Bayangkan sebuah ruangan sunyi. Di atas meja dingin, terbujur jenazah tanpa identitas. Tidak ada KTP, tidak ada keluarga yang mencari, hanya selembar tubuh diam yang tak lagi mampu menyampaikan kisahnya.
Namun, di balik bibir yang membeku, gigi-gigi masih berdiri kokoh. Diam, tetapi menyimpan riwayat hidup yang panjang: tambalan amalgam di usia dua puluhan, behel semasa SMA, mahkota gigi pasca kecelakaan kecil. Bagi publik, ini mungkin tidak menarik. Tapi bagi kami para dokter gigi forensik, di sanalah kisah dimulai.
Ketika Gigi Jadi Satu-satunya Harapan
Dalam dunia identifikasi, gigi berada di baris ketiga dari tiga metode primer DVI (Disaster Victim Identification) --- setelah sidik jari dan DNA. Tetapi ketika yang dua pertama tak bisa lagi diandalkan---karena terbakar, membusuk, atau hancur---tinggalah gigi yang bicara.
Saya pernah dilibatkan dalam simulasi DVI di mana hanya gigi yang bisa diandalkan. Dan dari situ saya belajar: tambalan kecil bisa jadi pembeda, dan ketelitian catatan medis dokter gigi bisa jadi pahlawan yang tak pernah disorot kamera.
Tapi Mengapa Tak Masuk Berita?
Selalu ada ruang untuk cerita pahlawan. Tapi entah kenapa, gigi tak pernah cukup seksi untuk dijadikan headline. Saat bencana terjadi, media berlomba memberitakan korban, tetapi nyaris tak ada yang mengulas bagaimana proses identifikasi dilakukan. Lebih sedikit lagi yang tahu bahwa salah satu penentu identitas adalah gigi yang mereka rawat selama bertahun-tahun.
Padahal, ada kisah kemanusiaan besar yang terpendam di sana. Tentang keluarga yang bisa tenang karena jenazah anaknya berhasil dikenali. Tentang relawan yang menyisir catatan gigi dari puluhan puskesmas. Tentang dokter gigi yang malam-malam memeriksa gigi jenazah tanpa nama.
Garis Takdir dan Ketepatan Data
Takdir bisa membawa siapa saja ke situasi paling sunyi: meninggal dalam bencana, tersesat tanpa identitas, atau ditemukan di pinggir jalan. Tapi manusia berhak atas satu hal: dikenali.