Mohon tunggu...
Feliks Hatam
Feliks Hatam Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bloger dan Youtuber

Feliks Hatam. Asal Manggarai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bocah Penakluk Gunung

1 Mei 2019   23:20 Diperbarui: 26 Juli 2019   18:45 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Seruan pembebasan dari Timur"

Semangat mencari mimpi, walau melintasi bukit, walau meninggalkan orang tua dalam usia enam tahun, adalah hal yang tidak masuk akal bagi sebagian orang yang sudah merasakan sedikit kemajuan, seperi pelayanan pendidikan yang dekat dengan adanya sekolah, pelayanan kesahatan dengan adanya puskesamas, dihantar dengan motor oleh orang tua saat pergi sekolah.Semua kemewahan itu itu mustahil di alami oleh Lon dan anak-anak yang dilahirkan di kampung yang jauh dari kata kemajuan. Tapi mustahil juga bagi anak-anak di kampung itu untuk tidak mendapatkan pendidikan.

Lon adalah salah satu dari 10 anak di kampung itu yang memiliki semangat menggapai mimpi. Mimpi mereka tidak pernah pudar, walau tatapan terhalang oleh gunung raksasa itu. Gunung itu memisahkan pandangan akan wajah kedua orang tua mereka. Lon, dan anak-anak usia enam tahun di kampung itu harus berpisah dari pelukan orang tua, demi cita-cita untuk mendapatkan pendidikan.

Mereka adalah anak dusun, kampung mereka dikelilingi gunung yang dilindungi negera. Pohon-pohon di hutan yang dijamin keutuhannya dalam setiap paragraf undang-udang negara menjadi saksi bisu akan pendihnya prasaan mereka, baik di kala musim kemarahu maupun di musim hujan. Padang alang-alang menghiasi bukit-bukit, memanjakan mata oleh ayunan manjanya. Kesejukan air yang langsung dari sumbernya memberikan keteduhan jiwa.

Air pancuran yang disinari seberkas cahaya, dari cela-cela dedaunan menjadi saksi akan pertumbuhan dan canda tawa seluruh isi kampung itu.
Air itu, memberikan keteduhan dan kesejukan batin dan hati setelah seharian bermandikan mentari. Kemurnian air itu, memberikan semangat bagi semua orang dikala pagi menyapa.

Suara burung-burung, angin hutan yang tidak pernah dinodai oleh karya manusia, air alam yang belum pernah dikotor oleh aktivitas kreatif manusia menjadi hal biasa bagi semua orang di kampung itu, dan mungkin akan menjadi hal luar biasa bagi orang-orang yang setiap harinya hanya mendengar kelakson kendaraan, melihat gedung bertingkat, dan menghirup udara yang dicampuri oleh hasil kreasi manusia.

Ayunan dedaunan yang bermusikan anggin seakan berkata "mereka bukan anak biasa, mereka bukan gerasi biasa yang diragukan, mereka adalah anak kampung yang patut diperhitungkan, semangat juang mereka adalah harta yang tersimpan oleh negeri ini, yang terletak dipelosok negeri". Sejak lahir, anak-anak di kampung ini dicintai oleh alam. Alam yang mencintai mereka.

 "Ya, anak-anak di kampung ini dicintai oleh alam. Kaki kecil mereka tak sedikitpun mengeluh saat melintasi bukit dan lembah. Tidak ada dalam kamus hidup mereka untuk pulang di tengah jalan, saat pergi ke sekolah. Seakan ayunan daun pepohonon dan keelokan alang-alang menghibur dan menguatkan langkah mereka"


***

Ada tangis dikala pertama meninggalkan orang tua untuk mendapat status siswa di sekolah dasar pada sekolah yang ada di kampung tetangga, yang dibatasi oleh hutan dan gunung milik negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun