Mohon tunggu...
Firda Putri Astuti
Firda Putri Astuti Mohon Tunggu... Pustakawan - Pustakawan

Life-long learner

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maling Lantip

22 Mei 2024   23:49 Diperbarui: 22 Mei 2024   23:56 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : pxhere.com

Sejak ditinggal ibunya, Willi dan ayahnya hidup berdua-dua saja dalam rumah kumuh yang sempit. Wanita itu minggat akibat tak tahan lagi menghirup bau alkohol dari mulut suaminya setiap malam. Entah ada di mana keberadaanya sekarang, yang jelas sejak ibunya memutuskan pergi, kebiasaan mabuk ayahnya semakin menjadi-jadi. 

Pria paruh baya itu hanya modal luntang-lantung saja di lahan parkir. Banyaknya uang yang ia dapat sebagian besar lari ke minuman keras dan akibatnya Willi terpaksa berhenti sekolah ketika masih duduk di bangku kelas 1 SMK. Untuk membeli beras sekilo saja sudah kepayahan apalagi membayar biaya SPP yang begitu mencekik dompet. Baru saja Willi mengutarakan ingin lanjut sekolah, duda beranak satu itu sudah menggebrak meja seraya mengultimatum putranya amat keras.

"Sekolah? Mabuk kamu! Cari cara dong! Jadi buruh kek, tukang galon kek, tukang gas atau angon kambing pun tak masalah, asal jangan coba-coba bicara sekolah di depan ayah! Jangan mengharap nasib baik di ibukota, paham?!"

Tak ingin merasakan pukulan dan tendangan berulang saban hari, Willi memutuskan menjadi buruh klobot di pabrik illegal milik teman ayahnya. Karena alasan koneksi dan kebutuhan tenaga kerja yang mendesak, dengan sukarela Willi diterima sebagai buruh di pabrik. Kabarnya, kelobot bikinan pabrik itu yang paling nikmat rasanya, sebab ada sedikit campuran ganja beraroma. Dan dengan berat hati Willi tetap melakoni pekerjaan ini dengan segenap kekuatannya. Meskipun pekerjaannya berkelindan dengan klobot yang terkenal nikmat itu, ia tak sama sekali tak tertarik untuk mencicipinya.

Risiko yang ditanggung bekerja dengan bahan herbal semacam ganja tentu menimbulkan efek tak  nyaman, baik batin maupun fisik. Lama kelamaan paparan racun berbahaya dari tanaman-tanaman itu telah berimbas kepada tubuhnya. Willi menjadi sering sakit dan pandangannya berputar-putar. Tak jarang ia sering kena pukul ayahnya sebab upah dibayarkan semau bosnya saja. Ada saat-saat dimana anak itu tetap berangkat ke pabrik meski terbatuk-batuk atau sempoyongan, bergelut dengan asap kendaaraan dan bau tembakau yang menyengat.

Ujung padi masih belum menguning, musim hujan masih jauh diprediksi, di suatu malam, kawan satu nasibnya yang berusia di atasnya sepakat melakukan aksi mogok kerja sebagai bentuk protes kesewenang-wenangan. Upah sekian bulan tak kunjung cair sementara beban kerja semakin memecut tubuhnya tak kenal siang dan malam. 


Pagi sebelum loper Koran mengayuh sepeda, ia sudah bergerak lebih dulu bersama kawannya mengendarai mobil pick up butut milik si juragan demi mendistribusikan berbaku-baku ganja dan tembakau yang aromanya bisa membuat kepala kliyengan. Menjelang siang hingga petang, Willi harus memasok klobot yang sudah dikemas ke sarang-sarang penyamun. Mereka semua pelanggan tetap, penikmat setia kelobot bikinan pabrik juragannya itu. Ia berkeliling pergi ke bekas gudang, bangunan mangkrak, pasar-pasar, terminal dan beberapa tempat tersembunyi di seantero Kota Jakarta dimana segala jenis manusia yang ingin cari hura-hura saling berkumpul dan menyabu. Sering pula ia ditawari untuk bergabung bersama tapi dengan alasan bekerja, Willi melipir pergi memasok bahan ke tempat lain. Hari demi hari ia  sibuk berkeliling menjajakan klobot ganja ke berbagai lokasi dengan bermacam-macam penikmat.

Jika pekerjaan mereka tak lancar, siap-siap saja, gertakan dan sejurus bogem mentah akan meninju perut Willi yang kelaparan. Sudah menjadi hal biasa dimana-mana kalau kawan sepergaulan akan mirip-mirip perilakunya sama seperti si juragan klobot yang punya kelakuan beda tipis dengan perilaku ayah Willi. Mereka doyan miras juga foya-foya, sayangnya jalan yang ditempuh ayah Willi tak semulus temannya itu. Keesokan harinya Willi mangkir dari pabrik, hingga esok dan esoknya lagi. Ayahnya tahu hal itu dan ia memperbolehkan putranya mencari sumber penghasilan lain ketimbang nanti ditinggal mati konyol akibat paparan racun bahan herbal milik pabrik atau mendekam di balik ruji besi. Bagaipapun caranya, Willi harus bisa mendapatkan uang.

Hari-hari tanpa kepastian terus berlalu dan perut semakin meronta minta diisi, walhasil Willi memutar haluan menjadi buruh angkut sayur ke tengkulak di pasar-pasar.  Pagi-pagi benar ia harus bergerak sebelum adzan subuh berkumandang. Oleh sebab itu, matanya berkali-kali menangkap aktivitas malam di kampung dan sekitar rumah yang ia lewati. 

Seringkali ada berbagai macam pemuda sebayanya sedang mengendap-endap menenteng barang curian dari rumah ke rumah yang tampaknya tidak cukup potensial untuk dirampok, kemudian disusul teriakan maling setelahnya. Dua kali, tiga kali ia mendapati kejadian yang sama. Heran, rumah-rumah berpagar tinggi, dijaga satpam atau dikawal anjing pemalas kelihatannya masih sunyi-sunyi saja.

"Payah ah. Kalau mereka belum selincah Kusni Kasdut atau selihai Jonhy Indo sih masih harap maklum, tapi kalau memang berlagak menjadi maling tingkat senior yang memalak rumah berpagar tinggi saja tidak bisa itu sungguh terlalu. Kapan di negera ini ada maling berbakat tanpa bedil, tanpa orang dalam, tanpa koneksi?" katanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun