Mohon tunggu...
Figo PAROJI
Figo PAROJI Mohon Tunggu... Buruh - Lahir di Malang 21 Juni ...... Sejak 1997 menjadi warga Kediri, sejak 2006 hingga 2019 menjadi buruh migran (TKI) di Malaysia. Sejak Desember 2019 kembali ke Tanah Air tercinta.

Sejak 1997 menjadi warga Kediri, sejak 2006 hingga 2019 menjadi buruh migran (TKI) di Malaysia. Sejak Desember 2019 kembali menetap di Tanah Air tercinta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Catatan Pedih Proses Bayar Kompaun Program B4G Pekerja Ilegal di Malaysia (1)

2 Januari 2020   20:28 Diperbarui: 18 Juni 2021   15:16 2292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
antrean di lorong pengap // foto: dok.pri

Sejak 1 Agustus 2019 lalu, pemerintah Malaysia telah membuka program pengampunan bagi pekerja migran tak berdokumen (ilegal) -- termasuk pekerja asal Indonesia, dengan tujuan memberi peluang kepada warga asing yang melakukan kesalahan keimigrasian untuk pulang ke negara asal secara sukarela berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan.

Dengan mendaftar program ini, pekerja migran di Malaysia, termasuk Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang tak berdokumen (ilegal) bisa pulang secara resmi melalui pintu imigrasi dengan cara membayar kompaun (denda) sebesar RM 700 (tujuh ratus ringgit) atau setara dengan sekitar Rp 2,3 juta.

Memang, program yang diberi nama Program Pendatang Asing Tanpa Izin (PATI) Pulang ke Negara Asal  atau dikenal dengan Program Back for Good (B4G) ini telah berakhir pada 31 Desember 2019, tepat pada tengah malam tahun baru 2020.

Baca juga : Serumpun Kadang Tak Rukun (Pasang Surut Hubungan Indonesia Malaysia)

Namun, cerita pedih tentang betapa rumit dan sulitnya proses membayar kompaun atau denda yang dibayarkan melalui Departemen Imigrasi Malaysia untuk mendapatkan check out memo agar bisa keluar dari negeri tetangga tersebut rasanya masih terasa.

Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi kisah (secara bersambung) tentang perjuangan saya dan beberapa teman asal Indonesia dari berbagai daerah ketika mendaftar program B4G di Kantor Imigrasi Negeri Selangor di Shah  Alam, Selangor.

Yang saya (kami) rasakan, tak hanya perlakuan kasar dari oknum pegawai imigrasi dan para calo yang ikut bermain, tetapi juga cerita kegagalan membayar kompaun (gagal mendapat check out memo) hingga tiket hangus. Bahkan ada yang tiket hangus hingga dua kali.   

**

Pagi itu, Jumat, 20 Desember 2019, sekitar pukul 03.30 dini hari, saya dan sepupu saya berangkat dari tempat tinggal (dan tempat kerja) di kasawan Port Klang menuju kantor imigrasi Selangor. Kantor imigrasi Selangor terletak di lantai tiga sebuah kompleks pertokoan di kawasan Shah Alam.

Setelah sekitar setengan jam perjalanan, kami sampai di tujuan. Ternyata, seawal pagi itu sudah ada ratusan pekerja migran dari berbagai negara yang mengantre. Padahal pintu gerbang kantor imigrasi baru dibuka pukul 06.50.

Saya dan sepupu saya pun ikut mengantre. Anehnya, ada beberapa orang yang mengatur barisan antrean kadang secara tiba-tiba memberi komando agar kami duduk  dan secara tiba-tiba pula menyuruh kami berdiri.

Baca juga : China yang Agresif Menyusup ke Wilayah Udara Malaysia, ZEE Filipina

Semula, saya mengira beberapa orang tersebut merupakan petugas imigrasi yang ditugaskan mengatur barisan antrean. Namun ternyata, mereka adalah para calo yang mengatur barisan. Bagi siapa yang mau mendapat antrean barisan paling depan harus membayar RM 100 atau RM 200, walaupun datangnya belakangan.

Hari itu, saya dan sepupu saya berhasil masuk antrean hingga naik ke lantai tiga dan mendapat tempat di tengan barisan agak ke belakang. Sejak pukul 06.50 pagi, kami dibarisakan di sebuah lorong di lantai tiga, tempat kantor imigrasi berada.

Di sebuah lorong dengan lebar sekitar tiga meter dan panjang sekitar 60 meter, berjubel ratusan pekerja migran tak  berdokumen dari berbagai negara yang hendak membayar kompaun.  Selain warga Indonesia, orang-orang yang mengantre di lorong tersebut ada warga Banglades, India, Nepal, dan Myanmar.

Sejak pukul 06.50 hingga sekitar pukul 9.00, kami berbaris tidak beraturan dan kami tidak meihat satu pun petugas imigrasi muncul. Padahal jam kerja kantor imigrasi mulai pukul 08.00.

Baru sekitar pukul 10.00 kami melihat pegawai imigrasi muncul. Dengan menggunakan megaphone (juga pakai mulut) beberapa pegawai imigrasi berteriak-teriak menyuruh kami baris secara teratur.

Kami diminta berbaris dalam dua baris saja dengan cara menempelkan tubuh ke tembok. Bagi siapa yang tidak mematuhi perintah akan diusir ke barisan paling belakang. 

Kami diperlakukan layaknya seorang tahanan, meski sebenarnya kedatangan kami ke kantor imigrasi adalah untuk membayar denda atas kesalahan keimigrasian yang kami lakukan.

Beberapa saat kemudian, ada pegawai yang  memanggil beberapa nama untuk masuk ke kantor imigrasi. Saat itu, saya tidak tahu kenapa kok ada yang dipanggil nama. 

Namun belakangan, setelah beberapa hari saya gagal membayar kompaun, saya jadi tahu bahwa orang-orang yang dipanggil nama itu adalah orang yang menggunakan calo.

Baca juga : Malaysia Lockdown Total, Pesan Dubes: Yang Butuh Bantuan Bahan Makanan Silakan Hubungi KBRI

Setelah memanggil beberapa nama, petugas imigrasi Selangor memanggil orang-orang yang pada hari kemarinnya sudah dapat pembagian nomor antrean. Sementara kami, yang baru datang pertama kali, atau yang beberapa kali datang tapi tak berhasil mendapat nomor antrean, dibiarkan begitu saja.

Selama berjam-jam, di antara kami tidak ada yang berani meninggalkan antrean sebab takut barisan kami diserobot orang lain. Kami betul-betul mandi keringat. Tidak hanya membasahi seluruh tubuh, bahkan keringat yang membasahi baju kami bisa diperas.

Di dalam antrean inilah, secara kebetulan, di depan dan belakang, juga di sebelah kiri  barisan saya adalah orang-orang Indonesia. Saya memberanikan diri untuk mengenal lebih dekat teman satu bangsa.

Ketika jam makan siang, kami tahu bahwa pegawai imigrsai istirahat, tapi kami tetap tak berani beranjak dari barisan. Untuk makan siang, saya minta antar anak Medan turun ke lantai bawah beli makanan dibungkus dan saya makan di barisan antrean. Anak Medan tersebut pada  akhirnya saya ketahui bernama Iksan.

Kami terus bertahan di antrean meski lorong itu kian panas dan pengap hingga sekitar pukul 16.00 ada pegawai imigrasi muncul. Kami diminta berbaris secara teratur lagi. Ratusan orang di lorong pengap itu tak ada yang berani bersuara ketika pegawai imigrasi berteriak-teriak menyuruh kami menempaelkan tubuh ke tembok agak barisan nampak 'elok'.

Namun anehnya, setelah kami disuruh duduk, tiba-tiba pegawai imigrasi menyuruh kami berdiri dan menyuruh balik kanan-jalan menuju pintu keluar, turun ke lantai bawah.

Ya, setelah hampir sepuluh  jam kami berbaris, mandi keringat di lorong pengap, tanpa ada pemberitahuan apa-apa kami dihalau begitu saja. Hari itu, 20 Desember 2019, hari pertama saya datang ke kantor imigrasi Selangor untuk bayar kompaun, tidak ada pembagian nomor antrean dan tidak ada pelayanan apa pun. Usaha kami bertahan di antrean yang menyiksa (atau sengaja disiksa) sia-sia belaka.

Setelah turun ke lantai bawah, kami berkumpul di taman yang lokasinya di seberang jalan  kantor imigrasi Selangor. Dari obrolan di taman itu, saya jadi tahu bahwa tiga anak Medan, Iksan, Ilham dan satu lagi yang dipanggil si Black ternyata sudah berjuang di antrean sejak tanggal 18 Desember.

Kebetulan, tiket kepulangan saya dan sepupu saya, sama dengan ketiga anak Medan tersebut, yaitu tanggal 22 Desember 2019. Jadi, waktu kami untuk berjuang di antrean agar bisa bayar kompaun untuk mendapatkan check out memo dari imigrasi Malaysia tiggal satu hari, yaitu keesokan harinya, 21 Desember 2019.

Malam itu, seperti yang sudah dilakukan ketiga anak Medan itu selama dua malam, juga  anak Padang yang kami panggil Bang Opi, kami memutuskan untuk tidur di taman agar bisa berjuang lagi di antrean, esok harinya.

tidur di taman // foto: dok.pri
tidur di taman // foto: dok.pri
Namun apa yang terjadi, Sabtu 21 Desember 2019, perjuangan kami kembali sia-sia. Sekitar pukul 12 siang, kami dihalau begitu saja. Pegawai imigrasi menyuruh kami keluar dan turun ke lantai bawah, padahal  kami telah mengantre di lorong pengap sejak pukul 06.50.

Tentu saja, tiket saya dan sepupu saya, juga tiket ketiga anak Medan itu hangus, sehingga malam itu saya putuskan pulang ke tempat kerja saya di Port Klang untuk beristirahat, sekaligus untuk beli tiket baru.

Kami berlima beli tiket baru tanggal 27 Desember 2019.  Perjuangan membayar kompaun pun kami mulai lagi pada Senin, 23 Desember 2019. Namun untuk cerita selengkapnya, termasuk bagaimana cerita hingga saya menjadi ilegal dan terpaksa pulang dengan bayar kompaun akan saya tuturkan pada tulisan berikutnya.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun