Mohon tunggu...
Femina Sagita Borualogo
Femina Sagita Borualogo Mohon Tunggu... Konsultan - Pendiri Himawari Edu Daycare www.himawaridaycare.com

Memiliki perhatian dalam masalah sosial, khususnya yang berhubungan dengan perempuan, keluarga dan pendidikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pesan Kebaikan untuk Komnas Perempuan

25 Juni 2019   13:39 Diperbarui: 25 Juni 2019   13:52 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Komnas Perempuan (KP) membuat Undangan Terbuka Seleksi Anggota KP tahun 2020-2024 yang dibuka hingga 30 Juli 2019. Di poin ke-5 persyaratan seleksi komisionernya ini termuat frase "menghormati keberagaman maupun perbedaan orientasi seksual." Padahal poin "perbedaan orientasi seksual" ini tidak tercantum pada Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Sungguh masuk akal kerisauan publik bahwa narasi tentang mendukung LGBT--istilah yang selama ini umum digunakan di masyarakat untuk menunjukkan perbedaan orientasi seksual--kemudian menjadi diasosiasikan dengan KP.

LGBT pada dasarnya bukan perbedaan yang bisa disetarakan dengan perbedaan agama, ras, suku, maupun strata sosial/ekonomi. Maka dari itu, alih-alih mencari komisoner yang mendukung LGBT, KP sebaiknya memilih anggota komisinya, diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas tinggi serta kesungguhan hati untuk memperjuangkan harkat dan peran perempuan, tanpa terlepas dari konteks pengasuhan.

Kenapa perempuan dikaitkan dengan konteks pengasuhan? Ya, sebenarnya bukan perempuan saja yang bertanggungjawab mengasuh anak. Laki-laki juga memiliki tanggung jawab yang sama. Dalam konteks pengasuhan anak, Undang-Undang Perlindungan Anak memosisikan ayah (lelaki) dan ibu (perempuan) pada kedudukan setara. UU tidak condong ke ayah, tak pula apriori ke ibu. Artinya, UU Perlindungan mengandung keinsafan yang terefleksikan lewat pandangan bahwa ayah dan ibu merupakan dua orang tua dengan kekuatan pengasuhannya masing-masing. Keduanya adalah mitra, saling menggenapi, saling mengisi, saling memberdayakan demi proses tumbuh kembang anak secara optimal. Kesetaraan kompetensi  antara ayah dan ibulah yang menjadi penanda khas doktrin ketiga pengasuhan yakni kepentingan terbaik anak (the best interest of child).

Patut disayangkan bahwa atensi KP pada aras perempuan (ibu) dan pengasuhan itu terlalu senyap. Itu tidak terlepas dari isi Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005. Perpres tersebut menyebut nama lengkap KP adalah Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Pada pasal tentang tujuan dan organisasi KP, kata "kekerasan" pun tersebar di sana-sini. Ringkasnya, fokus KP memang menjadi terlalu 'sempit', yakni sebatas pada isu perempuan dan kekerasan. Padahal realitas perceraian dan fenomena pengasuhan atas anak-anak bermasalah sudah sedemikian nyata memanggil kepedulian dan kerja-kerja jangka panjang dari institusi semacam KP.

Di lapangan, sebagian kalangan tetap masih melihat ibu sebagai sosok yang lebih dominan bahkan seolah by default lebih unggul dalam membesarkan anak-anak. Ketika terjadi perceraian, hampir bisa dipastikan, kuasa asuh atas anak-anak yang belum mumayiz akan diserahkan kepada ibunya. Masalah sesungguhnya belum selesai. Pasalnya, pengasuhan anak pascaperceraian juga mengandung kompleksitasnya sendiri. Ihwal pengasuhan ini perlu diberikan garis bawah setebal-tebalnya sehubungan dengan undangan terbuka KP dalam seleksi komisioner-komisioner barunya.

Penegasan ulang tentang perempuan dan pengasuhan ini kian relevan manakala kita menengok sikap masyarakat luas. Tahun-tahun belakangan ini, ada gelombang perasaan waswas terhadap anak-anak yang dipandang kian penuh sesak dengan masalah. Masalah kesehatan, masalah sosial, bahkan masalah hukum. Vakumnya pengasuhan, tak pelak, diyakini sebagai salah satu penyebab utama terjerumusnya banyak anak dalam persoalan-persoalan tadi. Merevitalisasi kehadiran ibu dan ayah, alhasil, menjadi solusi prioritas.

Pertanyaan tentang kesesuaian bacaan dan kesiapan KP menjawab persoalan-persoalan di seputar perempuan, keluarga, dan pengasuhan--saya yakini--menjadi parameter bagi kelangsungan eksistensi KP. Atas dasar itu, dengan semangat konstruktif, beberapa rekomendasi berikut ini saya ajukan ke ruang publik dan ruang kerja eksekutif.

Pertama, tataran makro. Presiden patut mencermati ulang substansi Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2005. Sudah hampir lima belas tahun usia dokumen tersebut. Kesan bahwa Perpres itu telah menua sebenarnya tercermin pada redaksional Undangan Terbuka Seleksi Anggota KP 2020-2024. Di situ termuat improvisasi yang--sayangnya--menyeleweng dari Perpres 65/2005. Improvisasi itu antara lain persyaratan kelima yang memuat frase "Menghormati keberagaman orientasi seksual", sedangkan persyaratan yang tercantum pada Perpres sama sekali tidak mencantumkan "keberagaman orientasi seksual".

Alih-alih menambahkan frase "menghormati keberagaman orientasi seksual," cermatan ulang terhadap Perpres 65/2005 itu seyogianya memuat perluasan tugas KP yang semula sebatas "antikekerasan" menjadi ke kata-kata kunci sebagaimana saya tulis di atas: perempuan, keluarga, pengasuhan. Di situlah semestinya denyut jantung yang memompa darah ke seluruh jiwa raga KP.

Kedua, tataran mikro. Dengan bingkai perempuan, keluarga, dan pengasuhan, panitia seleksi dan perekrutan komisioner KP idealnya sejak sedini mungkin menempatkan keluarga di bumi dan di ufuk kerja mereka. "Perempuan dalam keluarga" adalah pijakan, "perempuan dalam keluarga" adalah tujuan.

Saya yakini KP akan menjadi lembaga yang masih tetap menjejak di bumi Indonesia dan tidak hidup terasing dalam dunianya sendiri, hanya ketika KP tidak berpaling dari "perempuan dalam keluarga."   KP masih bisa menjadi harapan dalam menjaga beberapa prinsip fundamental berikut ini, jika setelah "perempuan sebagai pengasuh" terjaga. Beberapa prinsip fundamental itu adalah sebagai berikut. 

Pertama, keteguhan sikap kolektif bahwa ikatan sah perempuan dan lelaki dalam lembaga perkawinan merupakan satu-satunya raison d'etre bagi kelangsungan keturunan. Kedua, keteguhan sikap bahwa para ibu bersama ayah merupakan rujukan keteladanan bagi anak tentang bagaimana relasi antara perempuan dan lelaki semestinya dibangun. Ketiga, keteguhan sikap bahwa para ibu dan ayah harus menempa ketangguhan diri pada anak-anak, khususnya terhadap bahaya sub-kultur kekerasan, penyalahgunaan narkotika, rokok, dan zat-zat adiktif, serta program sistematis untuk mengampanyekan dan melegitimasi orientasi seksual menyimpang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun