Mohon tunggu...
Ferry Irawan suyitno
Ferry Irawan suyitno Mohon Tunggu... rakyat biasaa

penikmat kopi, rokok kretek, buku, senja dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

bukan HP nya yang sepi, tapi hati kita yang gak pernah di kunjungi

3 Juli 2025   19:00 Diperbarui: 3 Juli 2025   18:56 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto dengan judul : era distraksi. saat notifikasi ramai tapi hati sepi. dibuat oleh CHAT GPT AI 

era distraksi digital: manusia modern semakin akrab dengan suara notifikasi tapi semakin jauh dari suara hati sendiri.  

Di zaman serba digital kayak sekarang, suara yang paling sering mampir ke telinga kita bukan lagi suara orang tua di ruang makan, bukan suara teman yang ngajak nongkrong, apalagi suara hati sendiri. Yang paling rajin hadir? Ya... notifikasi. Bunyi ting!, cekrek!, duar!, atau deretan suara dari aplikasi yang nggak pernah berhenti ngasih kabar. Ironisnya, di era di mana semua orang sibuk connect, hati kita justru makin disconnect. 

Kita terlalu sibuk nunggu balasan chat, update story orang, atau notifikasi likes yang nggak ada habisnya. Seolah-olah kalau HP sepi, hidup kita juga ikut sepi. Padahal tanpa sadar, suara hati yang jauh lebih penting dari sekadar suara notifikasi itu, udah jarang banget kita dengar. Coba deh tanya ke diri sendiri --- kapan terakhir kali kita duduk diam tanpa suara HP, tanpa scrolling, tanpa ngecek DM? Kapan terakhir ngobrol sama diri sendiri, nanyain, "Lo baik-baik aja nggak sih?" atau sekadar ngelamun sambil mikirin apa yang sebenarnya kita mau dalam hidup ini, bukan apa yang orang lain ekspektasikan dari kita. 

Teknologi memang bawa banyak kemudahan. Kita bisa kirim pesan ke orang ribuan kilometer cuma dalam detik, bisa tahu kabar teman lama lewat story, bisa kerja dari mana aja. Tapi di balik itu semua, teknologi juga bikin kita kehilangan kemampuan paling dasar: mendengar diri sendiri. Kita terlalu sibuk ngebandingin hidup lewat feed Instagram orang lain, terlalu sibuk ngebaca quote motivasi dari akun random, tapi lupa bahwa motivasi terbaik datang dari hati kita sendiri. Sayangnya, suara itu pelan, lembut, dan nggak punya fitur push notification. Dia cuma bisa didengar dalam keheningan --- di sela waktu-waktu luang yang sekarang makin langka.

 Aku kadang mikir, jangan-jangan suatu hari nanti kita butuh aplikasi khusus yang ngingetin buat dengerin hati. Kayak ada notifikasi yang bunyinya, "Hei, udah ngobrol sama diri sendiri hari ini?" Konyol, tapi kayaknya kalau nggak gitu, kita bakal makin tenggelam dalam keramaian dunia maya, dan lupa sama sunyi di dalam diri.

 Aku nggak anti teknologi. Aku juga suka scrolling, suka kirim meme ke teman, suka mantengin video random sampai lupa waktu. Tapi setidaknya, aku belajar buat sesekali pause. Buat matiin HP, tarik napas, dan tanya ke diri sendiri: "Lo masih baik-baik aja, kan?" Karena di era distraksi kayak sekarang, menjaga suara hati tetap terdengar itu bentuk perlawanan kecil yang nggak semua orang sanggup lakuin. Dan kalau kamu bisa, itu bukan cuma keren --- itu penting. 

chatgpt-image-3-jul-2025-18-07-48-68666d0ced64157ccb328073.png
chatgpt-image-3-jul-2025-18-07-48-68666d0ced64157ccb328073.png
Era Notifikasi, Sunyi di Dalam Diri 

Pernah nggak sih, di tengah malam yang harusnya tenang, tiba-tiba HP kamu bunyi ting!, lalu refleks tangan meraih ponsel lebih cepat daripada pikiran sempat nanya, "Siapa ya?" atau "Penting nggak nih?". Bukan kabar soal hidup-mati, bukan pesan soal hal besar --- cuma notifikasi random: diskon, update aplikasi, atau teman lama yang tiba-tiba bikin story. Kita hidup di era di mana suara yang paling sering terdengar bukan lagi angin, gemericik hujan, atau bisikan hati. Tapi deretan notifikasi yang datang tanpa kenal waktu. Aneh ya, kita malah merasa butuh itu. Seolah kalau HP kita sepi, hidup juga ikut hampa. Aku suka mikir, jangan-jangan kita ini generasi yang lebih hapal suara notifikasi daripada suara hati sendiri. Kita tahu nada dering WA, bunyi DM Instagram, suara email masuk, tapi nggak tau lagi kayak apa suara hati kita waktu sedih, kecewa, atau rindu. Kita lebih sering denger suara orang lain ketimbang suara diri sendiri. Padahal, hati itu kayak sumur di tengah padang. Sunyi, dalam, dan cuma bisa diselami kalau kita berani diam sebentar. 

Sayangnya, di dunia yang kebisingannya aktif 24 jam, diam itu jadi barang langka. Kita sibuk scrolling tanpa arah, ngasih perhatian ke hal-hal receh, dan lupa ngasih waktu buat ngobrol sama diri sendiri. Dulu, waktu belum ada HP canggih, orang kalau galau ya nulis di buku harian. Kalau senang, cerita ke teman langsung, atau sekadar duduk di teras liatin bintang. Sekarang? Kalau hati lagi remuk, buru-buru bikin instastory lagu galau, atau update status ambigu sambil berharap ada yang notice. Kita terlalu takut sama sepi, padahal di sepi itu justru suara hati paling jernih terdengar. 

Teknologi memang luar biasa. Dia bisa mendekatkan yang jauh, bahkan menghapus jarak waktu. Tapi di saat yang sama, dia juga menciptakan jarak yang nggak kelihatan: jarak antara kepala dan hati kita sendiri. Kita sibuk ngurus citra, ngatur angle selfie, mikirin caption yang relatable, atau stalking hidup orang yang kelihatannya sempurna. Padahal, siapa yang tau kalau di balik senyuman itu orang juga kosong? Kita jadi terlalu sibuk melihat, sampai lupa merasakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun