Di samping itu kami juga dua kali seminggu mengirim puisi dan cerpen di majalah dinding yang dikelola guru Bahasa Indonesia. Saat istirahat tiba, kami ramai-ramai di depan majalah dinding itu untuk membanding-bandingkan karya. Beberapa di antara kawan tersebut, kini menjadi penulis novel dan beberapa di antaranya menjadi wartawan koran ternama.
Degradasi minat baca ini kemungkinan besar didorong oleh beberapa hal:
1. Dorongan dari dalam diri mereka kurang untuk membaca sehingga mereka tidak ingin pergi ke perpustakaan. Dibutuhkan guru-guru yang memotivasi mereka untuk mencari referensi/literatur sehingga secara tak langsung minat baca mereka terus tumbuh.2. Fasilitas di perpustakaan sangat terbatas. Kursi-meja cuma sedikit, ditambah pula jumlah komputer yang tidak banyak, sehingga menyulitkan mereka untuk mengakses data.
3. Letak perpustakaan jauh dari kelas-kelas, dan tidak strategis pula sehingga mereka malas untuk menyerbu tempat membaca itu.
4. Koleksi buku-buku di perpustakaan sudah tergolong jadul dan tidak ter-up date, sehingga siswa malas membaca. Apalagi bila buku-buku itu kusam dan berdebu. Mereka lebih memilih nongkrong di toko-toko buku bersama keluarganya kemudian membeli novel (bagi yang berduit) ketimbang memilih perpustakaan.
Ada beberapa sekolah di Semarang yang saya lihat pintar memanfaatkan sudut-sudut areanya untuk memicu siswa gemar membaca. Dibangun secara apik dan indah, disertai fasilitas terkini yang menunjang tren di kalangan remaja, "pojok baca" itu diminati. Apalagi pihak sekolah juga mendorong guru-guru kompeten memotivasi muridnya untuk gemar membaca.
Tontonan di televisi -- langsung atau tidak -- menyurutkan minat baca di kalangan siswa. Para orangtua juga tidak memiliki kesadaran tentang pentingnya membaca bagi putra-putrinya. Maka, jangan salahkan anak bila sehari setelah pemilihan gubernur Jateng, Mei tahun lalu, banyak anak sekolah di Semarang menyebut nama Bibit Waluyo sebagai gubernur baru, padahal di pilgub itu Bibit kalah dari Ganjar Pranowo!
-Arief Firhanusa-