Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Politik di Indonesia Saat Ini Membosankan dan Egois

12 September 2022   06:31 Diperbarui: 12 September 2022   06:41 315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rasanya saat ini sudah tak terlalu menarik lagi mengulas politik di Indonesia, isunya ya gitu-gitu aja. Mereka yang mengaku oposisi sibuk mendiskreditkan pemerintah, sementara pihak Pemerintah selalu terkesan defense dan kerap melakukan kesalahan komunikasi.

Ujungnya ya saling mendiskreditkan satu sama lain, tanpa memberi manfaat apapun bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Paling yang sedikit menarik hanyalah mematut-matutkan siapa berpasangan dengan siapa untuk menjadi bakal calon presiden dalam kontestasi Pemilu 2024.

Namun, itu pun kebanyakan analisa uthak athik gathuk hasil berbagai survei  yang belum jelas calon tersebut dapat diusung atau tidak, karena hampir semua yang dijagokan dalam utak-atik ganthuk itu dalam prespektif keharusan pencalonan presiden lewat partai politik, peluangnya kecil bahkan hanya untuk sekedar dicalonkan.

Tiga besar pemilik elektabilitas tertinggi menurut sejumlah hasil survei lembaga survei kredibel dua tahun terakhir, terdiri dari Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, dan Anies Baswedan.

Dari ketiga orang tersebut, hanya satu yang sudah hampir pasti maju dan akan bertarung di Pilpres 2024 yaitu Prabowo Subianto.

Partai "miliknya" Partai Gerindra secara resmi telah mengusung nama calon "petahana" dan sudah secara resmi pula berkoalisi dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Dalam hitungan matematis Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan presiden seperti yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang menyebutkan hanya parpol atau gabungan parpol yang memperoleh setidaknya 20 persen jumlah kursi di DPR yang dapat mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Dengan mengacu pada hasil Pemilu 2019, Gerindra meraih 78 kursi atau 13,57 persen dari total kursi yang ada.

Sementara PKB memperoleh 58 kursi atau 10,03 persen. Dengan bergabungnya kedua parpol inj maka jumlah persentasenya menjadi 23,6 persen artinya koalisi ini sudah bisa mencalonkan Prabowo Subianto sebaga calon presidennya.

Meskipun tentu saja koalisi antar keduanya maaih sangat mungkin bisa berubah, bertambah partai peserta koalisinya atau mungkin juga bubar jika dikemudian hari ternyata harapan PKB untuk memajukan Muhaimin Iskandar sebagai cawapres dari koalisi tersebut gagal.

Sementara Ganjar Pranowo meskipun bernaung dibawah Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan (PDIP)  pemenang pemilu yang memiliki keistimewaan untuk memajukan sendiri calon presidennya karena telah melewati presidential Threshold yakni di angka 22 persen dengan perolehan 128 kursi di DPR-RI.

Namun, sepertinya ia malah "dimusuhi" oleh partai sendiri karena, PDIP melihat gelagatnya lebih ingin mencalonkan "Putri Mahkotanya" Puan Maharani sebagai capres PDIP dalam Pemilu 2024 mendatang.

Meskipun jika mengacu pada berbagai hasil penelitian lembaga survei elektabilitasnya sangat jauh dari menjanjikan yakni dikisaran 2 persen saja.

Sedangkan Anies Baswedan, dia merupakan satu-satu-satunya pemilik elektabilitas  tinggi tetapi tuna partai.

Jadi agak berat juga untuk jadi capres, meski Partai Nasdem secara resmi telah mencalonkan dirinya sebagai salah satu capres dari partai milik Surya Paloh ini.

Namun, Nasdem harus berkoalisi agar bisa mengusung siapaun capresnya lantaran raihan kursinya di DPR-RI tak memenuhi ambang batas pencalonan presiden.

Saya kira, setelah Anies lengser dari kursi Gubernur DKI Jakarta pada bulan Oktober 2022 mendatang, naga-naganya ia akan bergabung di salah satu partai politik untuk memuluskan ambisinya meraih jabatan RI-1.

Di luar konstelasi politik pencapresan, suasana politik Indonesia masih kurang menarik. Isunya ya masih tentang cebong dan kadrun yang cenderung membelah serta membosankan.

Kedua pihak memandang situasinya hitam dan putih, apapun yang dilakukan pihak sehaluan dengannya selalu benar.

Sedangkan apapun yang dilakukan pihak berlawanan dianggapnya selalu salah. Seperti gambaran malaikat yang selalu benar dan setan yang selalu salah.

Argumen dan alur komunikasi elit politik ketika berhadapan dengan rakyatnya pun kerap tak kontekstual cenderung tekstual hanya untuk pembenaran.

Saya pikir program kerja yang akan dijanjikan para capres kelak, siapapun dia masih akan normatif dan artifisial tak menukik pada penyelesaian masalah kebangsaan yang sebenarnya.

Satu hal lagi, narasi program milik satu sama lain bakal banyak beririsan, tak akan ada perbedaan yang tegas antara program calon presiden satu dan calon presiden lainnya.

Misalnya pihak oposisi yang selama ini banyak mengkritik utang negara, tak mungkin juga memiliki keberanian untuk meluncurkan program kerja  tak berutang dalam bentuk instrumen keuangan atau pinjaman langsung kepada siapapun.

Atau berjanji tak akan melakukan politik dagang sapi, membagi kekuasan sebagai upaya balas budi atas dukungannya.

Jadi intinya, siapapun pemimpin dan partai mana pun yang berkuasa, akan sama saja bagi warga indonesia, cenderung tak mengubah apapun.

Yang akan berubah dari pergantian rezim itu, adalah kehidupan para elite dan circle-nya saja.

Sedangkan rakyat Indonesia kebanyakan, ya begini-begini saja, tak akan banyak berubah. Siapapun yang menjadi pemenang pemilu dan presidennya.

Tetapi itu lah politik di Indonesia belakangan, monoton, sangat membosankan dan nyaris tak berefek apapun kepada rakyat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun