Mohon tunggu...
Firsty Chintya L. Perbawani
Firsty Chintya L. Perbawani Mohon Tunggu... Dosen - International Relations Lecturer, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur

Doctoral Candidate of Social Sciences, Universitas Airlangga. Researcher, Indonesian Community for European Studies. Currently focused on International Peace and Security Studies; Securitization Theory; Migration Studies; European Union.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kontinuitas Pola Blitzkrieg: Analisis Strategi Amerika Serikat dalam Operasi Desert Storm dan Iraqi Freedom

3 Juni 2022   12:48 Diperbarui: 3 Juni 2022   14:27 1073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Berbagai penjelasan di atas, menarik penulis pada pertanyaan penelitian, ‘Apakah strategi blitzkrieg masih dapat dikatakan sebagai strategi yang layak untuk perang modern, khususnya dalam kasus operation desert storm dan operation iraqi freedom?’. Pertanyaan ini muncul karena AS memiliki pola yang setidaknya dapat menggambarkan apa yang menjadi poin dasar blitzkrieg yakni rapid dominance atau dominansi yang cepat dalam melumpuhkan lawan (dalam hal ini, Irak).

Penulis mengajukan pernyataan tesis bahwa blitzkrieg adalah strategi yang layak untuk perang modern, jika dan hanya jika dikombinasikan dengan kalkulasi taktik yang lebih rasional dan efektif. Apabila bahasan diperluas secara empiris, keberadaan machine warfare, dan ‘high-tech junk’ di mana manusia melebur dengan  persenjataan canggih adalah hal yang tidak dapat dihindarkan; seperti yang AS lakukan melalui operation desert storm tahun 1991 (menggerakkan ribuan pesawat tempur) dan operation iraqi freedom tahun 2003 (menginisiasi pengeboman secara cepat melalui udara).

Pembahasan

Sebelum membahas langsung pada studi kasus, penulis akan terlebih dahulu membahas kerangka strategi blitzkrieg, taktik, dan tindakan operasional apa saja yang ada dalam doktrin ini. Utamanya melihat bagaimana blitzkrieg lahir di era Perang Dunia II, dan apakah tetap layak diaplikasikan di perang-perang selanjutnya. Dalam hal ini, penulis akan memperkuat argumen penulis dengan menganalisisnya dalam kasus upaya AS untuk menginvasi Irak baik pada tahun 1991 maupun di tahun 2003.

- Doktrin Blitzkrieg: Pola Kejut dan Kalahkan secara Cepat

Jika menarik mundur, pola statis dan parit pada PD I  membuat beberapa pihak menyayangkan karena dibutuhkannya waktu yang lama dalam perang. Ini yang melahirkan pemikiran Jenderal Angkatan Darat Jerman, Heinz Guderian mencetuskan bentuk peperangan ‘Blitzkrieg’ atau Perang Kilat. 

Taktik ini mengedepankan preposisi bahwa pertahanan yang baik adalah pertahanan gabungan pasukan yang terus bergerak dengan kilat dan membuat musuh terkejut dan kehilangan komunikasi untuk berkoordinasinya (Paret 1986, 528).  Sebenarnya, taktik dasarnya adalah doktrin ‘Schlieffen Plan’ yang sudah ada sejak PD I. 

Pola blitzkrieg tentu saja juga menyampaikan bahwa PD II sudah memasuki machine warfare di mana mesin-mesin perang terus bergerak, teknologi tinggi di  berbagai pesawat tempur dan tank untuk terus maju sebagai pasukan pengebom. Selain itu, pola blitzkrieg ini sangat mengejutkan dan setelah berhasil menghancurkan Polandia, Jerman melakukan taktik kilat ini dengan mengalihkan pasukkannya ke Prancis, Belgia dan Belanda.  Di tahun 1940, Prancis yang memiliki benteng Maginot Line yang begitu kuat ternyata mampu dikalahkan oleh Jerman dengan taktik ini (Paret 1986, 541).

Strategi blitzkrieg mengandalkan: (1) pola kejutan, dengan langkah 1 menyerang secara kompak; dan (2) kalahkan secara cepat atau rapid dominance, dengan langkah ke-2 yakni menembus pertahanan dengan cara masuk lebih dalam, memotong jalur pasukan logistik dan saluran komunikasi lawan. 

Kemudian, berlanjut ke langkah ke-3 di mana memungkinkan kita untuk mengelilingi lawan melalui mobilitas yang lebih cepat, sehingga musuh tidak dapat menebaknya (Cowley 1996).

- Penguatan Fakta Empiris

1. Analisis Perang Teluk I (Gulf War Air Campaign)

Memperdalam dari apa yang telah penulis sampaikan pada bagian pendahuluan, invasi Irak ke Kuwait tereskalasi dengan fakta lain bahwa harga minyak di dalam Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) semakin memburuk, Irak merasa legasi Kuwait dan negara OPEC  memproduksi minyak lebih dari kuota yang sudah disepakati. Bahkan di salah satu pidatonya, Presiden Hussein mengatakan bahwa Kuwait dan negara lain di OPEC ‘stabbing Iraq in the back’ karena menyebabkan harga minyak Irak turun. 

Hal ini pun membuat Irak segera melakukan invasi pada Kuwait dengan peletakan 300 tank hingga 100.000 pasukan untuk menyerang Kuwait secara besar-besaran (Grammas 1991, 2). 

Ini menimbulkan reaksi multilateral dari Arab League, organisasi Gulf Cooperation Council (GCC), dan juga internasional di bawah Dewan Keamanan PBB. Negara Arab benar-benar mengutuk apa yang dilakukan oleh Irak pada Kuwait dan mengatakan dengan keras pernyataan bahwa Irak harus dengan segera menarik pasukannya. Presiden Mesir, Hosni Mubarak dan Presiden Suriah mengadakan pertemuan dengan negara Teluk lainnya dan menghasilkan kesepakatan untuk mengutuk invasi Irak ke Kuwait dengan hasil: 14 setuju, dan 5 abstain yakni Yordania, Mauritania, the PLO, Sudan, dan Yaman (Culpepper 1997, 3-4). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun