Mohon tunggu...
Firmauli Sihaloho
Firmauli Sihaloho Mohon Tunggu... Jurnalis - Bataknese who Grown in West Sumatera & Working in Riau Province

Menghidupi Hidup Sepenuhnya

Selanjutnya

Tutup

Financial

Menelisik Aksi Rekayasa Sosial: Menyerang Psikologis, Tabungan Dikuras Habis

11 September 2022   12:19 Diperbarui: 11 September 2022   12:30 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi Rekayasa Sosial atau Soceng (img: pexels)

"Saya seperti terhipnotis"

Pengakuan di atas seringkali kita dengar dari seorang korban social engineering (soceng) atau rekayasa sosial perbankan sehingga mereka bersedia memberikan data pribadi. Kemudian, tidak sadar rekeningnya akan dikuras pelaku.

Sederhananya, Soceng atau rekaya sosial ini merupakan teknik manipulasi psikologis untuk melakukan aksi atau menguak suatu informasi rahasia. Rekayasa sosial umumnya dilakukan melalui telepon atau Internet.

April 2022 lalu, seorang driver ojek online (ojol) di Semarang, Jawa Tengah menjadi korban. Uang Irwanauri Kiswaanto senilai Rp 65 juta raib. Modus pelaku, menghubungi dengan nomor tak biasa (1(401)777-7910) untuk meyakinkan korban, lalu menjelaskan bahwa korban menjadi pemenang undian berhadiah.

Biasanya, penipu rekayasa sosial ini menirukan gaya bicara karyawan customer service suatu Bank dengan sangat hati-hati; mulai dari intonasi suara yang dijaga hingga pemilihan kata guna meyakinkan target.

Selanjutnya pelaku membangun narasi yang telah dipersiapkan sedemikian rupa. Kemudian, pelaku dengan leluasa mengarahkan korban. Mulai dari menanyakan data pribadi dilanjutkan meminta One time password (OTP).

Penjelasan modus di atas barangkali sudah banyak yang mengetahui. Sebab, berdasarkan Indeks Literasi Digital Indonesia yang diselenggarakan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) dan Katadata Insight Center (KIC) pada 2021, indeks literasi digital Indonesia berada di angka 3,49 (skor indeks 0 sampai 5). Angka ini meningkat dari 2020 yang sebesar 3,46.

Akan tetapi, tak bisa dipungkiri korban rekayasa sosial ini masih kerap menghiasi kanal berita informasi. Bukan tanpa sebab, CEO Digital Forensic Indonesia, Ruby Alamsyah yang mempelajari fenomena ini menguraikan, kejahatan ini sudah terorganisir di Indonesia sejak 10 tahun terakhir, mulai dari Pulau Sulawesi, Jawa, hingga Sumatera.

Lantas kenapa aksi Soceng ini masih menjamur di Indonesia? Kenapa masih saja ada yang menjadi korban meski digitalisasi mempermudah kita dalam mengakses informasi?

Jika ditelisik, aksi Soceng menjamur diiringi dengan pertumbuhan pengguna internet di Indonesia. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) merilis data pengguna internet pada tahun 2022 ini mencapai sekitar 210 juta atau setara 77 persen dari populasi penduduk Indonesia. Sementara pada tahun 2021, pengguna internet di Indonesia hanya 175 juta. Artinya, ada lonjakan pengguna internet sekitar 35 juta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun