Mohon tunggu...
Fiezu Himmah
Fiezu Himmah Mohon Tunggu... Penulis - Kadang di medium, kadang di Indonesiana, kadang nggak di mana-mana juga. Anak baru di sini.

-Dari, karena, dan untuk menulis aku hidup.

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Ironi Ruang Aman bagi Jurnalis dalam Pentas Monolog Tirto

30 Desember 2023   12:18 Diperbarui: 30 Desember 2023   12:29 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto @extrajose_ dalam Instagram @happysalma

KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN
KOMPAS/FAKHRI FADLURROHMAN

Bli Can juga mengungkapkan kesulitannya saat membantu penulis naskah memahami sosok Tirto, sebab cerita asli yang ditulis Tirto sendiri hanya tersedia dalam bahasa Melayu asli. Untungnya, ia menemukan bantuan dalam sumber lain, seperti buku Pramoedya Ananta Toer berjudul "Sang Pemula". Buku ini mengungkapkan peran Tirto sebagai perintis pers pribumi pada dekade 1900-an, menyelamatkan nama Tirto yang hampir terlupakan dalam sejarah Indonesia.

Dalam bukunya, Pram menyebutkan Tirto meninggal di usia 38 dengan kondisi suram. Sedikit orang yang mengantarkan jenazahnya ke peristirahatan terakhir di Manggadua, Jakarta, bahkan tak ada pidato sambutan atas jasanya. 

Akhir hidup Tirto dalam monolog, menyoroti tekanan berat yang dialaminya selama masa pengasingan. Ia terjerat dalam utang, terus-menerus dihantui kasus hukum, Medan Prijaji semakin merosot, hingga tak berdaya, dan meninggal tanpa pendamping dengan sepi. Jika mengacu pada konsep Pierre Bourdieu, peristiwa yang menimpa Tirto merupakan bentuk kekerasan simbolik yang timbul dari dinamika kekuasaan. Pengasingan ini tak hanya menyerang fisik, tapi juga menciptakan stigma sosial. 

Masih berlangsung di era saat ini pun, para jurnalis Indonesia kerap menghadapi berbagai bentuk kekerasan dan intimidasi serupa, mulai dari bentakan, cacian, teriakan, dan pengusiran. Jurnalis yang ceroboh atas tulisannya sendiri, ataupun sebagai korban bungkam yang tak bersalah, bahkan ada yang menerima teror sampai ancaman pembunuhan. Perlakukan demikan tentu dapat berdampak pada trauma psikologis, ketakutan, dan kecemasan berlebih. Fenomena ini juga dapat membuat calon jurnalis merasa ngeri dan ciut nyalinya. Jika tidak ditangani, ini dapat mengakibatkan hilangnya bibit jurnalis berkualitas, yang ingin turut membangun dan menjaga Indonesia di masa depan.

Berdasarkan laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2022, berjudul "Serangan Meningkat, Otoritarianisme Menguat: Laporan Situasi Keamanan Jurnalis Indonesia 2022," tercatat 61 kasus kekerasan terhadap jurnalis pada tahun tersebut. Angka ini meningkat dari 43 kasus di 2021. Mayoritas kekerasan terdiri dari tindakan fisik dan perusakan alat kerja.

Peran Tirto untuk Perempuan

Ibed, sebagai penulis naskah, menghadirkan perspektif yang jarang terdengar dalam sejarah resmi. Monolog ini juga menggambarkan masa muda Tirto sebagai penjelajah yang akrab dengan banyak perempuan. Bukan hanya dengan gadis-gadis, tapi juga nona-nona Eropa, nyai, bahkan janda seorang jaksa. Meski demikian, inspirasi Tirto untuk menerbitkan Poetri Hindia justru muncul dari kenakalan masa remajanya terhadap perempuan.

foto @extrajose_ dalam Instagram @happysalma
foto @extrajose_ dalam Instagram @happysalma

Poetri Hindia, surat kabar yang pertama kali terbit di Batavia pada 1 Juli 1908 ini, menjadi media yang membuka ruang bagi aspirasi perempuan. Tirto menyadari bahwa kaum perempuan belum memiliki wadah untuk menyuarakan pikiran mereka secara tertulis. Konten Poetri Hindia pun mencakup berbagai aspek kebutuhan perempuan, baik remaja putri maupun ibu-ibu. Rubriknya seperti "Perempuan Hindia," "Perawatan Kecantikan," dan "Pemeliharaan Anak", membahas isu-isu yang relevan. Selain itu, ada pula rubrik cerita pendek, hikayat, serta artikel-artikel lain yang bersifat hiburan. 

“Dalam pertunjukan, di bagian penceritaan Poetri Hindia, sengaja ditampilkan di layar, penghargaan yang diperoleh dari Ibu Suri Emma, Ibunda Sri Ratu Wilhemina,” ujar Bli Can.

Keberadaan perempuan dalam Poetri Hindia menunjukkan bahwa mereka punya peran publik: sebagai pewarta. Dukungan Tirto yang begitu hebat dalam menjunjung perempuan, turut menghadirkan ingatan bagaimana di masa kini ketidaksetaraan gender pada jurnalis perempuan masih marak terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun