Meskipun mungkin di kota-kota kecil seperti Sukabumi pelarangannya tak seketat di kota-kota besar. Dan bisa jadi ada kekuatan uang juga bermain disana.
Diakui atau tidak denyut perekonomian di kota Sukabumi saat itu dikuasai betul oleh etnis Tionghoa.
Toko-toko besar di tengah kota, lebih dari 90 persen diantaranya dikuasai oleh mereka. Makanya tak heran jika hubungan antara penguasa daerah dan komunitas Tionghoa di Sukabumi ini agak aneh.
Di satu sisi mereka berseberangan terutama dalam masalah sosial dan politik, di sisi lain tetap terjadi tarik menarik, jikalau keduanya tak bekerja sama denyut ekonomi kota Sukabumi tak akan berdetak.
Ini sejalan dengan narasi yang dibangun oleh Sejarawan asal Belanda Leonard Blusse dalam bukunya "Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan, dan Belanda di Batavia VOC" yang menggambarkan hubungan antara penguasa kolonial Belanda dengan etnis Tionghoa.
Hubungan antara keduanya kerap seperti benci walau tetap merindu, pemerintah kolonial Belanda tak terlalu menyukai mereka secara politik dan sosial lantaran dianggap oportunis, tetapi dalam saat bersamaan etnis Tionghoa memegang peranan sangat penting bagi perekonomian Batavia.
Seperti perekonomian kota Sukabumi, tanpa kerjasama antara pemerintah kolonial Belanda dengan etnis Tionghoa, roda perekonomian di Batavia tak akan bergerak.
Etnis Tionghoa merupakan perintis banyak hal, mereka memainkan banyak peran dalam perekonomian kala itu, bisa menjadi kuli, tukang batu, Â pedagang perantara, pembayar pajak serta menjadi penghubung perdagangan antara Negeri China dan Hindia-Belanda (Indonesia).
Narasi benci tapi rindu antara penguasa dan etnis Tionghoa ini berlanjut hingga masa Orde Baru datang dan berkuasa.
Bahkan etnis Tionghoa di masa itu tak diakui sebagai suku bangsa Indonesia, mereka dikategorikan non-bumiputera. Hak-hak sosial dan politiknya diberangus hingga titik terendah.
Tuntutan mengasimiliasi diri dengan suku-suku mayoritas dijadikan opsi utama yang ditawarkan oleh pemerintah Orba.