POLEMIK PEMBANGUNAN GEOTHERMAL DI MATALOKO FLORES
Flores, sebuah pulau yang terletak di timur Indonesia adalah salah satu dari sekian banyak pulau yang memiliki sumber kekayaan. Kekayaan pulau flores ini termuat dalam aneka keragaman budaya, corak hidup masyarakat yang beragam serta kekayaan alam yang melimpah. Salah satu kekayaan alam yang terdapat di pulau flores adalah panas bumi. Tidak heran jika pulau flores dijuluki sebagai pulau panas bumi. Pasca ditetapkannya Flores sebagai pulau panas bumi di bawah kepemipinan Menteri Energi dan sumber daya mineral (ESDM) Ignasius Jonan pada 19 juni 2017 silam, Flores kini menjadi salah satu target proyek strategis pemerintah. Dalam surat keputusan Menteri ESDM nomor 2268 /MEM/2017 tertera dengan jelas mengenai status pulau flores sebagai pulau panas bumi. Tujuan penetapan surat ini ialah untuk mengoptimalkan penggunaan energi panas bumi di pulau flores baik sebagai sumber listrik maupun sumber energi non listrik. Status pulau flores sebagai pulau panas bumi pada hakikatnya menimbulkan ambiguitas, antara menunjang pembagunan atau justru merusak peradaban.
Proyek geothermal Mataloko mulai dikerjakan pada tahun 1998. Pengeboran awal dilakukan di Desa Ratoges, kini setelah pemekaran menjadi wilayah Desa Wogo dan Desa Ulubelu. Proyek itu dinilai gagal karena ada beberapa lubang bekas pengeboran mengeluarkan lumpur panas yang berdampak pada pencemaran lingkungan. Klaim pemerintah bahwa panas bumi (geothermal) sebagai sumber energi yang “ramah lingkungan” dan “rendah karbon” tak sepenuhnya benar. Pemerintah mencoba membesar-besarkan panas bumi sebagai mitigasi rendah karbon atas sumber utama pemanasan bumi penyebab perubahan iklim yaitu pembakaran bahan-bakar fosil. Dalam praktiknya, penambangan panas bumi untuk membangkitkan listrik juga membangkitkan sumber-sumber bencana baru dan berkelanjutan. Bahkan, rendahnya emisi karbon dari industri tambang panas bumi juga disertai dengan mengorbankan bukan saja manusia, tetapi juga hutan, bentang air, dan kelengkapan infrastruktur ekologis dari kehidupan pulau, yang semuanya jauh lebih berbahaya daripada besaran emisi-karbonnya. Alih-alih geothermal sangat ramah lingkungan, ternyata membawa petaka besar begi keberlangsungan ekosistem. Fenomena pelik ini mestinya dicermati dan diatasi dengan serius oleh pemerintah. Sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas proyek ini, pemerintah mesti mencari alternatif yang tepat untuk mencegah bencana besar di kemudian hari. Apakah proyek ini berlanjut atau dihentikan karena alasan tidak ramah lingkungan harusnya menjadi hal yang dipertimbangkan secara matang.
Geothermal: sebab terjadinya bencana kemanusiaan dan ekologis
Pada tanggal 17 desember 2024 lalu, media floresa melaporkan adanya lubang baru yang disertai semburan lumpur panas terjadi di sekitar proyek geothermal Mataloko. Lubang itu bermunculan di sekitar area geothermal. Lumpur panas dan gas yang muncul dari dalam tanah, mengakibatkan rumput di sekitarnya mengering. Film dokumenter “barang panas” karya Dandy Laksono dkk, juga menampilkan fenomena yang sama yakni terdapat bencana kemanusiaan yang dialami oleh masyarakat yang tinggal di sekitar areal proyek geothermal. Bencana itu meliputi; penyakit kulit berupa gatal-gatal dan luka yang menyerang seluruh tubuh, gangguan pernapasan akibat paparan hydrogen sulfida ( H2S). Selain itu bencana besar lain yang timbul adalah kerusakan ekologis, di mana tumbuh-tumbuhan dan aneka komoditi masyarakat banyak yang mati dan gagal panen. Masyarakat dengan penuh kepasrahan menerima saja keadaan yang ada sembari menunggu tindak lanjut dari pihak pemerintah terkait bencana besar yang mereka hadapi ini. persoalan kemanusiaan dan ekologis adalah persoalan serius yang dihadapi oleh masyarakat Mataloko saat ini. Mereka tiap harinya merasa tidak nyaman kalau-kalau terjadi lagi ledakan besar yang muncul dari sekitar areal proyek geothermal. Dan mengenai ekologis, hingga saat ini ruang hidup dan ekosistem yang terdapat di dalamnya mengalami kerusakan serta pencemaran.
Perlunya membangun kesadaran kolektif
Upaya untuk menolak geothermal bukan saja menjadi tanggung jawab aktivis lingkungan, kelompok-kelompok LSM atau institusi keagaaman seperti gereja di Flores, melainkan upaya bersama. Setiap manusia mempunyai panggilan yang sama untuk menolak proyek geothermal. Geothermal di Mataloko yang sudah sejak lama beroperasi mengakibatkan aneka persoalan. Persoalan yang timbul tidak saja berkutat pada persoalan sosiologis tetapi berdampak juga pada persoalan ekologis. Persoalan sosiologis dapat dilihat dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah ( konflik vertical) sedangkan dampak ekologis merujuk pada kerusakan lingkungan yang terjadi akibat dari aktivitas geothermal. Fenomena ini tentu tidak bisa dianggap sepele, karena itu butuh rasa empati dan reaksi kritis dari kita semua ( siapa saja) untuk bersama-sama menyerukan gerakan penolakan. Aksi penolakan geothermal di Mataloko, harusnya membuka cara pandang kita terhadap lingkungan. Lingkungan yang ada bukanlah dijadikan sebagai objek kerakusan manusia. Antroposentrisme yang melekat dalam kepala manmusia dewasa ini merupakan salah satu sebab mengapa alam kerap dijadikan sebagai objek ekploitasi. Barangkali suatu keharusan kita perlu menata kembalali cara pikir kita tentang lingkungan agar terciptnya satu keseimbangan antar seluruh entitas yang ada di bumi.
Referensi
https://www.esdm.go.id/id/berita-unit/direktorat-jenderal-ebtke/penetapan-pulau-flores-sebagai-pulau-panas-bumi, diakses pada 23 januari 2025.
https://floresa.co/reportase/liputan-khusus-id/58590/2023/12/15/warga-mataloko-flores-terus-tersengat-panas-bumi-proyek-dilanjutkan-usai-gagal-berulang-dan-timbulkan-bencana-lingkungan, diakses pada 23 januari 2025.
Film dokumenter “Barang Panas”.karya Dandhy Laksono dan Benaya Harobu.