Mohon tunggu...
Feliks Hatam
Feliks Hatam Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Bloger dan Youtuber

Feliks Hatam. Asal Manggarai

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bocah Penakluk Gunung

1 Mei 2019   23:20 Diperbarui: 26 Juli 2019   18:45 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 "Nak, tidak boleh menangis. Lon, harus sekolah, supaya jadi orang yang berguna bagi negara dan kampung ini" Kata Theresa sambil menghapus air mata yang terus mengalir dari mata anaknya. Lon menganggukan kepala dan berusaha memahami setiap kalimat yang ucapkan oleh sang ibu.
"Mama, tapi kakiku masih kecil dan belum kuat untuk berjalan di gunung itu" Sahut anak sulung itu kepada kedua orang tuanya dalam nada datar. "aku belum tahu masak, belum tahu cuci pakayan, mama. Siapa yang cuci pakianku nanti? Tanya Lon sambil memegang pakian seragam sekolahnya.

"Lon, nanti kau tinggal di rumanya bapak Ton dan mama Lia, mereka semua baik, mereka sudah kasih tahu kepada kami, untuk membantumu masak dan cuci pakian" pesan sang ibunda untuk menyakinkan anaknya. Kata sang ibunda dibenarkan oleh sang ayah dengan annggukan kepala dan senyuman lebar sambil menepuk bahu anaknya, membuat Lon yakin akan semuanya baik-baik adanya.

***
Harinya sudah tiba, Lon dan anak-anak di kampung itu harus meninggalkan orang tua, dan siap melintasi gunung. Ada wajah yang tidak dapat dibohongi oleh prasaan, ada wajah yang dengan jelas meggambarkan kesedian, dengan air mata selalau membanjiri pipi. Tidak ada suara, bisu sekejab, hanya air mata yang terus mengalir, saat melihat kaki anak-anak mereka langkah dengan pasti meninggalkan kampung, melangkah dengan kebranian melintasi gunung dan bikit-bikit kecil.

Lingkungan baru, wajah baru, dan keluarga baru membuat Lon menetaskan air mata. Tidak ada kata verbal yang diucapkan, hanya menganggukan dan menggelangkan kepala bila ada pertanyaan dari bapak Tom dan Ibu Lia, sebagai orang tua barunnya di kampung yang dekat dengan sekolah tersebut.

"Lon, ini kamar tidurmu, sekarang kamu boleh tidur, dan harus selalu bangun pagi" kata Ibu Lia dalam nada datar dan halus sambil menghantarkan Lon ke tempar tidu. Lon, memandang sekilas wajah ibu barunya sambil mengangguk.

Air mata seakan tak bisa dibendung, perasaan tidak bisa dibohongi saat ia kembali mengingat suasana di rumahnya. Matanya enggan terpecam, saat meningat kembali kebiasaanya sebelum tidur yang selalu ada tawa bersama bapa dan mama, ada aksi manja yang mencuri hati bapa dan mama.

Hati dan prasaanya seakan menggumpulkan rasa nggtuk saat ia kembali mengingat pesan sang ibunda "Nak, tidak boleh menangis. Lon, harus sekolah, supaya jadi orang yang berguna bagi negara dan kampung ini"

"Lon, bangun! Siap pergi sekolah! Suara ibu Lia yang sedang berdiri di pintu kamar tidurnya. "Ya bibi" sahut Lon dalam datar dan serak. "ayo, cepat, sekarang sudah jam 06.00, nanti kamu terlambat, apalagi ini hari pertamamu masuk sekolah" kata bu Lia dalam nada menyakinkan dan meyemangatinya. Lon, hanya bisa menganggukan kepala. "Sebelum berangkat ke seokalah, harus sarapan" kata bu Lia yang sudah mempersiapkan sarapan.

***

Semangat mencari mimpi, walau melintasi bukit, walau meninggalkan orang tua dalam usia enam tahun, adalah hal yang tidak masuk akal bagi sebagian orang yang sudah merasakan sedikit kemajuan, seperi pelayanan pendidikan yang dekat dengan adanya sekolah, pelayanan kesahatan dengan adanya puskesamas, dihantar dengan motor oleh orang tua saat pergi sekolah.
Semua kemewahan itu itu mustahil di alami oleh Lon dan anak-anak yang dilahirkan di kampung yang jauh dari kata kemajuan. Tapi mustahil juga bagi anak-anak di kampung itu untuk tidak mendapatkan pendidikan.

Kaki kecil anak-anak di kampung ini seakan dibentuk dan terbiasa melintasi gunung yang memisahkan dengan kampung tetangga, tempat mereka mengais ilmu. Prasaan dan sifat kemandirian anak-anak di kampung ini dibentuk oleh keadaan dan situasi. Tidak ada kesempatan orang tua untuk mengajarkan mereka mandiri. Tetapi situasi dan kesempatan ada untuk mereka belajar mandiri. Rasa pantang menyerah seakan tumbuh dalam diri mereka saat melintasi gunung dan lembah itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun