Mohon tunggu...
Fery Nurdiansyah
Fery Nurdiansyah Mohon Tunggu... Konsultan - Adil Sejak Dalam Pikiran

Imajinasi berawal dari mimpi

Selanjutnya

Tutup

Money

Buntut Korupsi Meikarta dan Nasib Konsumen?

27 November 2018   10:06 Diperbarui: 2 Januari 2019   10:16 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tingginya kebutuhan masyarakat atas hunian dan terbatasnya lahan di perkotaan, mengharuskan Pemerintah mengambil kebijakan mendorong pembangunan perumahan dan pemukiman tidak hanya pada rumah tapak namun juga pada rumah susun/apartemen untuk daerah yang mempunyai kepadatan penduduk yang tinggi, terutama di kota-kota besar dan metropolis.

Salah satu upaya untuk mendorong pemenuhan kebutuhan terhadap perumahan dan pemukiman, diperlukan suatu penyediaan perumahan dan pemukiman yang disediakan baik oleh Pemerintah maupun swasta. Oleh sebab itu swasta diberikan kesempatan dalam menyediakan perumahan dan pemukiman bagi masyarakat.

Disamping itu fenomena semakin terbatasnya lahan untuk permukiman menjadi kendala utama dalam penyediaan hunian di perkotaan, selain harga lahan yang semakin melonjak, hunian vertikal seperti rumah susun menjadi solusi yang tepat untuk pemenuhan hunian bagi masyarakat.

Pertumbuhan bisnis apartemen yang sangat cepat dan kepemilikan semakin luas tidak dimbangi oleh aturan yang memadai agar terciptanya perlindungan konsumen, hubungan yang serasi antara pengembang dengan konsumen.

Beberapa waktu lalu mencuat kepermukaan mengenai korupsi yang dilakukan oleh pemangku kebijakan di daerah Kabupaten Bekasi dengan Direktur dan juga Petinggi Lippo Group, persoalan perizinan menjadi lahan yang empuk bagi pemerintah daerah dalam mengatur proyek Meikarta, mengatur dalam arti yang mungkin tidak semestinya.

Persoalan tersebut membawa efek domino dari hal yang telah terjadi dapat memberikan citra buruk terhadap perusahaan dan kekhawatiran atas investasi yang telah dilakukan tidak berjalan mulus, sebab perizinan yang belum rampung dilakukan oleh pengembang dan persoalan korupsi yang sedang terjadi membuat beberapa pihak merugi, yang pertama adalah pemegang saham, karena pasti ada penurunan yang terjadi dari penjualan saham maupun obligasi, yang kedua adalah konsumen yang telah membeli unit apartemen kepada pengembang merasa khawatir karena persoalan korupsi sehingga berdampak pembekuan dari proyek Meikarta. Kewaspadaan terhadap hak-hak yang dirugikan ini pasti menjadi perhatian sendiri bagi konsumen.

Konsumen Meikarta menjadi sentiment negative, sejatinya mempercayai pengembang dalam melakukan kegiatan bisnisnya, dengan membangun proyek pemukiman yang cukup besar, kendati demikian konsumen Meikarta rentan menjadi korban, sebab kemungkinan pengembang akan melakukan kenaikan harga, biaya administrasi hingga biaya lain-lain yang tidak sesuai apa yang telah dijanjikan. Kepercayaan konsumen telah diikat dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB), sehingga jika para pihak wanprestasi maka berlaku sanksi berdasarkan ketentuan PPJB tersebut.

Bukan hanya Meikarta saja yang melakukan pemasaran secara besar-besaran walaupun izin belum seluruhnya terbit, tetapi mayoritas pengembang dibidang property melakukan hal yang sama, terbukti selama Oktober 2017 sampai Juni 2018 jumlah pengaduan yang masuk ke Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) sebanyak 241, dan 207 atau sekitar 83% adalah kasus sektor perumahan, termasuk apartemen Meikarta. Terbukti bahwa persoalan perumahan dan pemukiman menjadi sektor prioritas pemerintah untuk segera menanganinya, berbagai persoalan tersebut meliputi :

PENGADUAN KONSUMEN

  • Penetapan iuran pemeliharaan lingkungan secara sepihak oleh pengembang
  • Serifikat unit rumah yang dijanjikan pengembang tidak diberikan/tidak jelas
  • Penetapan iuran pemeliharaan lingkungan secara sepihak oleh pengembang
  • Pembatalan uang muka atau Down Payment (DP)
  • Informasi pengembang yang tidak jujur
  • Perubahan site plan dari pengembang
  • Pembelian unit apartemen yang belum mendapatkan unit
  • Penundaan serah terima unit apartemen
  • Perubahan site plan dari developer secara sepihak
  • Belum dilaksanakan AJB terhadap warga yang telah melunasi unit rumah
  • Pembelian unit apartemen yang tidak mendapatkan PPJB
  • Pemblokiran akses fasilitas umum apartemen oleh pengembang
  • Permasalahan status SHM, HGB atau Strata Title
  • Pembatalan sepihak pengembang terhadap pembelian unit kios di Apartemen

Dari permasalahan di atas, penulis mencoba memberikan solusi yang baik dalam membeli rumah atau apartemen, sebab peraturan yang ada saat ini belum cukup memberikan perlindungan bagi konsumen.

Masa sebelum Transaksi

  1. Perizinan
    • Konsumen harus mengetahui bahwa status tanah yang akan dibeli tersebut milik siapa? Dan tidak sengketa, serta konsumen mempunyai hak untuk mengetahui informasi tersebut, apakah perizinan sudah selesai atau belum. Sehingga konsumen dapat mengetahui bahwa unit tersebut layak dibeli atau tidak.
  2. Cara Menjual/Iklan
    • Kadang kala iklan yang disampaikan sangat menarik perhatian konsumen, sehingga terpengaruh dari berbagai tawaran marketing, oleh sebab itu konsumen perlu menahan diri dan tidak cepat mengambil keputusan.
    • Seperti : DP 10%, Cashback, Buyback, Promo/Discount, dll
    • Iklan atau pemasaran dalam hal perumahan dan pemukiman belum diatur secara konkrit dalam UU Rumah Susun dan UU Perumahan dan kawasan Pemukiman, akan tetapi pada pengertian pasal 42 UU Perkim dan pasal 43 UURS, penjualan dapat dilakukan jika keterbangunan fisik mencapai 20%, sehingga pengembang dapat melakukan pemasaran walaupun keterbangunan fisik belum mencapai 20% tetapi tidak dapat melakukan penjualan (Pre Project Selling). Konsumen disarankan membeli rumah atau apartemen jika lebih dari keterbangunan fisik mencapai 20%.
  3. Klausula Baku
    • Pencantuman mengenai klausula baku seringkali merugikan konsumen, contohnya seperti : "DP pembayaran rumah tidak dapat diminta kembali sebagai akibat pembantalan rumah dengan alasan apa pun, seperti penolakan KPR oleh Bank" atau "rumah atau apartemen yang telah dibeli tidak dapat dibatalkan, kecuali dipotong pembayaran uang muka serta biaya-biaya lainnya".
    • Hal tersebut merupakan klausula baku yang merugikan konsumen, dan melanggar pasal 18 UU Perlindungan Konsumen, karena melimpahkan kewajiban pelaku usaha kepada konsumen. Sebaiknya hati-hati dengan hal ini, dan banyak bertanya jika dirasa tidak mengerti atau cari pengembang lain (Take it or Leave it).

Masa Transaksi

  1. PPJB (termasuk klausula baku dalam PPJB)
    • Dalam PPJB tidak mengatur kepastian jangka watu penyelesaian pembangunan apartemen, serah terima unit, pembuatan pertelaan (pemisahan), kepastian AJB, dan sertifikat HMSRS serta tidak ada jaminan dana yang diinvestasikan konsumen, dan  cenderung membuat PPJB dalam akta dibawah tangan. Oleh sebab itu pengembang tidak disiplin dalam mengikuti pedoman PPJB, yang tercantum pada Kepmenpera No.11 Tahun 1994 tentang pedoman PPJB, Bukan hanya pengembang yang tidak disiplin akan tetapi Konsumen sendiri kurang peduli dengan isi dokumen PPJB dan selalu percaya pada itikad pengembang.
    • Selain itu, Kepmenpera No.11 Tahun 1994 tentang pedoman PPJB tidak dilengkapi sanksi bagi pengembang, sehingga terkesan seperti hanya ikut Fungsi pengawasan dan pelaksanaan Pedoman PPJB Rusun oleh Dinas Perumahan tidak efektif (Permen No.11 Tahun 1994).
    • Konsumen disarankan untuk lebih teliti membaca PPJB, karena didalamnya terdapat Hak dan Kewajiban konsumen dan pelaku usaha.
  2. AJB, Pertelahaan/ Pemisahan, Sertifikat Hak Milik (SHM)
    • Lamanya waktu sampai dengan AJB atau penerbitan SHM biasanya dilakukan setelah semua pembangunan apartemen dan rumah selesai secara keseluruhan, walaupun konsumen telah membayar secara penuh, alhasil waktu jeda yang cukup lama membuat konsumen tidak memiliki legalitas atas properti yang telah dibelinya. selain itu persoalan seperti halnya SHM belum diberikan karena diharuskan membayar biaya administrasi di luar ketentuan yang berlaku kerap terjadi, sehingga perlu ketelitian terhadap biaya-biaya yang perlu dikeluarkan
    • jika sampai tahap ini, Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 09/KPTS/M/1995 tentang Pedoman Pengikatan Jual Beli Rumah, penandatanganan AJB atas tanah dan bangunan rumah harus ditandatangani oleh penjual dan pembeli di hadapan PPAT.

Masa Sesudah Transaksi

Belum selesai jika konsumen telah melalui tahap-tahap di atas, karena permasalahan yang utama adalah pada masa sebelum transaksi dan pada masa transaksi ini menjadi akar dari masalah tersebut, kerap kali setelah malakukan proses pembelian unit rumah atau apartemen masih ada persoalan yang sangat penting, dan sangat merugikan konsumen diantaranya  seperti :

  1. Ketidaksesuaian fisik Bangunan/standar ukuran
  2. Keterlambatan serah terima unit tanpa ganti rugi
  3. Ketidaksesuaian janji pengembang terkait fasum/fasos serta masalah lingkungan.
  4. Ketidakterbukaan pengembang mengenai biaya (termasuk kenaikan biaya) tarif listrik, air, parkir, maintance, service charge.
  5. Masalah AJB dan Sertifikat Hak Milik Satuan Rumah Susun (SHMSRS).
  6. Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) masih didominasi oleh pengembang, sementara kerugian yang diterima konsumen perlu diselesaikan.
  • Disarankan untuk mengadukan persoalan konsumen kepada lembaga yang membidangi perlindungan konsumen, seperti Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dan dapat bersama-sama melakukan advokasi bersama Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Persoalan di atas sejatinya perlu diselesaikan dengan campur tangan dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, masalah perlindungan konsumen sejatinya sudah masuk sebagai Hak Asasi Manusia (HAM), perlu mencari  instrumen yang kuat agar tidak ada diskriminasi antara konsumen dan pelaku usaha. Perlindungan konsumen telah kehilangan roh dan filosofi kebijakan publik, sehingga konsep perlindungan konsumen dalam ranah kebijakan maupun regulasi menjadi terasa sangat sempit, walaupun dalam keadaan saat ini sangat dibutuhkan Affirmative action yang dapat memberikan solusi efektif dalam penerapan kebijakan.

Keberadaan negara dalam menetapkan regulasi tidak menyentuh semua aspek perlindungan konsumen, tetapi berbagai upaya harus dilakukan untuk mengembalikan hak-hak konsumen, untuk itu perlu ada rekonstruksi kembali mengenai pemikirian alternatif lain, karena yang mengurusi perlindungan konsumen tidak hanya Pemerintah, melainkan semua instasi/lembaga mempunyai semangat dalam melindungi konsumen.

Perlindungan Konsumen yang masih jauh dari harapan, baik pada level kebijakan dan regulasi, maupun pada implementasinya (substansi, struktur, dan kultur hukum). Pendekatan terhadap perlindungan perlindungan tidak dapat didekati dari aspek hukum saja apalagi kalau hanya hukum perdata, sebab hukum perlindungan konsumen bukan sekedar hukum bisnis tetapi upaya perlindungan bagi konsumen sebagai warga negara Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun