Mohon tunggu...
firdausabstrak
firdausabstrak Mohon Tunggu... Mahasiswa

Memiliki ketertarikan pada dunia kepenulisan sejak berada di bangku Sekolah Menengah Pertama, terutama dalam kesusastraan seperti Puisi, Naskah Monolog, Cerpen, dan lain sebagainya.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengapa Prinspi Check and Balances Tak Selalu Berjalan di Indonesia?

31 Juli 2025   21:10 Diperbarui: 31 Juli 2025   21:10 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahkamah Konstitusi, misalnya, sempat menjadi harapan sebagai benteng terakhir konstitusi. Namun setelah beberapa kali dipermainkan oleh kepentingan politik---baik melalui skandal etik maupun revisi undang-undangnya---kepercayaan publik terhadap MK mengalami erosi serius. Skandal etik yang melibatkan ketua MK dalam kasus politik elektoral menunjukkan bahwa integritas tidak cukup dijamin hanya dengan struktur hukum; moral dan etika hakim menjadi faktor penentu.

Mahkamah Agung pun tak luput dari kritik. Di tengah banyaknya kasus korupsi yang menjerat hakim agung dan pejabat peradilan lain, kredibilitas lembaga ini ikut tergerus. Dalam kondisi seperti ini, fungsi kontrol dari yudikatif terhadap lembaga negara lain---terutama eksekutif---sulit berjalan maksimal.

Tantangan independensi peradilan juga diperparah oleh lemahnya mekanisme rekrutmen dan pengawasan internal. Komisi Yudisial yang seharusnya menjadi pengawas perilaku hakim sering kali tidak memiliki kekuatan cukup untuk menjatuhkan sanksi tegas. Di sisi lain, tekanan dari luar, termasuk dari aktor-aktor politik dan ekonomi, mempersempit ruang gerak hakim untuk bertindak adil dan objektif.

Lembaga Independen yang Tak Lagi Independen

Salah satu inovasi penting pasca-reformasi adalah pembentukan lembaga-lembaga independen seperti KPK, Komnas HAM, Ombudsman, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Lembaga-lembaga ini dimaksudkan menjadi pengawas eksternal di luar tiga cabang kekuasaan utama. Namun, dalam satu dekade terakhir, banyak lembaga ini justru mengalami pelemahan sistematis, baik melalui legislasi maupun intervensi politik dalam seleksi pejabatnya.

Kasus pelemahan KPK adalah contoh paling mencolok. Revisi UU KPK tahun 2019 yang mengubah status lembaga ini menjadi bagian dari eksekutif, membentuk dewan pengawas yang ditunjuk, dan mempersempit ruang gerak penyidik independen menjadi pukulan telak bagi upaya pemberantasan korupsi. Dari sebuah lembaga yang disegani dan ditakuti, KPK berubah menjadi institusi administratif yang kehilangan taring.

Pelemahan ini juga berlangsung secara simbolik. Penurunan kepercayaan publik terhadap KPK disertai dengan serangkaian tindakan represi terhadap penyidik berintegritas melalui Tes Wawasan Kebangsaan yang dinilai diskriminatif dan bermuatan politik. Hal ini menandai titik balik dari pelembagaan budaya antikorupsi yang pernah begitu kuat di era sebelumnya.

Hal serupa terjadi pada lembaga penyelenggara pemilu. KPU dan Bawaslu, yang seharusnya berdiri di atas semua kepentingan politik, kini semakin sering menjadi sorotan akibat dugaan keberpihakan atau intervensi dari partai politik penguasa. Ketika pengawas pemilu diragukan netralitasnya, maka integritas demokrasi elektoral pun ikut dipertaruhkan.

Budaya Politik yang Tak Menunjang

Kelemahan prinsip check and balances di Indonesia bukan hanya persoalan kelembagaan, tetapi juga kultural. Budaya politik kita masih lekat dengan patronase, transaksionalisme, dan pragmatisme. Dalam konteks seperti ini, institusi formal cenderung tunduk pada kekuatan informal: elite politik, oligarki ekonomi, dan jejaring kekuasaan berbasis loyalitas personal.

Praktik politik uang masih menjadi fenomena umum dalam pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kandidat yang memiliki kekuatan modal besar cenderung lebih mudah memenangkan kontestasi politik, yang pada akhirnya membuat kebijakan publik rentan dipengaruhi oleh kepentingan pemodal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun