Jika kamu pernah tinggal di desa atau area yang masih perkampungan, pasti akrab dengan cerita-cerita kecil yang mengandung rasa cemburu. Ketika ada tetangga yang membeli motor baru, langsung jadi topik pembicaraan. Renovasi rumah tak luput dari omongan di pos ronda. Bahkan, saat ada keluarga yang sukses, pasti ada bisik-bisik sinis dari orang-orang sekitar.
Lalu, mengapa fenomena ini lebih sering muncul di perkampungan?
1. Kedekatan Sosial Jadi Pedang Bermata Dua
Hidup di desa biasanya ditandai dengan hubungan sosial yang sangat dekat. Orang-orang saling mengenal, mengetahui aktivitas satu sama lain, bahkan mengetahui isi rumah tetangga. Kedekatan ini memiliki sisi positif, rasa saling membantu yang tinggi-tetapi juga bisa menjadi sumber kecemburuan.
Menurut teori perbandingan sosial (Festinger, 1954), manusia cenderung membandingkan diri dengan orang-orang terdekat, bukan dengan orang yang jauh. Karenanya, karena warga desa mengetahui kondisi ekonomi tetangga, perbandingan tersebut tidak bisa dihindari.
2. Rasa Kompetisi Tersembunyi
Di desa, status sosial sering diukur dari apa yang terlihat: rumah, kendaraan, atau acara. Saat ada tetangga yang meningkat statusnya, misalnya membeli tanah atau mengadakan pesta besar, secara tidak sadar timbul rasa kompetisi.
Hal ini berkaitan dengan konsep kekurangan relatif (Stouffer, 1949), di mana seseorang merasa tidak puas bukan karena keadaan yang sebenarnya buruk, tetapi karena membandingkan diri dengan orang lain yang lebih baik.
3. Lingkaran Sosial yang Terbatas
Di kota besar, orang lebih bersikap individualis. Kita tidak terlalu memperhatikan apa yang dibeli tetangga karena pergaulan lebih luas. Sementara itu, di desa, lingkaran sosial terbatas hanya di kawasan RT/RW. Akibatnya, perkembangan atau perubahan dalam hidup seseorang cepat terlihat dan menjadi bahan diskusi.