Mohon tunggu...
Firgineta Salsabela Ramadhana
Firgineta Salsabela Ramadhana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Profesi Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

Bahkan jika kamu tidak sempurna, kamu adalah edisi terbatas - RM BTS

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Waspada, Depresi pada Remaja Pasca Putus Cinta!

22 Januari 2022   22:50 Diperbarui: 22 Januari 2022   23:42 630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Pada masa remaja, terjadi perubahan dalam segala aspek meliputi biologis, kognitif, dan sosio-emosional pada diri dan tentunya diikuti pula dengan proses berpikir yang abstrak hingga kemandirian [1]. Remaja merupakan tahapan perkembangan dari anak-anak ke dewasa yang dimulai dari usia 11 hingga 19 atau 20 tahun [2]. Sebuah penelitian juga mengatakan bahwa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa, pada masa remaja ini juga memunculkan minat pada karir, pacaran, dan melakukan eksplorasi identitas [3]. Selain itu remaja juga akan mulai begaul dengan lingkungan sekitarnya seperti membentuk persahabatan hingga menjalin hubungan romantis dengan lawan jenis [4]. Hubungan romantis atau biasa disebut dengan pacaran merupakan sebuah hubungan yang dijalin oleh dua yang terlibat intimasi [1]. Menjalani hubungan pacaran pada masa remaja sering kali terjadi konflik yang dapat menyebabkan hubungan tersebut berakhir.

Remaja yang mengalami putus cinta biasanya akan menunjukkan reaksi kehilangan, kesedihan, marah dan menyesal saat awal hubungan tersebut berakhir, hal ini disebabkan individu yang masih mencintai pasangannya [5]. Remaja yang ditimpa masalah putus cinta dengan tingkat yang sudah berlebihan akan menunjukkan reaksi sedih yang berkepanjangan [5]. Putus cinta dapat menyebabkan seorang individu mengalami depresi yang dapat merusak fungsi individu tersebut dalam kehidupan sosial [6]. Remaja yang mengalami depresi dapat mengarahkan remaja tersebut pada tindakan negatif seperti bolos sekolah, mengurung diri, terjerat pergaulan bebas, meminum minuman keras hingga memakai narkoba [1].

Berikut merupakan ciri-ciri depresi [7] :

1.         Perasaan sedih yg terus menerus

2.         Mengganggu kesehatan fisik dan kehidupan sosial

3.         Mudah tersinggung


4.         Mudah tertekan

5.         Takut

6.         Tidak bersemangat

7.         Berkonflik dengan teman atau keluarga

Depresi ialah sebuah gangguan suasana hati yang ditandai dengan perasaan bersedih secara berlebihan yang dilakukan terus-menerus hingga mengganggu kondisi fisik dan kehidupan sosial seorang individu [8]. Gejala depresi juga biasa ditunjukkan seperti kehilangan minat dan kegembiraan serta berkurangnya energi yang menuju pada meningkatnya keadaan mudah lelah (rasa lelah yang nyata sesudah melakukan kegiatan ringan) dan menurunnya aktivitas [9]. Depresi dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti faktor biologis, faktor psikologis dan faktor sosial [8]. Penderita depresi memiliki pandangan yang negatif terhadap diri sendiri, dunia, masa depan dan memandang diri sebagai orang yang tidak memiliki kemampuan, merasa sepi, dan tidak berharga. Hidup dipandang sebagai hal yang tidak menyenangkan, tidak memberikan kepuasan, pesimis terhadap masa depan, dan keyakinan bahwa permasalah yang dihadapi saat ini tidak akan membaik. Kondisi ini juga dapat memicu seseorang untuk melakukan bunuh diri [10].

Remaja yang menghadapi masa-masa sulit dapat mengembangkan keseimbangan yang lebih besar dan dapat menyesuaikan diri terhadap stressor apabila mendapatkan dukungan positif dari keluarga [11]. Peran dukungan keluarga sebagai penguat positif pada remaja yang mengalami depresi sehingga remaja tersebut mampu mengendalikan emosinya dan menghadapi tantangan [12]. Sebuah penelitian oleh Rahmayanti dengan temannya (2018) yang menyatakan bahwa dukungan keluarga dapat memberikan efek positif terhadap remaja yang depresi akibat berbagai stressor di lingkungan sekitarnya. Maka dapat dikatakan pentingnya peran dukungan keluarga dalam mengurangi tingkat depresi pada remaja yang mengalami masa sulit seperti putus cinta.

Tips agar remaja dapat melindungi dirinya dari pengaruh-pengaruh negatif di kehidupannya adalah dengan menanamkan nilai-nilai agama dan moral baik oleh keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan sosial [13]. Sejalan dengan pendapat salah satu tokoh filsuf Islam yaitu Ibn Miskawaih yang mengatakan bahwa individu yang beranjak dewasa yang mengalami hal-hal buruk dapat dicegah dengan cara mengajarkan syariat Islam (pendidikan moral) pada remaja yang akan membentuk jiwanya. Melalui syariat islam remaja akan diarahkan dalam membentuk dirinya menjadi remaja yang memiliki pendidikan moral agar dapat mencapai kebahagiaan dan menghindarkan sesuatu yang buruk. Segi kejiwaan ini masuk dalam teori Pendidikan Ibn Miskawaih yang didasarkan pada teori pendidikan oleh Aristoteles yang pada teori ini mengatakan bahwa Pendidikan moral dapat melahirkan manusia yang baik dalam pandangan masyarakat sehingga dapat mencapai kebahagiaan dalam kehidupan [14].

 

Referensi:

[1]      J. W. Santrock, Perkembangan Remaja (Adolescence). Jakarta: Erlangga, 2007.

[2]      D. E. Papalia and R. D. Feldman, Menyelami Perkembangan Manusia. Jakarta: Salemba Humanika, 2015.

[3]      W. M. Adi and M. D. Lestari, "Gambaran komitmen dalam pernikahan pasangan remaja yang mengalami KTD," J. Psikol. Udayana, pp. 35--45, 2019, [Online]. Available: https://ocs.unud.ac.id/index.php/psikologi/article/view/47146.

[4]      J. Feist and F. G. J., Teori Kepribadian Jilid 1. Jakarta: Salemba Humanika, 2013.

[5]      A. T. D. B. Purba and R. Y. . Kusumiati, "Hubungan Antara Kecerdasan Emosi Dengan Forgiveness Pada Remaja Yang Putus Cinta Akibat Perselingkuhan," Psikol. Konseling, vol. 14, no. 1, pp. 330--339, 2019, doi: 10.24114/konseling.v14i1.13729.

[6]      S. Mulyani and A. A. Afandi, "Hubungan Kegagalan Cinta Dengan Terjadinya Kejadian Depresi Pada Remaja," Asuhan Kesehat. J. Ilm. Ilmu Kebidanan Dan Keperawatan, vol. 7, no. 2, pp. 23--26, 2016, doi: 10.24114/konseling.v14i1.13729.

[7]      L. Mandasari and D. L. Tobing, "Tingkat Depresi dengan Ide Bunuh Diri pada Remaja," J. Keperawatan, vol. 2, no. 1, pp. 1--7, 2020, [Online]. Available: https://ijhd.upnvj.ac.id/index.php/ijhd/article/view/33.

[8]      J. S. Nevid, S. A. Rathus, and B. Greene, Abnormal Psychology in a Changing World Tenth Edition. New York: Pearson, 2018.

[9]      A. T. Beck, Depression: Causes And Treatment. Philadelphia: York International Of Pensylvania Press, 1985.

[10]    A. T. Beck, R. A. Steer, and G. K. Brown, Bdi-Ii, Beck Depression Inventory: Manual (2th Ed.). Boston: Harcour,Brace, And Company, 1996.

[11]    E. P. Sarafino and T. W. Smith, Health Psychology Biopsychosocial Interactions Eighth Edition. USA: Wiley, 2014.

[12]    Y. E. Rahmayanti and T. Rahmawati, "Hubungan Dukungan Keluarga Dengan Kejadian Depresi Pada Remaja Awal," J. Asuhan Ibu Anak, vol. 3, no. 6, p. 8, 2018.

[13]    T. R. Noor, "REMAJA DAN PEMAHAMAN AGAMA," VICRATINA J. Pendidik. Islam, vol. 3, no. 2, pp. 55--70, 2018.

[14]    Z. Safri, "Tinjauan Filsafat Pendidikan Ibn Miskawaih Terhadap Fenomena Kenakalan Remaja," J. Islam. Educ. Manag., vol. 2, no. 1, pp. 102--116, 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun