Mohon tunggu...
Felix Sevanov Gilbert (FSG)
Felix Sevanov Gilbert (FSG) Mohon Tunggu... Freelancer - Fresh Graduate Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta. Intern at Bawaslu DKI Jakarta (2021), Kementerian Sekretariat Negara (2021-2022), Kementerian Hukum dan HAM (2022-2023)

iseng menulis menyikapi fenomena, isu, dinamika yang kadang absurd tapi menarik masih pemula dan terus menjadi pemula yang selalu belajar pada pengalaman

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

"Penebalan" PPKM Mikro: Solusi di Tengah Sinkronisasi dan Inkonsistensi di Tengah Lonjakan Tak Pasti

24 Juni 2021   14:41 Diperbarui: 24 Juni 2021   14:48 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kembali lagi bersama tulisan saya, kayaknya udah pada bosen kalo bicara Corona, Corona dan Corona yang takkan abisnya. Mungkin pusing kali yah, terkesan ga ilang malah semakin ngelonjak sementara situasinya malah dianggap remeh. Jujur saya akui emang kacau sih, gausah tingkat atas saja di tingkat bawah utamanya lingkungan sekitar sudah banyak yang masa bodo terhadap keadaan. Memang nyatanya demikian walaupun pahit sementara kasus terbaru kematian dan konfirmasi baru semakin lama semakin menambah. Bahkan apa yang sudah saya prediksi di tulisan sebelumnya bahwa Super-Eksponensial situation sudah mulai terjadi di Indonesia.

Bukan cuma kasus di Kudus dan Bangkalan melainkan sudah merata bahkan di seluruh pulau utamanya Pulau Jawa yang dikenal padat. Bahkan sudah mencapai pada tataran merata soal kasus bahkan membuat gusar dan kelelahan dikalangan Faskes dan Yankes (Fasilitas dan Tenaga Pelayanan). Lonjakan ini terjadi di hilir diakibatkan bukan soal lonjakan pemudik melainkan varian Delta yang sudah sangatlah menyebar hingga nyaris ratusan kasus melalui Genome Sequencing di beberapa titik bahkan cepat menyebar dalam waktu yang singkat. Sungguh sangatlah miris sekali, ICU penuh, BOR alias Ketersediaan Tempat Tidur penuh, bahkan Oksigen pun sudah mulai langka.

Terus apa yang terjadi selanjutnya?

Ditengah desakan dari berbagai pihak untuk terpaksa menarik rem darurat mengingat situasinya sudah jauh lebih parah bahkan sangatlah sporadic ditengah situasi sekarang, bayangkan dalam waktu singkat situasi sudah berubah. Paling konkrit namun sangatlah menyedihkan bahwa dalam waktu kurang dari 1 minggu RS Darurat di Wisma Atlet Kemayoran yang selalu jadi patokan sudah mendadak penuh, bahkan setelah eksisting di tower-tower lainnya kini sudah lebih bahkan mendekati 100 persen. Sangat mencengangkan bukan? Padahal sebelumnya masih sekitar kurang lebih 40-50 persen, dan lebih menyedihkan bahwa sudah banyak Nakes yang menyerah begitu pula Fasilitas yang sudah tidak lagi mendukung apalagi menyasar kalangan anak dibawah 18 tahun yang umumnya dikenal imun tubuhnya kuat akhirnya anak-anak lah menjadi korban.

Menurut pakar dan juga pelaku kesehatan seperti tenaga medis. Ini Berbahaya, mengapa? Karena situasi sudah mencapai kolaps, mereka ragu Pemerintah bisa kuat menghadapi ini bilamana pencegahan tidak diperkuat. Maka demikian solusi PPKM Mikro yang selama ini menjadi andalan tidaklah relevan karena penyebaran bukan hanya pada lingkup komunitas terkecil melainkan sudah makro bahkan menyebar begitu saja. Sehingga harus berskala besar baik lewat PSBB maupun Lockdown (Karantina Wilayah), yaitu opsi yang selama ini tidak diambil oleh Pemerintah Pusat maupun Daerah bukan sekarang yang cenderung Mikro (RT-RW) melainkan yang besar minimal Kabupaten/Kota bahkan ditantang Nasional sekalipun. Sungguh pertimbangan yang sangatlah sulit namun memang pahit, Sementara banyak petisi digaungkan seperti dari Koalisi Masyarakat Sipil utamanya LaporCovid-19 bersama LSM lain dan tokoh masyarakat dengan menggaungkan 10 nota desakan untuk Pemerintah :

1. Perbaikan sistem penanganan kesehatan (UGD Terpadu, Prehospital care, rujukan, ambulan dan puskesmas) serta kapasitas ditambah hadapi lonjakan


2. Karantina Wilayah yang tegas dalam menindak pergerakan fisik lewat sanksi serta butuh dukungan dalam bantuan sosial kepada terdampak (Lockdown serius dan tegas)

3. Peningkatan kapasitas tes dan pelacakan yang dibawah standar WHO (Testing-Tracing)

4. Penundaan Sekolah Tatap Muka terbatas sampai kasus melandai

5. Percepatan vaksinasi gratis untuk 18 tahun keatas dengan prioritas lansia

6. Perbaikan sistem pendataan-pelaporan kasus serta kematian secara akurat dan transparan

7. Peningkatan kompetensi tenaga kesehatan utamanya Puskesmas sebagai garda terdepan hingga komunitas RT-RW

8. Suplai yang dipasok dengan merata dan tinggi baik APD standar, kemudian insentif atas jasa mereka hingga penunjang seperti ketersediaan bed, oksigen, obat-obatan, tes, dan RS

9. Jaminan perlindungan sosial dan santunan kematian bagi mereka yang gugur (Nakes)

10. Komunikasi kebijakan yang konsisten lewat media dan melibatkan berbagai tokoh demi mendapatkan standar maksimal dalam urusan epidemologi

Lalu, apakah yang menjadi jawaban Pemerintah?

Menjawab semua masukan yang ada, Pemerintah mengklaim bahwa PPKM Mikro masih sangat efektif guna menekan penyebaran kasus yang secara sporadic sudah menyebar hingga komunitas terkecil. Hal ini disampaikan melalui pernyataan resmi Ketua KPC-PEN selaku Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto setelah rapat bersama Presiden dan jajaran kabinet. Untuk melakukan Penebalan PPKM Mikro (Diperketat) untuk 2 minggu kedepan terutama menyikapi lonjakan zona merah di Indonesia.

Mereka mengklaim bahwa lonjakan memang ada dan mereka merasa bahwa perlu ada perhatian khusus untuk itu meskipun yang mereka lakukan terkendali. PPKM Mikro sendiri diharapkan mampu menyelesaikan semua kasus pengendalian pandemic yang mana hal ini mengkhawatirkan ditengah Pemulihan Ekonomi namun tidak bisa mematikan ekonomi karena keduanya sangat penting.

Formulasinya hanya lebih pada esensi pembatasan sosial bukan perkara tertingginya. Hal serupa dikatakan oleh Presiden RI, Joko Widodo dalam pidato kenegaraan resmi menanggapi situasi seperti ini. Poin pentingnya semua masih tetap berjalan, tidak bisa ekonomi mati apalagi untuk masyarakat kecil namun jikalau tidak ada kepentingan maka jangan keluar rumah. Kembali lagi bahwa Lockdown dan PPKM Mikro jangan dipertentangkan, toh PPKM Mikro juga melakukan Karantina walau sebatas RT-RW atau Kelurahan yang mengalami lonjakan utamanya karena varian baru dari India (B117 atau bahasa terkininya Varian Delta).

Fokusnya juga demi memudahkan vaksinasi agar lebih masif maka jangan sampai mobilitas benar-benar terganggu jikalau Lockdown andaikan terjadi tentu malah menghambat, disisi lain kita juga memahami kondisi Ekonomi yang sulit bahkan semua sudah terlambat jadi tidak bisa benar-benar rem darurat bahkan seperti negara lainnya India dan Malaysia. Makanya yang saya pahami bahwa terkesan Negara masih memastikan bahwa Pemulihan Ekonomi tidak boleh terganggu walau protokol kesehatan ketat dan ada pembatasan baik kapasitas maupun operasional. Tinggal pada konsistensinya saja, dan inilah yang perlu menjadi peran efektif. Tentu ada pro dan kontra terhadap semua kebijakan dan semua diambil sebuah jalan tengah yang sesuai akhirnya PPKM Mikro sendiri diperketat di zona merah. Kurang lebih aturannya seperti ini : misalkan saja WFH yang diperketat menjadi 75 persen, kemudian Restoran/Tempat Makan/Caf yang menjadi 25 persen kapasitas hingga pukul 20.00 WIB selanjutnya bisa takeaway/Delivery. Kemudian Penutupan Tempat Publik seperti Pariwisata, Bioskop, Hiburan Malam, Pusat Kebugaran. Lalu, Pertemuan juga ditutup dan dibatasi untuk pernikahan 25 persen. Sekolah Tatap Muka pun juga walau ujicoba menjadi Daring, dan Rumah Ibadah akhirnya ditutup.

Pengetatan ini menjadi sangatlah tersentralisasi di semua Provinsi tanpa terkecuali di Jakarta yang demikian banyak yang meminta untuk mereka lebih Rem Darurat baik PSBB seperti April-Juni 2020, maupun Lockdown sebagai opsi terakhir begitu juga di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan DI Yogyakarta dan Jawa Timur. Rem Darurat memang telah menjadi opsi pertimbangan di masing-masing wilayah bahkan kembali bukan inisiatif Pemda melainkan Pusat yang bersinergi. Hanya yang sangatlah disayangkan bahwa pernyataan berbagai Provinsi seperti sempat Gubernur DIY, Sri Sultan HB X ingin mengancam Lockdown jikalau PPKM Mikro tak efektif, belum lagi DKI yang siap rem Darurat dibawah Gubernur Anies Baswedan bisa saja Lockdown atau Karantina Wilayah. Namun apakah yang terjadi? Semua hanya terkesan gimmick saja, sekedar ancaman namun tidak dibarengi dengan kenyataan di lapangan bukan soal pola koordinasi dengan Pusat dimana Pusat terkesan menghambat namun faktor yang lebih realistis seperti Keuangan/Anggaran yang hampir semua Provinsi utamanya di pulau Jawa akui jauh dari harapan alias tidak kuat. Jadi mau tidak mau, mereka hanya sebatas pengetatan terhadap status yang sudah ada. Jikalau PPKM Mikro diperketat berarti Mikro Lockdown di RT-RW yang ditegaskan baik Posko, maupun Logistik dan juga Penanganan dan Penindakan tanpa menghambat ekonomi karena semua butuh keseimbangan.

Namun apa yang tidak sinkron dan tidak inkonsisten?

Oke, saya pun pribadi memang berat namun legowo begitu juga pihak-pihak yang lain tentunya menyerah tinggal pada konsistensi apapun programnya yang penting benar-benar efektif mengendalikan Pandemi apalagi situasinya mendekati Libur Idul Adha dan juga rencana Pembukaan Pembelajaran Tatap Muka sekaligus Pariwisata Terbatas, belum lagi event-event lain di Kuartal III dan IV yang harus disongsong sekarang jangan sampai terganggu namun bisa terkendali. Saya paham, namun saya ingin menyoroti terkait dengan Instruksi Mendagri No 14 Tahun 2021 mengenai PPKM Mikro Diperketat yaitu salah satu beleidnya menjelaskan bahwa Restoran-Tempat Makan-Caf tetap dibuka hingga pukul 20.00 WIB dengan kapasitas 25 persen. Hal itu yang sangat membingungkan disamping KPC-PEN merilis aturan protokol kesehatan terbaru bukan lagi 5 M melainkan 6 M yaitu Mencuci Tangan, Memakai Masker, Menjaga Jarak, Menjauhi Kerumunan, Membatasi Mobilitas dan Menghindari Makan Bersama. Hal ini dilandasi ketika temuan yang berjalan terkait kluster baru-baru ini adalah ketika momentum Lebaran yang mana banyak silaturahmi dan reuni bukan hanya di sekitaran rumah ke rumah melainkan di tempat makan bahkan sampai abai terhadap protokol kesehatan seolah-olah semua aman, apalagi mereka merasa semua adalah keluarga dekat. Ini juga menjadi poin penting, makan bersama ditiadakan. Namun kenapa masih diberikan porsi untuk kapasitas yang sebenarnya tidak efektif.

Seketika saya berpikir sebenarnya aturan ini tidak kalah mirip dengan PSBB Pengetatan yang berlangsung di DKI Jakarta September-Oktober 2020 lalu alias Rem Darurat setelah lonjakan di Juli-Agustus 2020 pasca PSBB Transisi. Keputusan diambil setelah mengingat BOR yang sudah sangatlah tidak memadai sehingga dilakukan intervensi demikian. Kurang lebih beleid yang saya soroti manakala Restoran-Tempat Makan-Caf tetap buka hingga pukul 20.00 WIB namun hanya melayani takeaway-delivery. Namun kenapa PPKM malah memperbolehkan 25 persen disisi lain dengan persentase-persentase ini kadang tidak efektif karena ini menjadi tantangan utamanya Satgas di lapangan untuk memastikan semua memadai. Hitung-hitungan itu menjadi bukti bahwa semua berjalan kompromistik dan tidak menyelesaikan masalah. Seharusnya KPC-PEN tegas untuk hal tersebut, maka saya sangatlah menyarankan sekali agar aturan ini direvisi mengingat 25 persen itu bukan jaminan mutlak apalagi di tempat makan kecil, Orang paham aturan jam namun sulit untuk bicara kapasitas, lebih baik tidak diberikan layanan makan ditempat daripada harus menanggapi ketidaksiapan akan protokol kesehatan. Apalagi kluster tempat makan sudah ada bukan? Kalo ga ada ga akan muncul protokol terbaru yaitu 6M. Jadi terkesan aneh. Mungkin KPC-PEN dalam hal ini Mendagri, Menko Perekonomian, dan Menkes harus belajar dari PSBB Pengetatan 2020 lalu melalui Pergub DKI no 33 tahun 2020. Jikalau dibedah pasti sama, mungkin hanya berbeda sedikit seperti saya singgung soal Tempat Makan (moga direvisi), dan Mall dimana jikalau PSBB Pengetatan kapasitas 50 persen sampai pukul 20.00 WIB, di PPKM Mikro diperketat kapasitas hanya 25-30 persen. Begitu juga untuk sektor esensial (11 sektor umumnya) jikalau PSBB Pengetatan 50 persen kapasitas, PPKM Mikro 100 persen dengan protokol kesehatan ketat, kemudian PSBB Pengetatan juga mengatur transportasi umum 50 persen, dan pribadi maksimal 2 orang sebaris (kecuali Domisili sama bisa full), untuk PSBB Pengetatan Hajatan (Kegiatan Kemasyarakatan) dilarang sama sekali karena kerumunan lebih dari 5 orang dilarang sedangkan PPKM Mikro Diperketat, Hajatan boleh 25 persen tanpa makan ditempat, karena yang dilarang Kerumunan karena Kegiatan Seni, Sosial, dan Budaya utamanya di Ruang Publik.

Demikian, yang bisa saya sampaikan. Prinsip saya kembali lagi sebenarnya apapun yang dijalankan jikalau bisa tegas dan konsisten terlepas moda pembatasannya seperti apa namun jikalau ada kolaborasi dan kesadaran serta pengawasan yang ketat dalam protokol kesehatan demi menjaga diri baik masyarakat maupun Negara. Sebenarnya bisa saja efektif. Namun jikalau tidak bisa, mau dikata gimana lagi? Apalagi kalian juga udah pada susah bukan gegara Covid-19 dan lonjakan akibat turunannya. So pasti, kembali lagi semua harus maksimal sampai ke akar-akarnya. Yuk Patuhi Protokol 6M

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun