Mohon tunggu...
Felix Nesi
Felix Nesi Mohon Tunggu... Pemain Bola -

Pemain Bola

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Bagaimana Pandai Besi Memaknai Hidup

16 Februari 2019   15:20 Diperbarui: 17 Februari 2019   00:01 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tidur, Kakak. Kalau capek istirahat."

Laki-laki separuh baya itu berkata sambil tersenyum dengan ramah. Kumisnya yang telah memutih panjang-panjang tak beraturan, melintang dari hidung sampai separuh bibirnya.

Sesudah berkata begitu ia membunyikan gerinda dan kembali bekerja. Bunga api beterbangan saat gerinda itu bertemu dengan mata pisau.

Saya sedang berada di Camplong dan baru saja berkendara lebih dari empat jam dari kota Kefamenanu. Cuaca tidak menentu -- sebentar panas terik sebentar kemudian dingin menyergap dan langit digelayuti awan hitam. 

Hujan kelihatannya baru saja pergi dari tempat ini. Aspal basah dan air tergenang di mana-mana. Saya beruntung tidak didera hujan, tetapi pantat saya terasa panas dan kaki kaku tak berasa.

Sesudah melewati rimbun bambu dan beberapa tikungan tajam di hutan Camplong, rumah kecil beratap lontar ini seolah memanggil saya untuk berteduh. Atapnya hampir sampai ke tanah, tidak berdinding, dan sebuah dipan terletak di salah satu sisi depannya. Saya memarkir sepeda motor dan bertanya dengan sopan kepada seorang lelaki tua di dalam rumah kecil itu: Bolehkah saya beristirahat sejenak?

"Tidur, Kakak. Kalau capek istirahat."

Saya meluruskan kaki dan berusaha mengusir kepenatan. Rumah ini terletak di punggungan gunung -- dari sini kau bisa melihat bentang alam dengan rumah penduduk di kejauhan. Mobil dan sepeda motor melaju melewati turunan, suaranya bergantian dengan desing gerinda di tangan lelaki paruh baya itu. Sebuah rumah tembok yang belum diplester berdiri tidak jauh dari situ, rumah tinggal sang pandai besi.

Beberapa hasil kerja Charles yang berserakan.
Beberapa hasil kerja Charles yang berserakan.
Tak berapa lama saya bangun dan menghampirinya.

 "Nama saya Charles. Charles Manu," begitu ia memperkenalkan dirinya. "Saya sudah melakukan ini sejak kelas 3 SD. Ayah saya melakukannya. Kakek saya melakukannya."

Ia selalu tersenyum -- setengah tertawa -- di setiap akhir kalimatnya, membuat ia kelihatan ramah bersemangat dan lebih muda dari usianya. Sesekali ia menyentuh mata pisau, mengira-ngira ketajamannya.

Di sekitarnya berserakan pisau, parang kebun, maupun kelewang yang baru saja diasah. Bagian pangkalnya telah ditajamkan dan dicocokkan ke dalam gagang kayu yang belum dihaluskan.

"Saya tidak pernah memasang target harus bikin berapa dalam satu hari," begitu katanya saat saya bertanya tentang berapa banyak pisau dan parang yang ia hasilkan setiap hari. "Ini pekerjaan milik saya sendiri. Saya tidak mempunyai bos. Tidak ada yang memerintah. Ini saya kerja saya punya e. Jadi kalau capek, ya saya masuk ke rumah dan beristirahat, tidur-tidur."

Apakah Bapak pernah mempunyai bos? Saya bertanya lagi. Kebanggaan di nada suaranya saat menyebut dirinya sebagai tuan atas dirinya sendiri membuat saya tertarik kepada masa lalunya.

"Saya pernah menjadi tukang bangunan," katanya.

Itu sekitar tahun 1986 sampai 1988, demikian ia berkisah. Ia pergi ke Kupang dan diperkerjakan oleh seseorang yang berasal dari Bali.

"Kakak tahu gedung di Undana yang ada perahu di atas tu, ko?" ia bertanya kepada saya. Saya mengangguk meski belum pernah melihat gedung itu. "Itu kami yang bikin,"katanya dengan bangga.

"Itu adalah masa-masa yang sulit," katanya. "Banyak perempuan yang ikut bekerja juga. Bikin campuran, pikul pasir... Kami dibayar 1500 rupiah per hari."

Charles sedang melayani pembelinya. Foto Pribadi
Charles sedang melayani pembelinya. Foto Pribadi
Percakapan kami terhenti oleh seseorang yang menepikan sepeda motornya dan dengan terburu-buru masuk ke dalam rumah kecil itu.

"Beta pu pesanan mana, Om?"

"Pesanan apa?" Charles balik bertanya.

"Ko parang kemarin tu?"

"Oh, beta pikir sonde jadi lai (lagi). Beta su (sudah) mau jual pi (kasih) orang."

"Ko su pesan na son (sonde) jadi kermana?"

Charles mengambil parang dari para-para dan menerima uang dari orang itu. Si Orang mengucapkan terima kasih dan berlalu.

"Kalau sedang sehat, berapa parang dan pisau yang Bapak hasilkan dalam satu hari?" saya merevisi kembali pertanyaan saya.

"Bisa dua puluh pisau," Charles menjawab. "Pisau sa (saja). Yah, itu artinya bisa dapat sepuluh parang."

"Bapak jual ke mana?"

"Kadang diambil sendiri sama orang. Kadang saya jual ke Kupang. Kadang juga saya bawa ke Pasar Baru, Kefa. Kadang ke Atambua."

Ia tersenyum dan mulai bekerja kembali. Bunga api memercik. Bayangan bahwa penampang gerinda itu bisa terlepas kapanpun dan menghantam wajah saya membuat saya bangun dan menjauh. 

Saya belum pernah melihat pandai besi sebelumnya. Bayangan tentang orang yang berpandai-besi hanya datang dari film pendekar, di mana sang guru membuat pedang pusaka untuk muridnya. 

Menumbuk, membakar besi dan mencelupkan ke dalam air, mengeluarkan bunyi wusss sebelum memukulnya dengan palu. Ada dua besi seukuran paha orang dewasa yang ditancapkan di ruangan itu, kelihatannya sebagai alas untuk memipihkan besi. Di bagian yang lain bertumpuk kayu-kayu bekas yang dipakai untuk membikin gagang.

"Darimana besi-besi ini Bapak dapatkan?" saya bertanya ketika ia berhenti menggerinda.

Besi tua dan penampang untuk memukul besi. Foto Pribadi
Besi tua dan penampang untuk memukul besi. Foto Pribadi
"Saya beli di Oesapa. Dari para penjual besi tua. Ini dari bekas mesin sensor," ia mengambil sebilah pedang dan menunjukkanknya kepada saya. Saya memegang gagangnya yang belum diukir dan merasa hampir menjadi pendekar.

"Berapa ini mau Bapak jual?" saya bertanya.

"Ah, itu pesanan orang," ia menjawab. "Kalau yang itu seratus sa," ia menunjuk kelewang yang lain.

"Parang itu?" saya menunjuk sebuah parang kebun.

"75."

"Pisau ini?" saya menunjuk pisau yang berserakan di tanah.

"50 sa."

"Bapak bisa hidup ya dengan semua ini?" saya bertanya.

"Yah... Beginilah hidup," ia menjawab lalu menyambungnya dengan tawa.

"Saya punya tiga anak," ia berkata kemudian. "Yang pertama lulus dari Undana. Sekarang kerja di bank, di sorong. Saya baru pulang dari sana tiga minggu yang lalu." Ia berhenti sejenak dan tersenyum dengan bangga. "Yang kedua masih kuliah di Bandung. Kakak lihat alat itu?" Ia menunjuk sebuah benda di samping saya. 

"Itu alat untuk kipas api. Waktu saya ke Bandung, kunjungi anak saya, saya lihat kok orang-orang di Bandung pakai itu. Ya saya beli. Dulu saya pakai ini untuk kipas api (ia menunjuk alat lain yang terbuat dari roda). Susah pakai ini. Kita harus punya karyawan yang bertugas memutarnya."

Alat untuk mmbuat api tetap menyala. Foto Pribadi
Alat untuk mmbuat api tetap menyala. Foto Pribadi
Saya mendekati dua alat itu dan mengambil gambar.

Alat yang lama. Foto Pribadi
Alat yang lama. Foto Pribadi
"Anak yang ketiga baru lulus SMA. Mau jadi tentara dia," Charles berkata lagi.

Saya mengangguk dan tiba-tiba baterai gawai saya mati. Saya belum sempat mengambil beberapa gambar lain.

"Sekolah anak-anak Bapak biayai dengan pekerjaan ini?" saya bertanya.

Ia tertawa dengan bangga, "Saya tidak begitu suka bekerja dengan orang lain," katanya. "Serba salah! Tidak kerja juga salah... Kerja sedikit juga salah. Harus ada target, harus kerja sepanjang waktu."

Saya tertawa dan membuang pandangan. Di rumah tinggal yang belum diplester itu seorang perempuan tua yang mengenakan daster sedang mencuci beberapa pakaian. Saat saya berpamitan Charles menatap saya dengan sungguh-sungguh:

"Jalan hati-hati, Kakak. Kalau capek istirahat dulu."

Kupang, 16 Februari 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun