Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi Berpotensi Dianugerahi Nobel Perdamaian, Jika Berhasil Menjadi Juru Damai Konflik Rusia dan Ukraina

2 Juli 2022   16:05 Diperbarui: 2 Juli 2022   16:08 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah menghadiri Konferensi tingkat tinggi (KTT) G-7 Presiden Republik Indonesia Joko Widodo, melanjutan perjalanannya ke negara yang kini tengah berkonflik Ukraina dan Rusia.

Kunjungan ke dua negara tersebut untuk membawa misi kemanusian, mencari penyelesaian krisis pangan  dan mengupayakan perdamaian. 

Banyak pihak di dalam negeri terutama dari sejumlah individu yang berseberangan dengan Jokowi dan Pemerintahannya, menganggap kunjungan tersebut akan sia-sia, mengingat posisi tawar Indonesia dipercaturan internasional kurang diperhitungkan.

Dengan kesan mengecilkan upaya Presiden Jokowi tersebut,  bahkan di media sosial banyak dari mereka yang mempermasalahkan hal yang tak substansial seperti "bahasa yang digunakan" oleh Jokowi saat bertemu Presiden Ukraina Volodymir Zelenski dan Presiden Rusia, Vladimir Putin.

"Manalah mungkin Indonesia mampu mendamaikan konflik bersenjata Rusia dengan Ukraina"

Beberapa diantaranya bahkan sama sekali menisbikan upaya perdamaian Jokowi menjadi semacam lelucon yang tak pantas.

Melalui pemberitaan media, kita tahu negara-negara besar atau yang berada di kawasan berdekatan dengan ke dua negara berkonflik saja yang dianggap lebih kompeten, tak mampu mendamaikan keduanya, bahkan hanya untuk membawa Ukraina dan Rusia ke meja perundingan.

Turki memang sempat memprakarsai perundingan antar kedua negara tersebut di awal konflik terjadi, tetapi tak berlanjut lantaran tak ada titik temu dan mungkin waktunya kurang tepat, saat itu keduanya masih dalam kondisi panas.

Setelah itu praktis tak ada upaya dari pihak manapun, yang secara langsung berusaha mendamaikan keduanya.

Tak juga lembaga multilateral semacam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang hanya sibuk mengeluarkan seruan  penghentian perang seraya mengecam Rusia.

Hal serupa juga dilakukan oleh sejumlah negara lain, hanya seruan dan seruan belaka tanpa bergerak mendekati Ukraina dan Rusia secara langsung dan bersamaan dengan menunjukan posisinya terkait kesetaraan dan ketidakberpihakan.

Mungkin benar, misi perdamaian yang diusung Jokowi tersebut tak akan secara serta merta menghentikan peperangan, tetapi paling tidak ia berusaha melakukan hal tersebut dan ekspektasi banyak pihak dan mungkin dirinya pun tak terlalu jauh hingga Rusia dan Ukraina bisa berdamai.

Ssjatinya yang bisa menghentikan perang itu hanya kedua pemimpin negara yang bertikai, Volodymir Zelensky dan Vladimir Putin.

Karena kita tahu juga, faktor pemicu konflik ke dua negara bertetangga tersebut sangat kompleks. Namun, apa salahnya mencoba, sudah sepatutnya kita memberikan apresiasi yang tinggi pada upaya Jokowi tersebut.

Asal tahu saja, pasca konflik Rusia dan Ukraina, Jokowi adalah satu satunya pemimpin yang bisa berbicara dengan Zelensky dan Putin dalam satu frame dengan waktu nyaris bersamaan.

Posisi Jokowi menjadi lebih strategis lantaran secara dilpomatik Indonesia cenderung berada di tengah-tengah sesusai amanah konsitusi, Undang-Undang  Dasar 1945   tidak pernah mengutuk serangan Rusia terhadap Ukraina secara langsung, tak jua membenarkan tindakan Rusia.

Di samping itu, saat ini Jokowi bisa bertindak mewakili Indonesia selaku pemegang amanah Presidensi G-20 2022, yang sejak awal tak pernah menolak keinginan Putin untuk menghadiri KTT G-20 di Bali awal Oktober 2022 yang akan datang.

Meskipun tekanan dari Barat begitu keras, bahkan sejumlah negara Barat yang tergabung dalam G-20 sempat mengancam akan memboikot pertemuan 20 negara pemilik ekonomi terbesar di dunia tersebut, apabila Putin atau delegasi Rusia menghadiri konferensi.

Untuk menyeimbangkan posisi, sekaligus menjadi penyelesaian terkait isu boikot KTT G-20,  Jokowi seperti yang disarankan sejumlah negara Barat termasuk Amerika Serikat,  kemudian mengundang Presiden Zelensky untuk datang ke Bali sebagai wakil dari delegasi Ukraina dalam KTT.

Padahal, Ukraina bukan termasuk negara G-20. Tetapi mereka bisa datang sebagai peninjau atau negara mitra G-20, persis seperti saat Indonesia yang diwakili Presiden Jokowi menghadiri KTT G-7 di Jerman yang berlangsung 27 Juni 2022 lalu.

Indonesia sebenarnya, bukan termasuk dalam organisasi  negara-negara G-7, tapi diundang bersama India, Argentina, Afrika Selatan, dan Senegal sebagai mitra negara G-7.

Pertemuan Jokowi dengan Zelensky dan Putin.

Liputan6.com
Liputan6.com
Dari pertemuannya dengan Presiden Zelensky yang dilaksanakan di Istana Kepresidenan Marynsky Kyiv Ukraina pada  29 Juni 2022 kemarin.

Seperti dilansir sejumlah media televisi dan daring nasional, Jokowi menyampaikan beberapa hal, pertama ia menyampaikan kepedulianya terhadap dampak perang bagi kemanusian. 

Sesuai kemampuan yang dimiliki Indonesia, Jokowi memberikan bantuan obat-obatan dan komitmen untuk merekontruksi rumah sakit yang hancur terdampak perang yang  menurut sejumlah media semuanya bernilai US$ 5 juta.

Disamping itu, Jokowi pun menyampaikan hal yang berkaitan dengan suplai pangan dunia yang terganggu karena perang Ukraina dan Rusia, sekaligus menekankan betapa pentingnya posisi Ukraina dalam supply chain pangan dunia.

Untuk itulah, semua pihak harus memastikan jaminan kemanan bagi kelancaran ekspor  pangan Ukraina terutama lewat pelabuhan laut.

Dalam kesempatan yang sama, Jokowi pun kembali mengundang Presiden Zelensky yang kali ini disampaikan secara langsung untuk hadir dalam KTT G-20.

Mendapat undangan secara langsung dari Jokowi, Zelensky seperti yang ia sampaikan dalam konferensi pers bersama,  sangat berterimakasih dan akan berusaha untuk hadir meskipun kehadirannya tersebut akan sangat tergantung situasi di dalam negeri Ukraina dan kondisi keamanan.

"Fasilitas ketua dan anggota G20 sangat penting untuk pemulihan perdamaian. Saya berterima kasih kepada Anda, Tuan Presiden, atas undangan pribadi untuk mengambil bagian dalam KTT G20, dan, tentu saja, saya menerimanya. Undangan, partisipasi Ukraina akan tergantung pada situasi keamanan di negara itu dan pada komposisi peserta,"ujarnya, seperti yang saya kutip dari CNBCIndonesia.

Kemudian terkait upaya perdamaian Ukraina dengan Rusia, Jokowi menawarkan dirinya untuk membawa pesan dari Zelensky untuk Presiden Putin yang akan ia temui keesokan harinya tanggal 30 Juni 2022 Pukul 18.00 waktu Moskow.

Di akhir pertemuannya, Presiden Zelensky berterimakasih atas kedatangan Jokowi di Kyiv seraya menyebutkan bahwa Jokowi merupakan Pimpinan Negara Asia pertama pasca konflik negaranya dengan Rusia.

Tak lama kemudian, Jokowi kembali ke Polandia dengan menggunakan Kereta Api Khusus seperti saat dirinya dan ibu negara Iriana Joko Widodo menuju Ukraina, untuk selanjutnya terbang ke Moskow dan bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin di Kremlin.

Kompas.com
Kompas.com
Pertemuan tete a tete atau empat mata antara Jokowi dan Putin berlangsung dalam suasana bersahabat dan cukup akrab. 

Misi utama Jokowi bertemu Putin di Moskow adalah untuk mendorong perdamaian antara Ukraina dan Rusia.

Meski kunjungan tersebut masih di tengah suasana panas di antara kedua negara tersebut, bahkan saat Jokowi tiba di Kremlin pertempuran di Lhusank dan Donbask sedang berlangsung sengit.

Jokowi tak kehilangan semangat untuk terus mengupayakan perdamaian, lantaran seperti yang ia ucapkan dihadapan Putin, tindakannya tersebut merupakan amanah konstitusi Indonesia agar Indonesia selalu berkontribusi dalam perdamaian dunia.

Jokowi pun kemudian menyampaikan pesan dari Zelensky kepada Putin. Harapannya akan terbuka dialog yang pada akhirnya membawa Ukraina dan Rusia bisa berdamai atau paling tidak melakukan gencatan senjata.

Dengan dasar pemikiran tersebut  Jokowi menyiapkan dirinya untuk menjadi jembatan komunikasi antar kedua pemimpin negara yang sedang bertikai tersebut.

Artinya, jika dikehendaki kedua belah pihak, Jokowi bakal menjadi semacam "peace broker" atau juru damai.

Peluang tersebut terbuka lebar, jika berkaca pada penyambutan dan diplomasi yang produktif di kedua negara yang berseteru tersebut.

Dalam pembahasan lainnya bersama Putin, Jokowi menyoal masalah rantau pasok pangan dan energi yang terganggu akibat perang Ukraina dan Rusia yang dampaknya bisa dirasakan oleh hampir seluruh penduduk dunia, terutama di negara berkembang.

Terkait urusan rantai pasokan pangan, Putin mengungkapkan kesediannya untuk memberi jaminan keamanan bagi pasokan pangan dan pupuk yang berasal dari Rusia dan Ukraina.

Meskipun dalam saat bersamaan Putin, menyatakan bahwa Barat berperan besar dalam kekacuan pasokan pangan dan energi dunia saat ini.

Entah berhubungan atau tidak dengan kunjungan Jokowi  ke Rusia dan Ukraina, mengutip Kompas.Com, Rusia menarik pasukannya dari Pulau Ular pada Kamis (30/06/22) sesaat setelah Jokowi bertemu Putin, agar Ukraina bisa melakukan ekspor produk pertaniannya.

Namun, yang jelas Rusia ingin memperlihatkan kepada dunia, bahwa mereka tidak menghalangi upaya PBB mengatur koridor kemanusian guna mengirimkan produk pertanian Ukraina.

Dalam kesempatan pertemuan kedua pimpinan negara tersebut juga banyak berbicara tentang hubungan bilateral antar kedua negara, terutana disisi pembangunan ekonomi.

Rusia, menyatakan minatnya untuk berpartisipasi dalam pembangunan transportasi di Ibukota Negara Baru Indonesia di Kalimantan Timur.

Setelah pertemuan di Kremlin tersebut Jokowi langsung terbang menuju Uni Emirat Arab (UEA) untuk bertemu dengan pemimpin UEA Sheikh Muhammad bin Zayed dan sejumlah investor.

Jokowi, memilih untuk langsung terbang ke UEA tanpa menginap di Moskow agar  memperlihatkan bahwa dirinya dan Indoensia tak dianggap memihak lantaran di Ukraina pun selepas Jokowi bertemu Zelensky langsung balik ke Polandia.

Mungkin keputusan tersebut lebih pada faktor keamanan, karena serangan Rusia terus berlanjut di kawasan Ukraina.

Jokowi dan tim diplomatik Kementerian Luar Negeri benar-benar detil berhitung agar posisi Indonesia terlihat netral oleh kedua negara, agar memiliki peluang untuk menjadi jembatan komunikasi antar dua negara yang bertikai tersebut.

Jika hal tersebut intensitasnya terus ditingkatkan, hasil pembicaraan antar pimpinan di tindak lanjuti oleh para pelaksana di bawahnya agar mengarah pada terbukanya komunikasi antara Ukraina dan Rusia.

Apalagi jika kemudian Menteri Luar Negeri Retno Marsudi yang dikenal sebagai diplomat piawai mampu meyakinkan Barat agar mau mendorong Ukraina kembali ke meja perundingan.

Bukan tidak mungkin, pada saat KTT-20 di Bali pertemuan antara Zelensky dan Putin bisa berlangsung.

Mereka bersalaman, dan bersepakat untuk menindaklanjuti pertemuan mereka tersebut menjadi titik awal perundingan baru menuju perdamaian yang permanen.

Jika itu terjadi, mungkin hal tersebut bisa disamakan dengan proses perjanjian Camp David 1978.

Presiden Amerika Serikat saat itu Jimmy Carter bertindak sebagai mediator perdamaian antara Mesir  dan Israel yang tengah terlibat konflik bersenjata.

Kemudian ia mengatur pertemuan antara Presiden Mesir Anwar Sadat dan Perdana Menteri Israel Menachem Begin.

Pertemuan yang berlangsung selama 12 hari tersebut akhirnya melahirkan Perjanjian Camp David yang menyepakati perdamaian dan menghentikan konflik bersenjata antar mesir dan Israel.

Atas keberhasilan mendamaikan kedua negara bebuyutan tersebut, Presiden Jimmy Carter diganjar Nobel Perdamaian.

Berkaca pada peristiwa tersebut, peluang Jokowi untuk menjadi "calo perdamaian" antara Rusia dan Ukraina terbuka.

Apabila Jokowi mampu membawa kedua negara berkonflik, Ukraina dan Rusia kembali ke meja perundingan dan kemudian berhasil melahirkan perdamaian antar keduanya.

Bukan tidak mungkin, Jokowi akan diganjar sebagai peraih Nobel Perdamaian dan hal tersebut terbuka karena jalannya memang ada dengan memanfaatkan posisinya sebagai presidensi G-20, meski tetap harus lewat usaha yang luar biasa keras untuk meyakinkan banyak pihak.

Jika itu terjadi, akan menjadi legacy yang tak terlupakan bagi Jokowi dan Indonesia. Mungkinkah? Sulit tapi mungkin.

Well see lah, bagaimana tindak lanjut hasil pertemuan Jokowi dengan Zelensky dan Putin tersebut dalam beberapa waktu ke depan.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun