Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Aksi Demonstrasi UU Ciptaker Terus Berlanjut, Sejak Kapan Manusia Mengenal Aksi Demonstrasi?

18 Oktober 2020   12:11 Diperbarui: 18 Oktober 2020   12:21 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksi Demontrasi Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja terus berlanjut diberbagai wilayah di Indonesia. Berbagai elemen masyarakat terlibat dalam unjuk rasa ini.

Tak hanya di Indonesia, unjuk rasa dengan alasan berbeda terjadi juga di Thailand yang menuntut reformasi monarki dilakukan oleh masyarakat Thailand yang dimotori oleh kalangan muda.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Aksi Demonstrasi atau unjuk rasa adalah sebuah gerakan protes yang dilakukan sekumpulan orang dihadapan umum.

Biasanya unjuk rasa dilakukan untuk menyatakan pendapat kelompok tertentu terhadap sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak lainnya, sebagai upaya menekan pihak tersebut secara politis atas nama kepentingan kelompok.

Lantas sejak kapan manusia mengenal aksi unjuk ras atau demonstrasi ?

Tak hanya milik peradaban modern, ternyata demonstrasi itu telah dilakukan sejak zaman peradaban kuno. Menurut Patrick Manning Profesor Sejarah Dunia University of Pittsburgh Amerika Serikat dalam Jurnal ilmiahnya yang berjudul Earliest Evidence of Social Protests.

Aksi demontrasi pertama kali diketahui terjadi sejak masa Mesir Kuno sekitar tahun 2.700 Sebelum Masehi (SM) pada masa Pemerintahan  Seth Peribsen (Sekhemib)

Dimensi ideologi-agama dan status sosial menjadi pangkal masalahnya saat itu. Aksi protes tersebut dilakukan oleh para pengikut Horus yang tak puas atas tindakan Seth sebagai penguasa dalam memperlakukan masyarakat bawah di Mesir saat itu.

Pada masa sesudahnya, beberapa bukti menunjukan bahwa di zaman Yunani kuno pun terjadi aksi protes yang dilakukan oleh Helots dan Spartaties protes mereka atas dasar masalah ideologi atau keagamaan, konon katanya protes ini tertulis dalam Alkitab.

Sementara aksi demontrasi atas pemberlakuan sebuah undang-undang pertama kali justru di lakukan oleh perempuan sekitar 195 SM di zaman Romawi kuno.

Berawal dari  kekalahan Republik Romawi dalam pertempuran Cannae yang merupakan puncak dari Perang Punisia pertama.

Saat itu  Romawi dipimpin oleh Konsul Lucius Aemilus Paulus dan  Galus Terentius Varro oleh Kartago yang dipimpin oleh Hannibal pada 216 SM.

Karena pertempuran itu menyedot begitu banyak biaya, pemerintah Romawi mengeluarkan sebuah kebijakan sebagai dasar pengetatan ekonomi yang disebut Lex Oppia atau UU Oppian sehingga semua rakyat harus berhemat dan membatasi belanja dalam bentuk 

Pembatasan ini lebih banyak ditujukan kepada kaum wanita, lantaran mereka mewarisi banyak harta dari para pria yang saat itu tewas dalam pertempuran Cannae.

Dalam UU tersebut disebutkan secara khusus bahwa wanita tak boleh memiliki emas lebih dari 500 gram, mengenakan pakaian multi warna terutama yang memiliki garis ungu atau mengendarai kendaraan yang ditarik hewan di kota dalam radius lebih dari 1 km dari rumahnya kecuali untuk kebutuhan keagamaan.

Namun kemudian setelah Perang Punisia kedua berakhir dengan kemenangan ada di tangan Romawi, kekayaan dari daerah kekuasaan Kartago mengalir pada para penguasa Romawi.

Kesulitan keuangan yang selama itu terjadi menjadi sirna, sehingga memungkin lagi bagi para wanita Romawi bergaya hidup mewah.

Para wanita yang sebagian besar ibu rumah tangga kemudian turun ke jalan berbarengan dengan upaya penghapusan UU Oppian itu secara elitis melalui parlemen Romawi saat itu.

Wanita-wanita Romawi terus melakukan berbagai aksi, mulai dari penutupan jalan-jalan utama di ibu kota Romawi hingga berbicara diberbagai forum. Puncaknya dalam jumlah yang lebih besar dari aksi-aksi mereka sebelumnya, para demonstran wanita ini mengepung pintu kedua penguasa Romawi saat itu Brutus Tribun.

Akhirnya penguasa Romawi menyerah dan mencabut Lex Oppia pada 195 SM.

Sementara di zaman Romawi kuno yang lain , aksi unjuk rasa yang kemudian mengarah menjadi pemberontak yang juga  menjadi salah satu tonggak sejarah bangsa Romawi adalah saat Spartacus sang budak belian memimpin aksi itu pada 73-71 SM.

Awalnya hanya sekumpulan kecil budak yang protes atas perlakuan para majikannya dan aturan negara yang tak melindungi mereka, para budak berdemontrasi yang puncaknya mencapai 120 ribu orang  memenuhi jalan-jalan di Ibukota Romawi.

Meskipun kemudian aksi massa yang berujung pemberontakan yang dipimpin Spartacus ini berhasil dipadamkan oleh Marcius Licinus Crassus, aksi ini memberi pengaruh sehingga membuat banyak hal politik di Romawi berubah dalam beberapa tahun setelahnya.

Aksi massa ini dalam perjalanannya banyak merubah sejarah dunia. Setelah memasuki abad Masehi di zaman pertengahan Eropa terdapat aksi unjuk rasa besar yang melahir cabang agama Nasrani baru.

Aksi unjuk rasa besar itu dikenal dengan Reformasi Protestan. Aksi yang dimotori oleh Martin Luther pada 1517 itu awalnya merupakan aksi unjuk rasa damai yang menentang sejumlah kebijakan gereja Katolik dan perilaku sebagian Pasturnya.

Para demonstran memaku salah satu gereja di Jerman tempat terdapat risalah tentang penyalahgunaan Katolik yang ditulis oleh Martin Luther. 

Meskipun kemudian Aksi massa dalam jumlah besar ini harus berakhir rusuh dan menimbulkan pertumpahan darah.

Aksi Massa lain di Eropa yang mengubah sebuah sistem pemerintahan dan akhirnya melahirkan konsep pemerintahan Trias Politika yang digunakan di hampir seluruh negara di dunia adalah Revolusi Perancis pada 14 Juli 1789.

Aksi demonstrasi yang disebut dengan nama The Storm of Bastille, yang terjadi di Istana Bastille yang merupakan simbol Monarki Kerajaan Perancis, berakhir dengan runtuhnya sistem Monarki Absolut dan berganti menjadi Republik Perancis

Kejadian ini juga harus berakhir dengan pertumpahan darah yang cukup besar bahkan Raja Perancis terakhir Louis ke XVI akhirnya dieksekusi dengan cara dipancung menggunakan Guillotine.

Kemudian banyak lagi aksi massa yang menghadirkan tonggak sejarah bagi sebuah bangsa, seperti di India yang dipimpin oleh Mahatma Gandhi sebagai bentuk perlawanan pada kolonialisme Inggris pada tahun 1930.

Di Amerika Serikat ada Martin Luther King  yang memimpin aksi unjuk rasa besar pada 1963 yang menentang kebijakan rasial kulit hitam.

Bagaimana dengan Indonesia, sejak kapan aksi unjuk rasa besar terjadi di tanah air kita tercinta ini?

Aksi unjuk rasa besar pertama kali terjadi di Indonesia terjadi pada tahun 1966 pasca peristiwa G30S. Dengan dimotori oleh pemuda dan pemudi dari kalangan Mahasiswa yang jumlahnya hingga ribuan orang, mereka turun ke jalan menyerukan protes atas kondisi negara yang kian memprihatinkan yang berhulu pada peristiwa G30S tahun 1965.

Para demonstran sama sekali tak puas dengan sikap Presiden Soekarno dalam menyikapi peristiwa tersebut. Pentolan PKI yang dianggap sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam peristiwa G30S dibiarkan begitu saja.

Kebutuhan pokok meroket hingga lebih dari 300 persen, aksi demonstrasi mahasiswa bersama elemen masyarakat menuntut tiga hal yang kemudian dikenal dengan nama Tiga Tuntutan Rakyat atau Tritura yang terdiri dari: 

1. Bubarkan PKI beserta Ormas-Ormasnya. 2. Rombak Kabinet Dwikora, dan ke-3. Turunkan harga kebutuhan pokok.

Aksi demo ini akhirnya berhasil menurunkan kepemimpinan Soekarno sekaligus menjadi tonggak sejarah pergantian orde, dari Orde Lama ke Orde Baru di bawah pimpinan Soeharto.

Peristiwa unjuk rasa ke-2 yang cukup besar terkadi lagi pada masa pemerintahan Orba pada 15 Januari 1974 yang dikenal dengan peristiwa Malari (lima belas Januari).

Kembali mahasiswa menjadi motor aksi demonstrasi yang menentang terlalu derasnya investasi Jepang di Indonesia.

Peristiwa itu terjadi bertepatan dengan kunjungan Perdana Menteri Jepang saat itu  Kakuei Tanaka Ke Indonesia.

Para mahasiswa dan pelajar yang bergabung dengan sebagian masyarakat sipil untuk melakukan unjuk rasa. Mereka menuntut 3 hal yang mereka sebut "Tritura Baru 1974" yang isinya: 1. Bubarkan Lembaga Asisten Pribadi Presiden (Aspri). 2. Turunkan harga. 3. Ganyang korupsi.

Peristiwa Malari ini berhasil di redam oleh Pemerimtahan Soeharto saat itu, meskipun beberapa pejabatnya di pecat seperti Soemitro yang saat itu menjabat Pangkopkamtib dan Lembaga Aspri pimpinan Ali Moertopo di bubarkan.

Para pentolan pengunjuk rasa seperti Hariman Siregar kemudian ditangkap dan dipenjarakan. Beberapa media yang aktif memberitakan kejadian itu seperti Harian Abadi, Pedoman dan beberapa surat kabar lainnya dibredel.

15 tahun kemudian aksi unjuk rasa besar kembali terjadi, setelah mahasiswa bergerak dengan jumlah yang sangat masif pada bulan Mei 1998.

Gerakan ini merespon krisis moneter yang terjadi di pertengahan tahun 1997 yang kemudian berujung menjadi krisis multi dimensi. 

Aksi yang tadinya berlangsung sporadis di beberapa daerah terus membesar hingga puncaknya ratusan ribu bahkan jutaan mahasiswa dan masyarakat sipil turun ke jalan menuntut  Soeharto agar turun dari jabatannya dan pergantian rezim dilakukan.

Sempat terjadi tarik menarik kekuatan hingga akhirnya pada 10 Mei 1998 mahasiswa berhasil menduduki gedung DPR/MPR dan kerusuhan terjadi disejumlah kota besar di Indonesia termasuk Jakarta.

Kerusuhan ini dipicu oleh tertembaknya 4 orang Mahasiswa Universitas Trisakti di Kampusnya di Jalan Kyai Tapa, Grogol Jakarta Barat.

Akhirnya setelah tekanan membesar dan para anggota kabinetnya menolak dipilih menjadi menteri serta berpalingnya beberapa orang kepercayaannya Soeharto memutuskan berhenti dari jabatannya.

Kemudian jabatan Presiden dipegang oleh Wakil Presiden nya saat itu BJ. Habibie. Saat itu lah kembali sebuah rezim tumbang oleh gelombamg unjuk rasa yang dimotori oleh mahasiswa seperti pada tahun 1966.

Orde berganti menjadi Orde Reformasi, 22 tahun sudah kejadian itu berlalu. Tak pelak lagi mahasiswa bisa disebut sebagai agen perubahan yang nyata.

Ketika beberapa tahun belakangan mereka kembali turun ke jalan untuk merespon beberapa kebijakan pemerintah yang dianggap tak menguntungkan rakyat kebanyakan, pemerintah dan aparat keamanan terlihat sangat hati-hati menyikapinya.

Karena bisa jadi aksi mereka bakal menimbulkan gelombang politik yang cukup berdampak bagi pemerintahan. 

Namun isu yang menjadi permasalahan masih terbatas efeknya pada sekelompok masyarakat saja hingga, rakyat tak solid dan cenderung terbelah.

Momen seperti 1966 dan 1998 itu kan memang sudah matang untuk pergantian sebuah rezim berbeda dengan saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun