Jadi, dalam prespektif nalar  atau logika umum peristiwa pelecehan seksual yang dituduhkan Putri terhadap Josua yang kemudian menjadi dasar semua peristiwa biadab itu bisa berlangsung, sangat mustahil terjadi.
Hukum memang mendasari keputusannya pada fakta dan bukti akan tetapi yang menjadi alas utama  hubungan antara fakta dan bukti itu adalah logika.
Oleh sebab itu logika hukum itu berpijak pada logika umum. Makanya ada adagium hukum yang berbunyi "lex neminem cigit ad imposibillia" hukum tak memaksakan seseorang untuk melakukan hal yang tak masuk akal.
Artinya hukum itu hanya akan mendasari setiap keputusannya pada logika atau nalar. Dan tentu saja Majelis Hakim yang memimpin persidangan dan kelak bakal memutuskan kasus pidana ini paham benar dengan teori dan logika hukum terkait isu pelecehan seksual ini.
Memang, persidangan Ferdy Sambo Cs  yang kini tengah berlangsung tersebut tidak sedang mengadili kasus pelecehan seksual Putri.
Namun, ketika kuasa hukum terdakwa Tuan dan Nyonya Sambo memainkan isu pelecehan seksual sebagai dasar pembelaannya dalam kasus pembunuhan berencana yang bersangkutan, isu tersebut menjadi sangat krusial dalam persidangan ini.
Meskipun, jika kita mengacu pada alasan yang dipaparkan di atas, kuasa hukum terdakwa seolah tengah membangun istana megah di atas pasir, terlihat megah karena isu pelecehan seksual itu sangat seksi dan agak sulit untuk dibantah karena tertuduh sudah meninggal.
Mengingat tuduhan pelecehan seksual, seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual memungkinkan untuk dilanjutkan meski hanya berdasarkan satu alat bukti saja, dalam hal ini pengakuan korban.
Akan tetapi sekali tersapu ombak bangunan indah itu akan hancur bahkan hilang tak bersisa. Karena secara teori dasar dan logika umum pun agak mustahil persitiwa pelecehan seksual terhadap Putri benar- benar terjadi.
Apabila pondasinya saja sudah tak kuat, sedikit goncangan saja terjadi, argumentasinya bakal luluh lantak.