Ingatan kolektif tentang Tupperware parties, merupakan bagian tak terpisahkan dari sebuah strategi pemasaran direct selling yang kala itu dianggap inovatif dan fresh,  kini memori  itu harus berhadapan langsung dengan realitas ekonomi digital yang serba cepat, efisien, dan nyaris tanpa basa-basi.
Pergeseran Lanskap Konsumen, Dari Pesta Rumah ke Dominasi Digital
Dulu keunikan model bisnis Tupperware terletak pada penjualan langsung melalui "pesta" di rumah-rumah para reseller, sebuah cara cerdik untuk menjaring konsumen sekaligus calon anggota jaringan (downliner).Â
Kedekatan emosional yang terjalin antara penjual dan pembeli membangun kepercayaan dan loyalitas yang kuat. Namun, lanskap ekosistem ritel global, termasuk Indonesia, mengalami transformasi digital yang cukup drastis.Â
Proyeksi DataStat.Inc, pada tahun 2025 menunjukkan bahwa lebih dari 70 persen masyarakat perkotaan Indonesia lebih memilih kemudahan berbelanja online. Generasi milenial awal, Gen Z, hingga Generasi Alpha, yang tumbuh sebagai digital natives, cenderung melihat "pesta" ala gimmick pemasaran Tupperware sebagai sesuatu yang usang.Â
Mereka lebih tertarik pada beragam pilihan produk yang dapat dibandingkan dan dibeli secara instan. Fenomena  pergeseran preferensi konsumen ini selaras dengan konsep "Creative Destruction" yang dicetuskan oleh Ekonom Amerika Serikat kelahiran Ceko, Joseph Schumpeter.
Dalam ekonomi kapitalis, inovasi terus-menerus menciptakan produk dan proses baru, yang pada akhirnya dapat menggantikan produk dan perusahaan lama yang tidak mampu beradaptasi.
Fenomena ini juga dapat dijelaskan dengan teori "Disruptive Innovation" dari ahli ekonomi digital asal Amerika Serikat, Clayton Christensen. Inovasi baru seperti e-commerce, meskipun awalnya tampak inferior, dapat mengganggu pasar yang ada dan menggantikan produk atau layanan yang sudah mapan.
Tekanan Bertubi-tubi, Himpitan Ekonomi dan Gempuran Pesaing
Ironisnya, tantangan Tupperware tidak hanya terbatas pada perubahan perilaku konsumen. Kondisi ekonomi yang kurang stabil turut memperparah kondisi keuangan Tupperware Brands Corp, yang terus mengalami "pendarahan akut."Â
Kenaikan harga bahan baku utama seperti resin plastik, ditambah lonjakan biaya produksi dan logistik akibat inflasi, semakin menggerogoti margin keuntungan.Â
Di sisi lain, pasar dibanjiri merek-merek baru yang menawarkan produk serupa dengan harga lebih kompetitif, desain yang lebih kekinian, bahkan dengan narasi ramah lingkungan yang semakin dicari konsumen.Â
Tak heran, banyak yang akhirnya beralih mencari alternatif yang lebih sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai masa kini.