Mohon tunggu...
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama
Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama Mohon Tunggu... -

Fatihatul Insan Kamil Ramadhani Imama (fikri)

Selanjutnya

Tutup

Politik

Seleksi Pemimpin Melankolis

10 Agustus 2014   08:29 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:55 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
kwn.a.xi_.1.03-partisipasi_politik-8760_197x200

Menjelang Pilpres, saya jijik melihat jejaring sosial. Begitu menjijikkannya, sampai-sampai timeline ABG yang baru didera patah hati saja terasa seperti novel sastra kelas dunia. Begitu menyedihkannya, sampai-sampai penggemar kedua kubu calon presiden seperti anak remaja yang tak mau ramalan cinta bintang zodiaknya menjadi bahan kelakar. Begitu memprihatinkannya, sampai-sampai gaya rambut ala boyband kekinian pun terasa lebih maskulin daripada ucapan tim sukses yang berkelit dari tuduhan.

Antusiasme masyarakat yang meledak-ledak menjadi lauk-pauk dengan nutrisi tinggi bagi para media. Mereka berlomba-lomba memublikasikan hal-hal berbau politik. Apapun bisa menjadi berita, dari ucapan narasumber, blunder kandidat, hingga manuver tim sukses. Semua dilakukan agar jempol penguasa remote televisi di rumah-rumah tidak menekan tombol lain saat berita mereka mengudara. Demi daya tarik, hiperbola, mereka rela menjual jiwa mereka dan melakukan perjanjian terlarang dengan setan. Yang penting rating tinggi, dengan begitu bisa diselipkan pariwara produk ekstrak kulit manggis atau obat ketiak, tentu saja berjuta-juta sudah masuk ke dalam neraca pendapatan.

Saya kira setelah pemilihan presiden 9 Juli, jejaring sosial akan kembali seperti sedia kala. Kembali menertawai kesepian dan melaknat kesendirian (lajang adalah komoditi di jejaring sosial). Nyatanya saya salah, salah besar! Jejaring sosial menjadi lebih menjijikkan dan menyedihkan lagi. Saya kira bakal ada komat-kamit basa-basi (bahkan bisa saja lipsync) selamat bagi pemenang pemilu dan bumi akan tetap berputar. Lagi-lagi saya salah, salah besar. Bumi memang tetap berputar, hanya menjadi lebih drama.

Tak salah memang. Pilpres ini jika dilihat dari atas, seperti sebuah plot sinetron drama. Berbicara tentang sinetron, tentu saja ada tokoh protagonis dan antagonis. Ini adalah analisis prematur saya: Tokoh protagonis diperankan capres yang menghindar dari tuduhan antek komunis, agen amerika, dan pro zionisme. Begitu teraniayanya sehingga secara logika saya juga tidak mengerti dengan tuduhan ini. Bagaimana bisa seorang komunis sekaligus menjadi kapitalis di bawah kepemimpinan Yahudi? Jika Gengis Khan masih hidup, bisa jadi ia akan berpaling menyembah capres itu lalu mengabdi padanya untuk menguasai dunia.

Sementara untuk tokoh antagonis diperankan capres yang sibuk meliuk-liuk dari kejahatan HAM yang memang lekat erat pada personanya. Latar belakang yang sudah sangat mendukung untuk menjadikan dirinya sebagai karakter berwatak bengis, bukan? Walau sampai sekarang masih baur, dosa-dosa masa lampau tersebut dialamatkan padanya dan tak mau pergi.

Konflik sudah jelas, perebutan kursi presiden dan wakil. Tokoh pendukung diperankan oleh tim sukses masing-masing. Tentu saja dengan peran seperti sinetron yang sudah-sudah. Tokoh pendukung protagonis berperan menenangkan, sedang tokoh pendukung antagonis berperan untuk berperang.

Sampai kapan drama ini berakhir? Biasanya di akhir episode, antagonis berangsur lamat-lamat menjadi satu lingkaran utuh dengan protagonis. Kemudian sama-sama membungkuk ke arah kamera, “Kami segenap jajaran keluarga besar mengucapkan Selamat Idul Fitri, Mohon Maaf Lahir dan Batin!” lalu layar menghitam dan disusul oleh barisan nama kru pendukung sinetron. Hahaha. Sayangnya skenario tidak berakhir sampai di situ. Masih ada babak tambahan hingga detik ini, protagonis belum teraniaya secara maksimal dan masih meloncat-loncat, jauh dari mati.

Biasanya ada tiga hal yang akan membuat sinetron seperti ini berakhir. Sebab pertama adalah sutradara sudah kehilangan ide untuk meneruskan cerita agar tetap menarik. Sebab kedua adalah produser sebagai penyandang modal sudah kehabisan dana, padahal pemasukan belum pasti didapat. Sebab terakhir adalah penonton sudah bosan dijejali cerita yang membosankan, tertebak, dan mengada-ada.

Saya tak akan heran jika pada 5-10 tahun mendatang, benar-benar akan ada sinetron drama super melankolis yang mengangkat pilpres kemarin sebagai tema (itu juga dengan catatan kalau sutradara dan penulis naskahnya tidak diculik atau dikafirkan, hahaha).

*gambar dari sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun