Mohon tunggu...
Teddy Fiktorius
Teddy Fiktorius Mohon Tunggu... Guru

Teddy Fiktorius adalah seorang penulis produktif yang telah menelurkan 37 buku, di antaranya adalah Wajah Pendidikan Abad 21, Talk Less, Write More, Zamrud Khatulistiwa, Gelora Nusantara, 66 Jejak Hebat, Berani Menjadi Lebih Baik, dan Mission Accomplished. Ia juga dikenal sebagai penggerak literasi dengan mendirikan G2M2 (Gerakan Guru Membaca dan Menulis) serta GM3 (Gerakan Murid Membaca dan Menulis) sejak 2019, yang berhasil melahirkan ratusan buku ber-ISBN dan ratusan artikel jurnal ber-ISSN. Kecintaannya pada dunia pendidikan dan literasi membuat karya-karyanya banyak memberi inspirasi bagi guru, murid, dan masyarakat luas.

Selanjutnya

Tutup

Nature

WildTech Revolution: Menyalakan Harapan Baru untuk Orangutan, Gajah, dan Harimau

1 Oktober 2025   20:27 Diperbarui: 1 Oktober 2025   20:27 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Jika manusia bisa menciptakan artificial intelligence (akal imitasi) untuk memprediksi cuaca di Mars, mengapa kita tidak bisa menciptakan teknologi untuk memastikan Orangutan, Gajah, dan Harimau tetap hidup di bumi?”

Pertanyaan ini seharusnya menjadi renungan sekaligus tantangan. Kita sering terpesona dengan kecanggihan teknologi, tetapi abai pada kenyataan pahit, bahwa satwa karismatik Indonesia terus terjebak dalam jurang kepunahan.

Tanggal 4 Oktober, Hari Satwa Sedunia, membawa pesan moral yang lebih dari sekadar seremoni. Tema Speak for the Species adalah ajakan global untuk bersuara bagi yang tak bisa bersuara. Orangutan di Kalimantan, gajah di Sumatra, dan harimau yang kian langka bukan sekadar satwa. Mereka adalah simbol integritas ekosistem Indonesia. Namun di balik simbol itu, krisis terus mengintai dengan wajah getir.

Data menunjukkan bahwa populasi orangutan Borneo menyusut lebih dari 100 ribu dalam dua dekade terakhir, terutama akibat ekspansi perkebunan sawit dan tambang (Voigt et al., 2018; Wich et al., 2021). Gajah Sumatra kini hanya tersisa sekitar 1.700 ekor, sebagian besar terjebak di habitat terfragmentasi, sehingga konflik dengan manusia meningkat drastis (WWF Indonesia, 2022). Harimau Sumatra, predator puncak yang menjaga keseimbangan rantai ekologi, diperkirakan hanya tinggal 600 ekor, sebagian besar terancam jerat pemburu yang memasok pasar obat tradisional Asia (TRAFFIC, 2021).

Lebih ironis, era digital justru membuka jalur baru perdagangan satwa liar. Online marketplace (pasar daring) penuh dengan tawaran satwa ilegal, dari bayi orangutan hingga bagian tubuh harimau (Nijman et al., 2022). Di saat bersamaan, mesin berat dan infrastruktur tanpa kendali mempercepat deforestasi. Apa yang disebut modernisasi, dalam banyak kasus, telah menjelma menjadi bencana ekologis.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa krisis sering melahirkan lompatan. Teknologi yang dulu dianggap ancaman, kini bisa diputarbalikkan menjadi pelindung.

Drone surveillance (pengawasan dengan drone) sudah membantu memantau pergerakan satwa dan aktivitas ilegal di hutan (Koh & Wich, 2018). AI-powered camera traps (kamera jebak berbasis AI) memungkinkan identifikasi otomatis spesies, mempercepat penelitian dan deteksi ancaman (Beery et al., 2019). Bahkan, aplikasi real-time conflict reporting (pelaporan konflik langsung) berbasis GPS kini dipakai masyarakat untuk mencegah gajah masuk ke ladang (Fernando et al., 2020).

Lebih jauh, genetic forensics (forensik genetik) membuka jalan baru untuk melacak asal-usul satwa yang diperdagangkan secara ilegal (Iyengar, 2020). Dengan DNA barcoding, aparat bisa memetakan jaringan perdagangan, bukan sekadar menangkap pelaku di lapangan.

Di sinilah titik terang muncul! Teknologi bisa menjadi sekutu, bukan musuh.

Teknologi tanpa akar sosial hanyalah ilusi. Yang membuatnya hidup adalah aksi nyata di lapangan. Di Aceh, community ranger (penjaga komunitas) melibatkan warga desa untuk patroli hutan dengan aplikasi sederhana (Wildlife Conservation Society, 2022). Di Kalimantan, masyarakat adat berkolaborasi dengan NGO menggunakan drone untuk memantau orangutan. Di Riau, alarm berbasis bunyi dipasang di ladang untuk menghalau gajah, solusi murah tapi efektif.

Kisah-kisah ini menunjukkan bahwa inovasi sejati lahir dari pertemuan teknologi dan empati.

Inisiatif nature-based solutions (solusi berbasis alam) kini masuk dalam agenda pembangunan global. Menjaga hutan Indonesia berarti menjaga cadangan karbon dunia, sumber air, dan stabilitas iklim (Dasgupta, 2021). Dengan diplomasi hijau, Indonesia bisa menegosiasikan konservasi satwa sebagai public good (kebaikan publik), layaknya udara bersih atau keamanan global.

Bayangkan sebuah living lab (laboratorium hidup) di Kalimantan, di mana ilmuwan, masyarakat adat, dan generasi muda dunia belajar bersama menjaga hutan. Indonesia tidak hanya menyelamatkan satwa, tetapi juga memimpin gerakan global pelestarian.

Di titik ini, kita perlu lebih dari sekadar solusi teknis. Kita perlu revolusi konservasi berbasis teknologi.

Pertama, AI-driven habitat modeling (pemodelan habitat berbasis AI). Sistem ini memanfaatkan data satelit, iklim, dan pergerakan satwa untuk memprediksi jalur konflik, kebutuhan koridor, dan area kritis. Kebijakan pembangunan bisa diarahkan agar tidak menabrak habitat harimau atau gajah. Peta prediktif yang dihasilkan juga dapat diperbarui secara real-time sehingga memberikan peringatan dini bagi pemerintah dan masyarakat. Dengan demikian, mitigasi konflik manusia-satwa bisa dilakukan lebih cepat dan berbasis data, bukan sekadar reaktif. Selain itu, pendekatan ini membuka peluang kolaborasi lintas disiplin antara ekolog, ilmuwan data, dan pembuat kebijakan.

Kedua, bioacoustic monitoring (pemantauan suara hutan). Sensor audio mampu mendeteksi suara rantai gergaji, tembakan, atau panggilan satwa. Alarm akustik ini sudah efektif di Amazon, dan bisa diadaptasi di Sumatra. Sistem ini memungkinkan patroli hutan digerakkan secara lebih tepat sasaran karena peringatan diberikan hampir seketika. Selain itu, data rekaman suara dapat menjadi basis penelitian ekologi jangka panjang mengenai pola komunikasi satwa dan tingkat keanekaragaman hayati. Dengan demikian, teknologi ini bukan hanya alat pengawasan, tetapi juga instrumen ilmiah yang memperkuat konservasi berbasis bukti.

Ketiga, green blockchain (rantai blok hijau). Dengan sistem ini, rantai pasok hasil hutan menjadi transparan dan dapat menekan pasar ilegal. Konsumen bisa memverifikasi asal produk, memastikan tidak ada jejak darah satwa di baliknya. Teknologi ini juga meningkatkan akuntabilitas perusahaan dalam praktik bisnis berkelanjutan, karena setiap transaksi terekam permanen dan sulit dimanipulasi. Lebih jauh lagi, green blockchain dapat memperkuat sertifikasi internasional seperti FSC atau RSPO sehingga produk dari Indonesia lebih dipercaya di pasar global. Pada akhirnya, sistem ini menghubungkan kepentingan ekonomi dengan konservasi melalui mekanisme pasar yang adil dan etis.

Keempat, conservation token (token konservasi). Setiap token mewakili perlindungan satu hektar hutan atau satu individu satwa. Dana publik global bisa dihimpun untuk mendanai patroli, restorasi, atau kompensasi konflik. Skema ini menghadirkan inovasi finansial yang membuat masyarakat dunia dapat berpartisipasi langsung dalam menjaga ekosistem. Nilai token juga bisa naik seiring keberhasilan konservasi, menciptakan insentif ekonomi untuk perlindungan jangka panjang. Dengan begitu, konservasi tidak lagi semata urusan lokal, melainkan menjadi investasi kolektif bagi masa depan planet.

Kelima, virtual reality conservation (konservasi realitas virtual). Edukasi berbasis VR memungkinkan masyarakat global menyaksikan langsung hutan Indonesia tanpa harus mengunjunginya. Empati tumbuh bukan hanya dari data, melainkan dari pengalaman imersif. Teknologi ini mampu menghadirkan sensasi berada di tengah hutan tropis, mendengar kicau burung endemik, atau menyaksikan harimau melintas tanpa merusak habitat. Dengan cara ini, dukungan publik internasional terhadap konservasi dapat meningkat, karena pengalaman emosional sering kali lebih kuat daripada sekadar informasi tertulis. Selain itu, VR juga dapat digunakan di sekolah-sekolah dan pusat edukasi lingkungan untuk menanamkan kesadaran ekologis sejak dini.

Lebih penting, semua inovasi ini harus accessible (terjangkau). Drone murah untuk masyarakat adat, aplikasi ramah pengguna bagi warga desa, dan sistem pelaporan yang bisa dipakai tanpa internet cepat. Konservasi harus inklusif, bukan elitis.

Universitas bisa berkolaborasi dengan start-up teknologi, perusahaan mendanai lewat CSR, media memperkuat narasi positif. Di tingkat global, Indonesia bisa menggagas forum Tech for Wildlife agar konservasi satwa karismatik masuk agenda iklim dunia.

Jika semua pihak bergerak, kita tidak hanya menyelamatkan spesies, tetapi juga menciptakan model baru pembangunan, yakni wildtech revolution, revolusi di mana teknologi tidak menghancurkan, melainkan menyembuhkan.

Sebagai penutup, teknologi tanpa hati hanyalah mesin dingin. Tetapi teknologi dengan keberpihakan bisa menjadi nyawa kedua bagi satwa liar. Hari Satwa Sedunia bukan sekadar peringatan, tetapi panggilan. Kita harus memilih antara terus membiarkan Orangutan, Gajah, dan Harimau terkubur dalam statistik kepunahan atau menyalakan harapan baru dengan inovasi dan aksi nyata.

Jika manusia bisa bermimpi menaklukkan Mars, bukankah kita seharusnya bisa menjaga hutan sendiri?

Jika kita bisa speak for the species, maka sejarah akan mencatat bahwa harapan itu nyata, dan harapan itu bernama kita.

Referensi

Beery, S., Morris, D., & Yang, S. (2019). Efficient pipeline for camera trap image classification. Ecological Informatics, 53, 100–103.

Dasgupta, P. (2021). The economics of biodiversity: The Dasgupta review. HM Treasury.

Fernando, P., De Silva, M., & Jayasinghe, L. (2020). Mitigating human–elephant conflict in Sri Lanka: Moving beyond fences. Diversity, 12(3), 98.

Iyengar, A. (2020). Forensic DNA applications in wildlife crime: A review. Forensic Science International: Genetics, 48, 102308.

Koh, L. P., & Wich, S. A. (2018). Dawn of drone ecology: Low-cost autonomous aerial vehicles for conservation. Tropical Conservation Science, 11, 1–8.

Nijman, V., Morcatty, T. Q., Smith, J. H., & Atoussi, S. (2022). Online trade in wildlife and its impacts. Conservation Biology, 36(3), e13844.

Santika, T., Wilson, K. A., Budiharta, S., Kusworo, A., & Law, E. (2022). Defining conservation success: Impact of deforestation and orangutan conservation in Borneo. Science Advances, 8(15), eabn6859.

TRAFFIC. (2021). Illegal wildlife trade: Tiger parts in Asian markets. TRAFFIC International.

Voigt, M., Wich, S. A., Ancrenaz, M., Meijaard, E., Abram, N., Banes, G. L., … & Kuhl, H. S. (2018). Global demand for natural resources eliminated more than 100,000 Bornean orangutans. Current Biology, 28(5), 761–769.

Wich, S. A., Fredriksson, G., Usher, G., Peters, H., Priatna, D., Basalamah, F., … & Meijaard, E. (2021). Orangutan population trends and the future of great ape conservation in Indonesia. Biological Conservation, 253, 108891.

Wildlife Conservation Society. (2022). Community ranger report Aceh. WCS Indonesia.

WWF Indonesia. (2022). Laporan konservasi gajah Sumatra. WWF Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun