Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Imlek dan Hubungan Aneh Penguasa Masa Lalu dengan Etnis Tionghoa

27 Januari 2022   10:16 Diperbarui: 27 Januari 2022   10:23 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Imlek datang menjelang, sekali lagi nostalgia masa kecil memenuhi relung. Ya, masa kecil di pertengahan 1980-an, saat saya tumbuh dan besar di kawasan Pecinan kota Sukabumi.

Saya hapal betul tanda-tanda Imlek akan datang, lilin-lilin berukuruan raksasa berwarna merah mulai memenuhi Vihara yang letaknya tak jauh dari tempat tinggal saya.

Teman-teman kecil saya yang kebanyakan beretnis Tionghoa, mulai diberikan baju baru oleh orangtuanya.

Bau dupa mulai tercium lebih menyengat, sirkulasi penganan yang saat itu kami sebut "dodol china" mulai meningkat.

Hampir tiap hari kami sekeluarga meskipun berbeda etnis dan keyakinan, mendapat hantaran kue yang belakangan saya baru tahu nama lainnya adalah Kue Keranjang.

Dan yang paling epik saat mulai mendengar hentakan bunyi dug...dag..dug.. ceng.. Dug..dag..dug.. ceng..hampir sepanjang hari kecuali mendekati adzan berkumandang.

Jika sudah mendengar itu, berarti Imlek sudah tiba dan saya bisa melihat liukan barongsay, dan selama lebih dari 2 minggu hingga Cap Go Meh datang, saya bisa menyaksikan pertunjukan wayang potehi.

Masa itu, Barongsay hanya keluar setahun sekali saat Imlek, itu pun hanya bisa disaksikan diseputaran Vihara Widhi Sakti atau biasa kami sebut "kelenteng Odeon"

Itu pun tak selalu bisa ditampilkan di luar kelenteng, kadang barongsay hanya dimainkan di dalam saja.

Belakangan setelah saya beranjak dewasa, ketika masa reformasi, baru saya tahu bahwa boleh tidaknya barongsay dimainkan di luar kelenteng dan ditonton khalayak ramai tergantung mood Pemerintah daerah kota Sukabumi.

Pada masa itu di era Orde Baru, saat Soeharto berkuasa, seluruh upacara dan adat istiadat masyarakat Tionghoa memang dilarang.

Meskipun mungkin di kota-kota kecil seperti Sukabumi pelarangannya tak seketat di kota-kota besar. Dan bisa jadi ada kekuatan uang juga bermain disana.

Diakui atau tidak denyut perekonomian di kota Sukabumi saat itu dikuasai betul oleh etnis Tionghoa.

Toko-toko besar di tengah kota, lebih dari 90 persen diantaranya dikuasai oleh mereka. Makanya tak heran jika hubungan antara penguasa daerah dan komunitas Tionghoa di Sukabumi ini agak aneh.

Di satu sisi mereka berseberangan terutama dalam masalah sosial dan politik, di sisi lain tetap terjadi tarik menarik, jikalau keduanya tak bekerja sama denyut ekonomi kota Sukabumi tak akan berdetak.

Ini sejalan dengan narasi yang dibangun oleh Sejarawan asal Belanda Leonard Blusse dalam bukunya "Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC" yang menggambarkan hubungan antara penguasa kolonial Belanda dengan etnis Tionghoa.

Hubungan antara keduanya kerap seperti benci walau tetap merindu, pemerintah kolonial Belanda tak terlalu menyukai mereka secara politik dan sosial lantaran dianggap oportunis, tetapi dalam saat bersamaan etnis Tionghoa memegang peranan sangat penting bagi perekonomian Batavia.

Seperti perekonomian kota Sukabumi, tanpa kerjasama antara pemerintah kolonial Belanda dengan etnis Tionghoa, roda perekonomian di Batavia tak akan bergerak.

Etnis Tionghoa merupakan perintis banyak hal, mereka memainkan banyak peran dalam perekonomian kala itu, bisa menjadi kuli, tukang batu,  pedagang perantara, pembayar pajak serta menjadi penghubung perdagangan antara Negeri China dan Hindia-Belanda (Indonesia).

Narasi benci tapi rindu antara penguasa dan etnis Tionghoa ini berlanjut hingga masa Orde Baru datang dan berkuasa.

Bahkan etnis Tionghoa di masa itu tak diakui sebagai suku bangsa Indonesia, mereka dikategorikan non-bumiputera. Hak-hak sosial dan politiknya diberangus hingga titik terendah.

Tuntutan mengasimiliasi diri dengan suku-suku mayoritas dijadikan opsi utama yang ditawarkan oleh pemerintah Orba.

Semua itu karena Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 14/1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Tionghoa.

Dalam instruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa termasuk di dalamnya perayaan Imlek, hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruang tertutup.

Aturan ini lah, yang mengkonfirmasi bahwa pertunjukan barongsay saat Imlek di kota Sukabumi, kadang bisa diluar, tapi lebih sering hanya boleh dilaksanakan di dalam kelenteng.

Tak hanya di Sukabumi, sesuai intruksi tersebut perayaan tradisi keagamaan etnis Tionghoa di seluruh pelosok Indonesia, termasuk Imlek, Capgomeh, Pehcun, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka.

Demikian pula dengan tarian-tarian barongsay dan lang-liong dilarang dipertunjukkan. Bahkan pelarangan juga menyangkut pemakaian aksara China, hingga lagu-lagu berbahasa Mandarin ikut lenyap dari siaran radio.

Namun demikian,  hubungan "aneh" seperti yang terjadi di kota Sukabumi dan pada masa kolonial Belanda terjadi juga di pusat Pemerintahan Indonesia era Soeharto.

Perekonomian Indonesia saat itu di dominasi oleh etnis Tionghoa, dan lebih aneh lagi konglomerasi usaha yang menguasai perekonomian Indonesia yang banyak dimiliki oleh mereka justru difasilitasi oleh Soeharto, bahkan  sejumlah konglomerat Tionghoa diantaranya sangat dekat secara pribadi dengan Soeharto.

Kondisi ini berlanjut, hingga wangsa Orde Baru tumbang. Kehidupan sosial, politik, dan budaya etnis Tionghoa berbanding terbalik dengan kiprah mereka di dunia ekonomi.

Seolah Pemerintah Orde Baru ingin member batasan tegas, bahwa etnis Tionghoa boleh berkiprah di sektor ekonomi tetapi jangan berharap bisa mendapat kesempatan di luar sektor itu.

Beruntungnya, pasca Soeharto turun tahta, titik terang kehidupan etnis Tionghoa yang serba dibatasi berakhir setelah Presiden Republik Indonesia ke-4 Abdurachman Wahid atau lebih dikenal dengan Gus Dur yang dikenal berani dan konsisten membela hak-hak kaum minoritas mengubah konstelasi sosial politik dan budaya etnis Tionghoa.

Gus Dur sangat bisa disebut sebagai juru selamat bagi kehidupan sosial, politik dan budaya etnis Tionghoa di Indonesia.

Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia pada 17 Juni 2000, memperbolehkan kembali perayaan Imlek dilakukan secara terbuka di hadapan khalayak umum dan hal tersebut menjadi tonggak sejarah baru bagi kehidupan etnis Tionghoa di Indonesia.

Lantas, Imlek resmi ditetapkan sebagai hari libur nasional, hal itu menegaskan pengakuan terhadap keberadaan etnis Tionghoa di Indonesia.

Gus Dur pun kemudian menekankan bahwa Pemerintah Indonesia tak mempermasalahkan lagi mana bumiputra mana non bumiputra. 

Indonesia ini menurutnya tak memiliki keturunan yang tunggal dan bisa mengklaim bahwa dialah masyarakat Indonesia asli. Pasalnya menurut Gus Dur, Indonesia itu dibentuk dari perpaduan tiga ras, yakni Melayu, Astro-Melanesia, dan China.

Sejak saat itu hubungan aneh antara penguasa dan masyarakat etnis Tionghoa tak lagi aneh. Meskipun belakangan ada sejumlah pihak yang mencoba ingin mengembalikan "keanehan" tersebut.

Tapi saya yakin masyarakat Indonesia saat ini sudah cukup cerdas untuk tak mengulang kejadian masa lalu dan sepertinya sudah sepenuhnya mengakui bahwa istilah pribumi dan non-pribumi itu dihilangkan.

Hal tersebut akan lebih mudah dilaksanakan, apabila pihak etnis Tionghoa-nya pun bisa lebih egaliter dan menghindari eksklusifitas yang memang faktanya hingga saat ini pun masih terlihat.

Namun demikian, seiring waktu berjalan proses pembauran akan terus berlangsung yang pada akhirnya Indonesia ya Indonesia tanpa harus tersekat-sekat unsur SARA.

Selamat Merayakan Imlek 2573 Kongzli saudaraku yang merayakannya, Semoga kesejahteraan dan kemakmuran menaungi kita semua.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun