Mohon tunggu...
Dzulfikar
Dzulfikar Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Content Creator

Blogger dan Content Creator. Member Kompasiana sejak Juni 2010. Aktif menulis di blog bangdzul.com dan vlog https://www.youtube.com/@bangdzul/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Inilah Kondisi Banjir di Mutiara Pluit Tangerang

4 Maret 2014   17:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:15 301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pekan lalu (26/2) saya berkesempatan untuk mengunjungi korban banjir di Mutiara Pluit, Kelurahan Priuk, Tangerang. Inilah pertama kalinya saya terjun langsung melihat kondisi perumahan yang telah terendam banjir selama hampir sepekan. Hampir 80 persen perumahan Mutiara Pluit terendam banjir. Sisanya yang tidak terendam pun tidak cukup beruntung, terisolasi bagaikan hidup di sebuah pulau terpencil, tak ada listrik dan sulit mendapatkan air bersih.

Praktis transportasi utama yang digunakan selama terendam banjir adalah perahu karet yang disediakan oleh pemerintah kotamadya setempat yang di bantu oleh beberapa petugas kepolisian yang bergantian melakukan piket. Tugas mereka mulai dari mengevakuasi korban banjir, hingga mengantarkan korban banjir kembali untuk memeriksa rumahnya yang ditinggal mengungsi.Saya berangkat bersama sepuluh orang murid saya dan rekan-rekan guru dari Ehipassiko School BSD. Kami menumpang tiga buah kendaraan. Akses dari Serpong menuju Mutiara Pluit tidak cukup mudah juga karena beberapa kali kami terjebak kemacetan karena volume kendaraan saat itu mulai ramai menjelang waktu pulang kantor.

Kami membawa beberapa bantuan kecil, mulai dari susu, kornet hingga air mineral bagi korban banjir. Alhamdulillah kami langsung diterima oleh beberapa pengurus warga, diantaranya ketua RT, Bapak Lasmo selaku sekretaris RW 11 dan bapak Bambang selaku Bendahara RW 11. Mereka bahkan dengan ramah menawarkan kami untuk meninjau kondisi perumahan yang paling parah terendam banjir. Kebetulan saat itu ada sebuah perahu karet yang tengah singgah di titik kami menyalurkan bantuan. Sayangnya tidak semua siswa bisa ikut karena keterbatasan kapasitas perahu karet.

Bagi saya, inilah pengalaman pertama kalinya menggunakan perahu karet sekaligus langsung "blusukan" ke lokasi banjir. Meskipun perahu karetnya menggunakan penggerak sebuah motor, tetepi praktis hampir tidak bisa digunakan secara maksimal. Selain karena sudah digunakan selama 24 jam, kondisi air yang penuh dengan sampah menghambat putaran baling-baling motor. Walhasil kami harus mengayuh perahu karet bersama-sama. Tapi, ternyata lebih mudah mengendalikan dengan kayuh ketimbang harus menggunakan motor penggerak.

Inilah pemandangan awal saat kami mulai masuk di mulut gang yang pertama. Ketinggian air saat kami tiba, menurut warga sudah surut dan hanya sekitar 50 persen saja dari kondisi semula. Masya Allah, kondisi 50 persen bagi saya sudah sangat memprihatinkan. Sebuah masjid terendam dan tak bisa di fungsikan lagi untuk sementara waktu, garasi setiap rumah kosong. Entah kemana para warga mengungsikan kendaraannya. Sampah berserakan tak beraturan, seolah tempat itu habis di terpa banjir bandang yang tak karuan.


Inilah kedalaman di bagian muka perumahan. Kira-kira sekitar 70 cm atau sepinggang orang dewasa. Ini kondisi 50 persen, saya tak bisa membayangkan bagaimana kondisinya saat puncak banjir Sabtu 22 Februari 2014 lalu. Yang ada dalam kepala hanya air kotor dan air.

Semakin ke bagian belakang bagian perumahan, ketinggian air semakin tinggi. Bahkan sebuah pohon kelapa pun hanya bisa terlihat bagian atasnya saja. Sementara batangnya terendam. Tapi pohon itu tetap tegak berdiri selama berhari-hari.

Tak tergambar apa perasaan warga yang tertimpa musibah ini. Menurut penuturan warga, banjir yang terjadi rutin belakangan ini sudah yang keempat kalinya. Pasalnya perumahan Mutiara Pluit ini memang bersebelahan dengan sebuah rawa. Sayangnya tanggul pembatas antara perumahan dan rawa jebol hingga banjir terjadi.

Gambar diatas merupakan pembatas antara rawa dan perumahan, inilah lokasi tanggul yang telah jebol sehingga air masuk ke perumahan begitu derasnya. Untunglah saat kami datang tidak ada arus sehingga kondisi air saat itu tenang.

Sebetulnya perumahan Mutiara Pluit ini memiliki lima pompa yang siap menyedot air banjir. Tapi karena jumlah sampah yang terlalu banyak sehingga menganggu proses pengeringan. Wal hasil saat kami datang air masih tergenang.

Pada saat mencapai bagian belakang perumahan kami bertemu dengan sebuah keluarga yang tampak sedang menikmati makan siangnya. Agaknya mereka terlambat makan siang karena saat itu jam sudah menunjukkan hampir pukul 15.00 sore. Bagi mereka tak ada lagi makan siang di dalam rumah, untuk makan siang saja mereka harus berada di atas perahu karet.

Perumahan ini nyaris kosong karena di tinggal pengguninya mengungsi, hanya berberapa warga yang memiliki rumah bertingkat saja yang masih bertahan, tutur petugas kepolisian yang bersama kami. Mereka lebih memilih tidak di evakuasi ke pengungsian. Tapi, bagaimanapun kondisi mereka serba sulit karena terisolasi. Mereka yang bertahan tentu akan sangat kesulitan mendapatkan air bersih.

Dalam kondisi banjir, perahu karet memiliki peran yang sangat vital. Maka ketika perahu karet sangat terbatas, beberapa warga berinisiatif membuat dan menggunakan perahu sendiri yang terbuat dari bambu. Mereka menggunakan rakit ini untuk pulang pergi dari pengungsian menuju rumah mereka yang ditinggalkan. Sebagus apapun mobil atau motor tidak akan berfungsi dalam kondisi banjir seperti ini. Mereka hanya bisa mengandalkan rakit. Kayuhan bapak ini contohnya menyiratkan optimisme bahwa banjir pasti berlalu.

Beberapa warga terlihat mengais-ngais harta benda yang masih bisa diselamatkan. Sementara harta lainnya yang terbawa arus mereka ikhlaskan begitu saja. Karena mereka pikir sudah tidak ada gunanya lagi mengejarnya. Ketegaran terlihat dari wajah mereka yang terlihat lelah. Senyum mereka membuat saya yakin bahwa mereka memiliki semangat juang yang tinggi.

Sebagian anak-anak tetap bersekolah meskipun harus menyebrang menggunakan perahu karet dan menerjang banjir. Demi mengikuti ujian tengah semester mereka bergelut dengan kondisi yang memprihatinkan. Terlambat sudah pasti karena harus bergiliran menunggu perahu karet yang sangat terbatas mengantar hilir mudik dari tepian jalan hingga ke tengah perumahan yang tergenang. Beberapa warga yang rumahnya terisolasi terlihat membawa bahan kebutuhan pokok untuk persediaan makan. Mereka berbelanja kebutuhan pokok seadanya. Yang penting bisa menegakkan tulang belakang.

Jangan tanya dedikasi petugas kepolisian yang bertugas disini. Dengan wajah timur dan logat timur yang kental mereka siap sedia selalu menolong warga. Peluh bercucuran tak pernah mereka hiraukan. Sementara rekan-rekan lainnya bergantian menunggu pos jaga beberapa truk yang di siagakan di tepian jalan. Barangkali disitulah para petugas ini tidur dan meluruskan badan. Seharian tak kenal waktu hilir mudik mengantarkan warga dengan menggunakan perahu karet. Kadang mereka harus mengayuh kadang mereka bisa santai sejenak berkat motor penggerak yang mendorong perahu karet dengan sangat lambat.

Banyak hikmah yang bisa diambil oleh murid-murid saya. Mereka akhirnya menyadari bahwa orang lain harus berjibaku berjuang untuk sampai ketempian demi sebuah pendidikan. Mereka harus setiap hari menderita di tengah banjir yang melanda. Tatapan murid-murid saya sepertinya hampa ketika melihat kondisi banjir yang memprihatinkan. Memang tidak semua korban mengeluh, bahkan ada beberapa anak-anak korban banjir yang suka cita berenang berhari-hari dalam kolam renang dadakan. Mereka berkeras bermain dalam kubangan sementara orang tuanya khawatir mereka sakit. Apadaya, orang tua tak bisa berbuat apa-apa ketika anaknya menemukan habitat aslinya.

Menurut pengurus warga, bantuan dari pemerintah kota sudah datang. Bahkan wali kota sudah meninjau kondisi banjir dan pengungsi di lapangan meskipu hanya sebentar. Dapur umum telah didirikan meskipun hanya nasi telur yang selalu menjadi menu utama sehari-hari mereka. Inilah salah satu potret bencana yang dialami oleh saudara-saudar kita di Tangerang Kota.

Salam Hangat

@DzulfikarAlala

nb: semua foto adalah dokumentasi pribadi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun