angkatan Darat Jerman, Heinz Guderian mencetuskan bentuk peperangan ‘Blitzkrieg’ atau Perang Kilat. 

Taktik ini mengedepankan preposisi bahwa pertahanan yang baik adalah pertahanan gabungan pasukan yang terus bergerak dengan kilat dan membuat musuh terkejut dan kehilangan komunikasi untuk berkoordinasinya (Paret 1986, 528).  Sebenarnya, taktik dasarnya adalah doktrin ‘Schlieffen Plan’ yang sudah ada sejak PD I. 

Pola blitzkrieg tentu saja juga menyampaikan bahwa PD II sudah memasuki machine warfare di mana mesin-mesin perang terus bergerak, teknologi tinggi di  berbagai pesawat tempur dan tank untuk terus maju sebagai pasukan pengebom. Selain itu, pola blitzkrieg ini sangat mengejutkan dan setelah berhasil menghancurkan Polandia, Jerman melakukan taktik kilat ini dengan mengalihkan pasukkannya ke Prancis, Belgia dan Belanda.  Di tahun 1940, Prancis yang memiliki benteng Maginot Line yang begitu kuat ternyata mampu dikalahkan oleh Jerman dengan taktik ini (Paret 1986, 541).

Strategi blitzkrieg mengandalkan: (1) pola kejutan, dengan langkah 1 menyerang secara kompak; dan (2) kalahkan secara cepat atau rapid dominance, dengan langkah ke-2 yakni menembus pertahanan dengan cara masuk lebih dalam, memotong jalur pasukan logistik dan saluran komunikasi lawan. 

Kemudian, berlanjut ke langkah ke-3 di mana memungkinkan kita untuk mengelilingi lawan melalui mobilitas yang lebih cepat, sehingga musuh tidak dapat menebaknya (Cowley 1996).

- Penguatan Fakta Empiris

1. Analisis Perang Teluk I (Gulf War Air Campaign)

Memperdalam dari apa yang telah penulis sampaikan pada bagian pendahuluan, invasi Irak ke Kuwait tereskalasi dengan fakta lain bahwa harga minyak di dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) semakin memburuk, Irak merasa legasi Kuwait dan negara OPEC  memproduksi minyak lebih dari kuota yang sudah disepakati. Bahkan di salah satu pidatonya, Presiden Hussein mengatakan bahwa Kuwait dan negara lain di OPEC ‘stabbing Iraq in the back’ karena menyebabkan harga minyak Irak turun. 

Hal ini pun membuat Irak segera melakukan invasi pada Kuwait dengan peletakan 300 tank hingga 100.000 pasukan untuk menyerang Kuwait secara besar-besaran (Grammas 1991, 2). 

Ini menimbulkan reaksi multilateral dari Arab League, organisasi Gulf Cooperation Council (GCC), dan juga internasional di bawah Dewan Keamanan PBB. Negara Arab benar-benar mengutuk apa yang dilakukan oleh Irak pada Kuwait dan mengatakan dengan keras pernyataan bahwa Irak harus dengan segera menarik pasukannya. Presiden Mesir, Hosni Mubarak dan Presiden Suriah mengadakan pertemuan dengan negara Teluk lainnya dan menghasilkan kesepakatan untuk mengutuk invasi Irak ke Kuwait dengan hasil: 14 setuju, dan 5 abstain yakni Yordania, Mauritania, the PLO, Sudan, dan Yaman (Culpepper 1997, 3-4). 

Sedangkan dunia internasional melalui legalisasi dari DK PBB dengan UNSCR 678 memberi waktu Irak hingga 15 Januari 1991 untuk menarik diri dari Kuwait, dan apabila melewati tenggat waktu tersebut, maka semua negara diperolehkan melakukan “all necessary means” untuk memaksa Irak mundur dari Kuwait (Culpepper 1997, 5).

- White Paper AS ‘Air Force Performance in Operation Desert Storm’

Kembali fokus pada strategi dan taktik AS pada kali ini, penulis mengutip langsung pada white paper milik militer AS. Operasi Desert Storm ini dikatakan sebagai upaya strategic airlift terbesar pasca Perang Dunia II, karena setidaknya gencatan senjata ini secara total sudah memindahkan 482.000 pasukan dan juga memindahkan 513.000 ton kargo ke titik-titik yang sudah ditentukan (US History t.t). Bahkan karena diinginkan pergerakan yang cepat, upaya deployment ribuan pesawat tempur F-15, lalu juga kapal-kapal tempur masuk melalui Arab Saudi berhasil dilakukan AS hanya dalam waktu 38 jam saja (US Departement of the Air Force 1991, 12). Ini memperkuat argumen penulis bahwa blitzkrieg masih digunakan dengan preposisi bahwa kalahkan lawan dengan cepat melalui peletakan yang cepat dan membangun pola aliansi yang kuat.

Pada bagian command and control, Operasi Desert Storm melahirkan aset-aset baru bagi Angkatan Udara (AU) AS yakni seperti penggunaan: (1) Defense Meteorological Support Program yang memberi kemudahan pada komando perang untuk memberi informasi mengenai cuaca, bahkan juga kemungkinan akan badai pasir dan fenomena lainnya di wilayah Teluk; (2) Global Positioning System yang memberi AU kemampuan bermanuver dengan titik yang presisi; (3) Defense Satellite Communication System yang mewadahi jalur komunikasi antar batalion; hingga (4) Tactical Digital Facsimile yang mampu memfasilitasi para kru dan komandan perang di lapangan untuk mengirimkan gambar beresolusi tinggi yang juga memuat informasi lawan (US Departement of the Air Force 1991, 13-4). Ini juga menguatkan argumen penulis bahwa memang blitzkrieg layak, tetapi akan lebih efektif jika digabungkan dengan invosi teknologi lain, seperti yang dilajukan AS ini.

2. Analisis Perang Teluk II (2003 Invansion of Iraq)

Selanjutnya, adalah bahasan pada kasus empiris kedua yang terjadi di tahun 2013. Walaupun Perang Teluk I dimenangkan oleh AS dan Aliansi karena Irak akhirnya mundur dari Kuwait di tahun 1991, namun rupanya Irak masih saja pada posisi perlawanan. Hingga pada November 2002, DK PBB mengeluarkan UNSCR 1441 untuk menyangsikan segala kegiatan pembangunan WMD, pembelian senjata ilegal, dan okupasi terhadap Kuwait. Ini pun membuat geram AS, hingga pada 19 Maret 2003, Presiden Bush Junior mengumumkan untuk melakukan invasi ke Irak.

­- Penggunaan ‘Shock and Awe’ pada tahap inisiasi Operation Iraqi Freedom

Pada serangan kali ini, AS sudah mengatakan bahwa serangannya akan 30 kali lebih parah jika dibandingkan dengan Operasi Desert Storm di tahun 1991 lalu. Kali ini dengan dua kalkulasi utama, AS menyerang karena: (1) adanya ancaman WMD dari Sadam Hussein; dan juga (2) keterkaitan Irak dengan serangan terorisme 9/11 Al-Qaeda. Tepat pada tanggal 21 Maret 2003, pukul 12:15 EST, ratusan bom diluncurkan di atas ibu kota Irak, Baghdad bahkan juga mengenai kota Mosul dan Kirkuk. 

Menteri Pertahanan AS, Donald Rumsfeld pun mengadakan konferensi pers dan mengumumkan bahwa perang udara telah dimulai. Banyak sekali pesawat tempur F-18 AS yang mulai lepas landas dari basisnya di Kuwait untuk melancarkan misi ini (Ullman 2003). Pola penting yang ada pada operasi kali ini adalah doktrin ‘shock and awe’ yang dicanangkan oleh Harlan Ullman, seorang alumni AL AS dan juga seorang strategis perang AS, bahwa seranglah musuhmu dengan cepat hingga membuatnya lemah, terkejut, dan tidak bisa melawan (Daily Mail 2003). 

Ini benar-benar bisa ditunjukkan dengan pergerakan militer AS bernama Coalition Forces Land Component Command yang juga ikut membantu kelancaran serangan, karena memiliki koalisi dari segala komponen yaitu kekuatan Darat, Udara, Laut, dan special operations yang mampu mendukung serangan ini. Ullman (2003) juga mengatakan bahwa: Of the attack on Iraq, "The point is the simultaneous intensity and enormity of this, it will be a very complicated operation, it will tend to shock, awe and stun the Iraqi leadership. We want them to quit. We want them not to fight.". 

Dari pernyataan tersebut dapat menguatkan argumen tesis penulis bahwa, dasarnya adalah doktrin blitzkrieg untuk menyerang secepat kilat, menyerang secara keseluruhan, mengambil alih alur air hingga secara fisik, emosional, dan pikiran; lawan akan terkalahkan dan mundur perlahan.

Konklusi

Dari berbagai penjelasan tersebut, dapat penulis simpulkan bahwa ada kontinuitas penggunaan strategi blitzkrieg yang layak digunakan pada pola serangan yang dilakukan AS di dua momentum utama, yakni melalui Operation Desert Storm 1991 yang mana membuahkan hasil kemenangan Presiden Bush Senior mampu memukul mundur pasukan Irak dari Kuwait; dan Operation Iraqi Freedom 2003, di mana penulis lebih melihat fokus pada pola ‘shock and awe’ yang tak lain juga menyaratkan ‘kecepatan kilat perang ala blitzkrieg’ saat awal invasi AS di bawah Presiden Bush Junior, ke Irak dengan pengeboman karpet di wilayah Baghdad. 

Bagi penulis, di era kontemporer ini, poin blitzkrieg yang mengatakan bahwa ’we should relied on moving faster than your enemy’sangat dibutuhkan. Pelajaran yang didapatkan adalah blitzkrieg akan benar-benar efektif dan semakin canggih, ketika pengguna strategi bisa mengombinasikannya dengan kemajuan teknologi (peleburan high-tech junk) dan pola machine warfare yang di dapat di era kontemporer ini.

 

Referensi

Cowley, Robert. 1996. Blitzkrieg [Online] Tersedia dalam:  https://www.history.com/topics/world-war-ii/blitzkrieg (diakses pada 20 Mei 2022)

Culpepper, Frances. 1997. Saddam Hussein’s Decision to Invade Kuwait: Where Was Plan B. Washington DC: National Defense University Press

Daily Mail. 2003. ‘Shock and Awe’ unleashed on Iraq [Online] Tersedia dalam: https://www.dailymail.co.uk/news/article-173081/Shock-awe-unleashed-Iraq.html (diakses pada 20 Mei 2022)

Grammas, George N.  1991. ‘Multilateral Responses to the Iraqi Invasion of Kuwait: Economic Sanctions and Emerging Proliferation Controls’, dalam Maryland Journal of International Law, Vol.15, Issue 1.

Paret, Peter (ed). 1986. Makers of Modern Strategy from Machiavelli to the Nuclear Age. New Jersey: Princeton University Press

Ullman, Dr Harlan. 2003. ‘War in Iraq’, dalam The RUSI Journal, 148:3, pp. 10-14

US Departement of the Air Force. 1991. White Paper: Pentagon’s Air Force Performance in Operation Desert Storm. Washington DC

US History. t.t. Operation Desert Storm [Online] Tersedia dalam: http://www.ushistory.org/Us/60a.asp (diakses pada 20 Mei 2022)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun